“Inilah jalanku: aku dan orang-orang yang mengikutiku berdakwah kepada Allah dengan hujah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik” (Yusuf:108).

Jama'ah Penuh Berkah

Tidak ada dakwah tanpa kepemimpinan. Kadar tsiqah antara qiyadah dan jundiyah menjadi penentu bagi sejauh mana kekuatan sistem jamaah, kemantapan langkah-langkahnya, keberhasilan dalam mewujudkan tujuan-tujuannya, dan kemampuannya dalam mengatasi berbagai tantangan dan kesulitan.

Bekerja Untuk Ummat

Dan Katakanlah: Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan. (9:105)

Inilah Jalan Kami

Katakanlah: Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada Termasuk orang-orang yang musyrik. (12:108)

Yang Tegar Di Jalan Dakwah

Biduk kebersamaan kita terus berjalan. Dia telah menembus belukar, menaiki tebing, membelah laut. Sayatan luka, rasa sakit, air mata adalah bagian dari tabiat jalan yang sedang kita lalui. Dan kita tak pernah berhenti menyusurinya, mengikuti arus waktu yang juga tak pernah berhenti.

Kesungguhan Membangun Peradaban

Semua kesungguhan akan menjumpai hasilnya. Ini bukan kata mutiara, namun itulah kenyataannya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang diusahakan dengan sepenuh kesungguhan.

Jumat, 21 September 2012

APA YANG DICERITAKAN ANAK-ANAK KITA DI BELAKANG KITA?

Saudaraku..
Abdullah bin Ahmad rahimahullah pernah menceritakan perihal ayahnya (Imam Ahmad):
“Ayahku terbiasa membaca sepertujuh al Qur’an setiap hari. Ia mengkhatamkan al Qur’an setiap tujuh hari. Dan iapun mengkhatamkan al Qur’an setiap tujuh malam. Ia mengakhirkan shalat Isya’, lalu ia tidur beberapa saat. Lalu bangun dan shalat malam hi
ngga menjelang subuh. Selepas shalat subuh, ia berdo’a panjang. Setiap hari ia melaksanakan shalat sunnah sebanyak 300 raka’at. Setelah usianya uzur, dan ia rasakan tubuhnya mulai melemah, maka ia kurangi separuhnya. Di mana ia shalat sunnah sebanyak 150 raka’at sehari.”
(Mi’ah kisah min qashashi ash shalihin, Muh bin Hamid Abdul Wahhab). Saudaraku..
Itulah profil orang tua yang menjadi teladan bagi anak-anaknya. Bukan hanya teladan dalam meriwayatkan hadits dan membekali diri dengan ilmu. Tapi juga teladan bagi anak-anaknya dalam ibadah dan mengukir prestasi ubudiyah di hadapan-Nya.
Dari penuturan putera Imam Ahmad ini, dapat kita petik beberapa buah pelajaran dan manfaat darinya.
• Imam Ahmad, termasuk salah seorang ulama yang mampu mewariskan keshalihan pribadi dan ilmu pengetahuan terhadap anak-anak dan generasi sesudahnya. Dan hal ini yang jarang kita temukan pada ulama di zaman ini.
• Tarbiyah (pendidikan) anak yang dilakukan orang tua dengan keteladanan, memiliki dampak yang besar dan pengaruh yang terang dan membekas di hati anak-anaknya.
• Diminta atau tidak. Kita sukai atau tidak. Sepengetahuan kita atau tidak. Di masa hidup kita atau sepeninggal kita. Pasti anak-anak kita akan menceritakan kepada orang lain tentang siapa kita di matanya. Baik dari sisi positif maupun dari sisi negatifnya.
• Imam Ahmad adalah merupakan tipe orang tua yang sangat dicintai dan dibanggakan oleh anak-anaknya. Berbeda dengan kita. Barang kali mereka lebih mengenal kita dari kepribadian tercela; pelit, malas ibadah, tak mampu meredam emosi dan yang senada dengan itu.
• Kelebihan yang dimiliki oleh Imam Ahmad, mampu mengkhatamkan al Qur’an setiap tujuh hari dan setiap tujuh malam serta mampu melakukan shalat sunnah sebanyak 150 sampai 300 raka’at dalam sehari, merupakan karamah yang Allah berikan kepada hamba-hamba-Nya yang shalih dan dicintai-Nya. Yang tak mungkin dilakukan oleh kita yang jauh di bawahnya dari kwalitas iman dan ubudiyahnya.
• Karamah, bukanlah seperti yang dipahami oleh sebagian kaum muslimin, seperti kemampuan seseorang untuk melakukan shalat Jum’at di masjidil haram. Berlari di atas air. Terbang di udara. Memiliki kemampuan untuk meramal nasib seseorang dan seterusnya. Karena hal itu semua termasuk dalam katagori sihir. Karena diperoleh dengan jalan menjauhi berbagai aturan dan syari’at agama. Berbeda dengan karamah, yang tidak bisa diraih terkecuali dengan taqarrub kepada Allah swt.
• Berdekatan dengan kalamullah dan shalat malam serta do’a merupakan amalan istimewa di hadapan Allah. Yang dengannya Dia mencintai kita dan mengelompokkan kita menjadi ahlullah dan hamba-hamba khusus-Nya.
Saudaraku..
Bagaimana pendapat kita, apa yang selama ini dan akan dibicarakan anak-anak kita di belakang kita? Apakah mereka menceritakan kebaikan dan keteladanan kita dalam keluarga? Atau justru sebaliknya, menceritakan keburukan dan sisi-sisi gelap kehidupan kita dalam keluarga. Wallahu a’lam bishawab.

Riyadh, 07 September 2012 M
Sumber:Status Ustadz Abu Ja’far

INI RAHASIANYA, MENGAPA KITA BANYAK TERTAWA & IRI HATI TERHADAP SESAMA

Saudaraku…
Dalam hidup, manakah yang lebih sering kita lakukan? Menangis atau tertawa? Tentu bagi kita yang telah dewasa, tertawa lebih dominan kita lakukan. Berbeda saat kita bayi dan anak-anak dahulu. Bisa jadi tertawa dipicu karena melihat sesuatu yang lucu dan unik serta menggembirakan kita.
Acara-acara komedi dan lawakan di Televisi, lebih menyedot perhatian pemirsa daripada acara-acara yang mengundang tangis seperti muhasabah dan nasihat serta pengajian. Dan bahkan pengajian pun tidak jarang diselingi dengan banyolan dan sejenisnya.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita pun sering kurang mampu menata hati kita saat melihat kesuksesan, keberuntungan dan kejayaan orang-orang di sekeliling kita. Saat mendengar sahabat yang satu profesi dengan kita; naik gaji atau mendapat bonus tertentu dari atasannya atau THR, kita lupa untuk mendo’akannya keberkahan dan kebaikan.
Saat orang lain dikaruniai buah hati, sementara kita belum mendapatkan amanah dari Allah swt berupa anak, padahal kita sudah lama merindukan hadirnya permata hati untuk meramaikan keluarga. Ada desiran kecemburuan yang jika dibiarkan, dapat membahayakan hati kita.
Kala melihat seorang saudara yang satu generasi dan waktu merantau di negeri seberang, telah memiliki rumah yang mewah (mepet sawah), beragam warna investasi dan yang senada dengan itu. Terkadang desiran aneh muncul di hati.
Saat melihat rekan-rekan satu usia, telah berbahagia dengan pendamping hidup yang cantik jelita. Sementara kita belum berubah statusnya; masih tetap berani menatap hidup seorang diri. Terkadang iri hati, teramat sulit kita hindari. Terlebih lagi jika salah satu istri mereka adalah orang yang pernah singgah di hati kita.
Dan begitu seterusnya. Banyak sebab yang membuat kita iri hati. Tidak sedikit faktor yang menyebabkan kita hasad terhadap sesama.
Saudaraku..
Apa rahasianya, mengapa kita lebih sering tertawa daripada meneteskan air mata? Dan mengapa kita sulit membentengi kita dari sifat iri hati, hasut, dendam dan yang seirama dengan itu?
Rahasia dan kuncinya? Mari kita bertanya kepada sahabat Nabi saw yang dikenal zuhud dan ahli ibadah; Abu Darda ra. Di mana ia pernah bertutur:
“Siapa yang banyak mengingat kematian, maka akan berkurang kegembiraannya (tidak banyak tertawa) dan sedikit rasa hasadnya (kepada orang lain).
Jika anda mengenang orang-orang yang telah pergi, coba hitunglah (seolah-olah) anda menjadi salah satu dari mereka.
(Mawa’izh as shahabah, Shalih Ahmad al Syami).
Saudaraku..
Jadi jawabannya adalah karena kita jarang, sedikit sekali atau nyaris tak pernah mengingat mati. Dan jarang membayangkan bagaimana keadaan kita setelah mati nanti.
Kalau belajar dari Nabi saw, beliau setiap malam mengunjungi kuburan Baqi’. Di mana ada sepuluh ribu sahabat dikuburkan di sana. Tujuannya, tentu selain untuk mendo’akan ahli Baqi’, juga untuk mempertebal mengenang kematian.
Lain lagi dengan Ibnu Sammak al Wa’izh, ia menggali kuburan di samping rumahnya. Jika ia rasakan amal ibadahnya berkurang. Atau kwalitas amal-amal ketaatannya menurun, ia turun ke kuburan yang ia gali dan di sana ia membayangkan suram dan ngerinya alam kubur tersebut.
Saudaraku…
Pantas kita senang tertawa terbahak-bahak dan membiarkan hati digenangi iri hati dan hasut. Karena kita jarang mengingat mati dan menghadirkan kengerian alam barzakh yang pasti akan kita lalui. Wallahu a’lam bishawab.
Riyadh, 07 Agustus 2012 M
Sumber:Status Ustadz Abu Ja’far

PASCA RAMADHAN ADALAH PEMBUKTIAN

Pasca Ramadhan adalah pembuktian, apakah kita termasuk yang benar-benar telah sukses puasa, ataukah belum dan masih harus introspeksi diri serta banyak belajar lagi dan lagi?
Pasca Ramadhan adalah pembuktian, apakah kita telah tergolong para penggemar amal sejati, ataukah baru sekadar ahli ibadah dadakan dan musiman saja?
Pasca Ramadhan adalah pembuktian, apakah ibadah istimewa sebulan penuh kemaren itu hanya karena faktor Ramadhan sebagai musim amal ibadah, yang serta merta usai seiring berlalunya bulan teristimewa, ataukah telah benar-benar demi Tuhan-nya Ramadhan, yang berarti juga Tuhan-nya Syawwal, Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan seterusnya?
Dalam konteks ini Asy-Syaikh Yusuf Al-Qardhawi menasehatkan dengan ungkapannya: “Kunu rabbaniyyin, wala takunu ramadhaniyyin!” Jadilah kalian hamba-hamba yang taat sepanjang masa karena Allah semata. Dan jangan hanya menjadi para ahli ibadah dadakan di musim Ramadhan saja!Pasca Ramadhan adalah pembuktian, apakah taqwa istimewa yang merupakan goal dari ibadah puasa telah benar-benar membuat kita menjadi lebih “kebal” terhadap segala tipu daya syetan penggoda, setelah ia lepas dan bebas kembali dari rantai dan belenggunya, ataukah justru sebaliknya? Nah, karena itu semua, maka pertanyaan penting pasca Ramadhan yang harus kita ajukan kepada diri masing-masing dan sekaligus menyiapkan jawaban terbaiknya, adalah: Bagaimana agar kita tetap bisa istiqamah dalam mempertahankan kondisi iman spesial plus segala amal istimewanya dengan berlalunya bulan termulia?
Apalagi saat ditanya tentang simpul Islam, Baginda Sayyidina Rasulillah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjawab dengan sabda Beliau (yang artinya): Nyatakanlah: “aku beriman kepada Allah”, lalu istiqamahlah (HR. Muslim). Sehingga, karenanya, tidak banyak arti bagi amal ibadah seistimewa apapun, seperti yang telah ditorehkan oleh setiap kita selama Ramadhan lalu, bila tak dikemas dan dipelihara dalam bingkai terindah yang bernama istiqamah!
Namun pertanyaan berikutnya yang tak kalah pentingnya adalah: Apa dan bagaimana istiqamah itu? Yang pasti, ia sebuah kata yang ringan diucapkan, luas dalam cakupan, berat dilaksanakan, tapi tidak mustahil diupayakan dan diwujudkan!
Ya, istiqamah memang berat, karena minimal ada tiga rukun utamanya, dimana masing-masingnya benar-benar tidak ringan, yakni: ilmu, amal dan ajeg (kontinue/berkelanjutan).
Sehingga seseorang yang berilmu tapi tidak diamalkan, belum istiqamah. Dan yang beramal tanpa ilmu, juga tidak istiqamah. Demikian pula yang tidak ajeg dalam mengamalkan ilmu, sama saja, juga berarti belum atau tidak istiqamah. Jadi istiqamah adalah beramal dengan ilmu yang benar dan baik, secara kontinue dan berkesinambungan.
Lalu masalahnya, apa dan bagaimana cara agar kita tetap dan senantiasa bisa istiqamah, khususnya pasca Ramadhan seperti sekarang ini? Secara singkat, kiat-kiat utama dan faktor-faktor penunjangnya antara lain sebagai berikut:
Pertama: berilmu dan berpemahaman yang baik serta memadai.
Kedua, jujur dalam keikhlasan dengan senantiasa berusaha lepas dari dominasi nafsu.
Ketiga, tak melampaui batas atau tak melebihi porsi (ghulu), baik itu dalam ilmu dan pemahaman, amal dan perbuatan, dakwah dan pergerakan maupun sikap dan penilaian.
Keempat, mengkodusifkan diri dan lingkungan secara islami, utamanya dalam lingkup keluarga dan pergaulan, dengan selalu bermawas dan berevaluasi diri (muraqabah dan muhasabah).
Kelima, sabar berada dalam kerja sama kebajikan dan kebersamaan taqwa. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): Bekerja samalah kalian atas dasar kebajikan dan ketaqwaan, serta jangan bekerja sama atas dasar dosa dan permusuhan (QS. Al-Maidah: 2). Karena seseorang itu lemah kala sendirian, kuat dalam kebersamaan.
Dan contoh terdekatnya adalah, saat berpuasa Ramadhan sebulan penuh yang baru lalu, dimana karena saking “ringannya” sampai-sampai seolah tak terasa tiba-tiba berakhir begitu saja. Mengapa? Tak lain karena begitu dominannya nuansa kebersamaan dan demikian kentalnya iklim keguyuban dalam menunaikannya. Sementara itu, sebagai perbandingan, puasa sunnah Syawwal yang hanya enam hari saja, sebaliknya, bisa terasa begitu berat bagi umumnya kita, sehingga tak sedikit yang sampai gagal menuntaskannya, padahal niat semula bukannya tidak ada! Mengapa? Tiada lain sebabnya, adalah karena umumnya masing-masing kita hanya sendirian saja saat menjalankannya!
Akhirnya sebagai penutup, perhatikanlah firman Allah (yang artinya): Maka Istiqamahlah sebagaimana engkau diperintah. Begitu pula orang-orang yg tobat bersamamu (para sahabat, hendaklah istiqamah pula bersamamu), dan janganlah melampaui/melebih batas. Sungguh Dia Maha Tahu terhadap semua yang kamu amalkan (QS.Huud:112).
Oleh:Ustadz Ahmad Mudzoffar Jufri, MA

Rabu, 12 September 2012

MENELADANI CARA MAKAN RASULULLAH SAW.


1. Ibnul Qayyim berkata:
Barangsiapa yang memperhatikan makanan yang dikonsumsi Nabi, niscaya ia mengerti bahwa beliau tidak pernah memadukan menu antara SUSU dengan IKAN, atau antara SUSU dengan CUKA, atau antara DUA MAKANAN yang sama-sama MENGANDUNG UNSUR PANAS, UNSUR DINGIN, UNSUR LENGKET, UNSUR PENYEBAB SEMBELIT, UNSUR PENYEBAB MEN

CRET, UNSUR KERAS, atau DUA MAKANAN yang mengandung UNSUR KONTRADIKTIF, misalnya antara MAKANAN YANG MENGANDUNG UNSUR PENYEBAB SEMBELIT DENGAN YANG MENGANDUNG PENYEBAB MENCRET, ANTARA YANG MUDAH DICERNA DENGAN YANG SULIT DICERNA, ANTARA YANG DIBAKAR DENGAN YANG DIREBUS, ANTARA DAGING YANG SEGAR, DENGAN YANG SUDAH DIGARAMI DAN DIKERINGKAN, ANTARA SUSU DENGAN TELUR, DAN ANTARA DAGING DENGAN SUSU.
Beliau tidak pernah makan pada saat makanan tersebut masih sangat panas atau masakan yang dihangatkan untuk besok, makanan-makanan yang bulukan (berjamur) dan asin, seperti makanan-makanan yang DIASINKAN, DIASAMKAN, atau DIHANGUSKAN. Semua makanan ini berbahaya dan menimbulkan berbagai macam gangguan kesehatan.

2. Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam biasa melawan unsur panas pada makanan dengan unsur dingin pada makanan lain, unsur kering suatu makanan dengan unsur basah pada makanan lain, sebagaimana beliau memakan mentimun dengan ruthob (kurma matang yang belum dikeringkan), makan tamr (kurma kering) dengan minyak samin, meminum ekstrak kurma untuk melunakkan chymus (Materi semi cair, homogen, berkrim atau seperti gruel yang dihasilkan oleh pencernaan makanan oleh lambung) makanan-makanan keras. Itulah intisari makanan sehat.

3. Beliau tidak biasa minum ketika sedang makan, sehingga akan merusaknya, apalagi jika air tersebut panas atau dingin, karena itu pola makan yang buruk sekali.

4. Diriwayatkan dari Abu Hurairah,
"Rasulullah tidak pernah mencela makanan sedikitpun, jika suka, beliau memakannya, jika tidak dibiarkannya, tidak memakannya." (HR. Bukhari : 5409, dan Muslim : 2064)

5. Beliau menyukai daging, yang paling beliau sukai adalah lengan dan bagian depan kepala kambing. Karena itu, seorang wanita Yahudi pernah meracuninya.

6. Pernah suatu ketika Rasulullah diberi daging, lantas diperlihatkan bagian lengan kepada beliau, maka beliau menyukainya. (HR. Bukhari : 5712, dan Muslim : 194)

7. Daging yang disukai Nabi adalah yang paling baik dan paling mudah dicerna oleh lambung, baik itu daging leher, lengan maupun lengan atas.

8. Beliau juga menyukai makanan-makanan manis dan madu.
Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiallahu anh, ia berkata, "Nabi shalallahu ‘alaihi wassallam menyukai makanan-makanan manis dan madu." (Shahihul Bukhari : 5614).

9. Beliau biasa makan roti dengan lauk apa saja yang beliau punya, kadang daging, kadang semangka, kadang kurma, dan kadang cuka. Beliau bersabda, "Sebaik-baik lauk adalah cuka." (Shahih Muslim : 2052).

10. Beliau biasa makan buah-buahan hasil panen negerinya pada musimnya, beliau tidak memantangnya. Ini juga merupakan sarana paling besar untuk menjaga kesehatan.

11. Rasulullah bersabda : "Aku tidak makan sambil bersandar." (Shahihul Bukhari : 5398)
Ada tiga cara bersandar:
a. Bersandar pada rusuk.
b. Bersila.
c. Bersandar diatas sesuatu.
Jenis pertama menyulitkan makan, karena ia menghalangi aliran makanan secara alami, menghambat kecepatan masuknya makanan ke lambung, dan menekan lambung sehingga sulit terbuka untuk makanan. Lambung akan miring, tidak tegak, sehingga makanan tidak mudah sampai kepadanya.
Adapun dua jenis lainnya merupakan gaya duduk orang-orang sombong yang bertentangan dengan jiwa kehambaan.

12. Dalam hadits Anas disebutkan, "Saya melihat Nabi shalallahu ‘alaihi wassallam duduk dengan posisi iq'a sambil memakan kurma." (Shahih Muslim : 2044)
Beliau biasa duduk dengan posisi iq'a untuk makan, maksudnya duduk dalam posisi bertumpu pada kedua lutu, seraya memposisikan perut telapak kaki kanan, sebagai bentuk ketawadhuan kepada Rabbnya. Ini merupakan posisi paling baik pada saat makan.

13. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassallam bersabda : "Jika salah seorang dari kalian makan, maka janganlah ia membersihkan tangannya sebelum menjilatinya." (Muttafaqun ‘Alaih, Bukhari : 5376, dan Muslim : 2031).

14. Beliau makan dengan menggunakan tiga jemari beliau, dan ini merupakan cara menyuap makanan yang paling bermanfaat.

15. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda : "Wahai anak kecil ! Sebutlah nama Allah (BISMILLAH), makanlah dengan tangan kanan, dan makanlah makanan yang terdekat darimu." (Muttafaqun ‘Alaih, Bukhari : 5376, dan Muslim : 2022).

Demikianlah cara makan yang paling baik adalah cara makan beliau shalallahu ‘alaihi wassallam dan cara makan siapa saja yang meniru cara beliau.

Diringkas dari kitab : KEAJAIBAN THIBBUN NABAWI, Penulis : Aiman bin ‘Abdul Fattah, Halaman 175 - 178. Penerbit : Al-Qowam.




Kamis, 06 September 2012

CARA DAKWAH PRESIDEN MESIR DI KTT NON BLOK TUAI PUJIAN DARI TOKOH ISLAM DUNIA

Pembukaan pidato Presiden Mesir, Muhammad Mursi, di KTT Non-Blok yang diselenggarakan di negara Syiah Iran mengundang banyak pujian dari tokoh Islam.
Beliau memulai pidatonya dengan shalawat dan salam kepada Nabi kemudian mendoakan keridhoan Allah kepada Khulafaur Rasyidin, Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali bin Abi Thalib.
Hal ini membuat para da’i di Mesir, ormas pergerakan Islam, dan aktivis Mesir senang karena menganggap ucapan terang-terangan dari Mursi dalam mendoakan sahabat Nabi di Ibu Kota Iran, yang tidak pernah didengar kecuali makian dan laknat kepada mereka dari orang-orang Syiah, menunjukkan sikap Mesir yang baru dan penolakan terhadap semua bentuk penghinaan dan pelecehan terhadap sahabat nabi. Bahkan ulama Kuwait, Syaikh Hamid Al ’Aliy, menulis syair pujian untuk presiden Mursi.
Penulis buku paling populer di Timur Tengah, DR ‘Aidh Abdullah Al Qarni juga memberikan pujian atas pembukaan pidato tersebut. Dalam tweet yang diunggahnya di Twitter, ia memuji negeri Mesir dan Mursi.
“Hidup Mesir dan rakyatnya yang besar, saat salah seorang putranya (presiden Muhammad Mursi) berkata di Teheran hari ini: ‘Semoga Allah meridhai Abu Bakar dan Umar’. Di negeri yang melaknat kedua orang yang mulia tersebut dan membunuh salah satu tokohnya yaitu Umar ibnul Khaththab Radhiyallahu Anhu,” tulisnya.
Syekh Salman Audah, da’i populer di Saudi,  dalam akun twitterny berkata, “Seluruh pemimpin Arab silakan pergi ke Iran, asalkan mereka dapat menyampaikan yang haq sebagaimana yang dilakukan Mursi..”
Nadir Bakkar, juru bicara partai salafy An-Nur berkata, “Kami dukung sepenuhnya pidato Mursi yang mantap. Teruslah berjalan, jangan menoleh, insya Allah, kami akan sambut anda di airport nanti dengan sambutan terhadap seorang pahlawan..”
Asma Mahfuz, seorang aktifis wanita berkata, “Akhirnya Mesir tetap memiliki pemimpin yang memiliki kehormatan. Kini saatnya rakyat menyambut sang presiden..”
Dr. Ala’ Shadik  dari Turki mengatakan, “Pidato ini tidak mungkin keluar kecuali dari lisan pemimpin pilihan rakyat.”
Dr. Ali Al-Umari dari Saudi mengatakan, “Wahai rakyat Mesir… Pujilah Allah atas sikap tegas presiden kalian di KTT Negara2 Nonblok terhadap kekuatan tiran, terutama Suriah.”
Syaikh Hamid Abdullah Al-Ali yang merupakan mantan Sekjen Harakah Salafiyah Kuwait pun memberikan apresiasi. “Jiwaku sebagai tebusan terhadap pemimpin Mesir yg telah mengangkat panji kebenaran tinggi-tinggi dan tegas terhadap kezhaliman.”
Sementara itu, di Indonesia, Ustadz Akmal Sjafril yang merupakan salah satu kader ulama muda yang fokus dalam menangkal pemikiran liberal mengatakan bahwa fiqih dakwah Mursi perlu diambil pelajaran bari para aktivis dakwah.
“DR. Mursi ini perlu ‘dikupas’ dari sisi fiqih dakwahnya. Beliau ini harus jadi pelajaran. Unttk bersikap tegas, tidak perlu keras dan provokatif, meskipun sikap orang pasti ada saja yang tidak suka,” katanya.
“Di Iran, beliau tidak mencela kebiasaan orang Syi’ah yang melaknat sahabat Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam (secara langsung – editor Fimadani), melainkan hanya membuka orasinya dengan shalawat dan memuji keempat Khulafaur Rasyidin dan seluruh sahabat Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam.”
Ustadz Akmal Sjafril juga menerangkan kepiawaian Mursi dalam menghadapi kekuatan militer Mesir, “Beliau juga akademisi lulusan AS dan tinggal bertahun-tahun di sana, sehingga tak ada orangg yangg bisa menuduhnya ekstremis, radikalis, dan seterusnya. Beliau tetap berwibawa tanpa harus menuntut balas dendam kepada para perwira yangg dulu berkonspirasi menangkapi para petinggi Al-Ikhwan, termasuk dirinya.”
Play smooth is an important part of fiqih dakwah...,” pungkas ustadz muda ini.