“Inilah jalanku: aku dan orang-orang yang mengikutiku berdakwah kepada Allah dengan hujah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik” (Yusuf:108).

Jama'ah Penuh Berkah

Tidak ada dakwah tanpa kepemimpinan. Kadar tsiqah antara qiyadah dan jundiyah menjadi penentu bagi sejauh mana kekuatan sistem jamaah, kemantapan langkah-langkahnya, keberhasilan dalam mewujudkan tujuan-tujuannya, dan kemampuannya dalam mengatasi berbagai tantangan dan kesulitan.

Bekerja Untuk Ummat

Dan Katakanlah: Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan. (9:105)

Inilah Jalan Kami

Katakanlah: Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada Termasuk orang-orang yang musyrik. (12:108)

Yang Tegar Di Jalan Dakwah

Biduk kebersamaan kita terus berjalan. Dia telah menembus belukar, menaiki tebing, membelah laut. Sayatan luka, rasa sakit, air mata adalah bagian dari tabiat jalan yang sedang kita lalui. Dan kita tak pernah berhenti menyusurinya, mengikuti arus waktu yang juga tak pernah berhenti.

Kesungguhan Membangun Peradaban

Semua kesungguhan akan menjumpai hasilnya. Ini bukan kata mutiara, namun itulah kenyataannya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang diusahakan dengan sepenuh kesungguhan.

Rabu, 16 Januari 2013

Cerita Mesra Menyambut Suami pulang Bekerja

Seharian bekerja di luar rumah membutuhkan energi luar biasa. Bukan hanya soal jalanan yang macet dan panas luar biasa, namun juga kondisi pekerjaan dan bisnis yang selalu memunculkan tantangan-tantangan baru. Setiap tantangan rentan membuat otak berkerut, kepala berdenyut dan tentu saja wajah cemberut. Karenanya saat pulang biasanya menjadi momentum yang dirindukan, bayangan anak istri menyambut hangat sudah menghilangkan separuh penat yang tercipta seharian.

Lantas bagaimanakah seorang istri cerdas memahami hal ini ? Lalu segera bersiap untuk membuat program penyambutan suami yang istimewa ? Di luar banyak godaan dan cobaan, jangan sampai menyambut suami dengan daster dan masker, plus bau trasi yang tentu sungguh akan mengecewakan dan mengacaukan isi hati suami.

Mari mengambil inspirasi dari sebuah kisah islami yang menggugah.Syaikh Muhammad Utsman al-Khusyt dalam Al-Masyakil Az-Zaujiyah wa Hululuha menuliskan kisah tersebut. Ini adalah kisah dari Rasullah kepada para sahabatnya.  Rasulullah menceritakan tentang sosok istri seorang pencari kayu bakar yang menjadi ahli surga, karena perlakuannya terhadap suaminya. Ketika ditanyakan apa yang telah dia lakukan, wanita itu berkata :

 “Apabila suamiku pergi mencari kayu bakar aku merasakan betapa beratnya ia mencari nafkah. Aku merasakan betapa ia haus di pegunungan. Untuk itulah setiap ia pulang, aku selalu menyediakan air dingin yang langsung diminumnya begitu ia pulang. Aku menyusun dan mengatur rumah serapi mungkin. Aku menyediakan makan untuknya. Aku memakai pakaian terbaik yang aku miliki untuk menyambut kedatangannya. Saat masuk rumah, aku menciumnya penuh kerinduan. Aku serahkan jiwa ragaku untuknya.Aku menyiapkan jika ia ingin beristirahat dan aku selalu berada di dekatnya, sehingga setiap saat jika ia menginginkanku aku ada disampingnya.”

Sahabat Indonesia yang selalu optimis, mungkin terasa berat jika kita membayangkan seluruhnya harus dipraktekan hari ini juga, atau satu paket sekaligus. Jelas lebih berat, karenanya akan terasa ringan jika coba kita wujudkan satu persatu, bertahap, dan lama-lama akan menjadi kebiasaan. Tentu tidak semudah yang kita bayangkan, terkadang ada anak-anak yang meradang untuk diperhatikan. Mari hayati semua sebagai bagian dari upaya memperoleh kemuliaan.

Semoga bermanfaat dan salam optimis di Jumat yang semangat.

 http://www.indonesiaoptimis.com/2012/10/cerita-mesra-menyambut-suami-pulang.html

Sebelum Pemuda (kembali) Memimpin

Prasyarat kepemimpinan dalam Islam, tidak pernah disangkutkan dengan usia. Bahkan dalam Sholat sekalipun, urutan prioritas menjadi imam bukanlah ditangan mereka yang paling tua, akan tetapi yang paling faham dan hafal dengan kitabullah. Kalaupun ada syarat yang lain, adalah yang lebih dahulu hijrah atau masuk Islam. Lagi-lagi hal ini juga tidak selalu identik dengan prasyarat usia. Bukti yang lebih jelas lagi adalah diangkatnya Usamah bin Zaid ra oleh Rasulullah SAW untuk memimpin pasukan besar menuju Balqo’ arah Palestina pada tahun 11 Hijriyah. Sebagai catatan tambahan, usia Usamah pada waktu itu baru 18 tahun, sementara didalam pasukannya ada nama-nama besar, para sahabat veteran berbagai kancah jihad seperti Abu Bakar ra dan Umar.

Setelah ini semua, berarti tidak ada halangan syar’I yang tegas dari sisi usia untuk menjadi pemimpin. Akan tetapi permasalahan tidak sesederhana tersebut. Ada pertanyaan lain yang harus di jawab ; pemuda seperti apa yang ‘layak’ menjadi pemimpin. Ada sebuah ayat yang patut direnungkan mengenai kepemimpinan pemuda, baik kelebihan ataupun kekurangannya. Sebelum Anda wahai pemuda, berniat memimpin, mari kita kaji ulang tentang kelayakan Anda untuk memimpin

Allah SWT berfirman : “ Dan Nabi mereka berkata kepada mereka “ Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu”. Mereka menjawab, “ Bagaimana Thalut memperoleh kerajaan atas kami, sedangkan kami lebih berhak atas kerajaan itu daripadanya, dan dia tidak diberi kekayaan yang banyak ? “. (Nabi) menjawab : “ Allah telah memilihnya (menjadi raja) kamu dan memberikan kelebihan ilmu dan fisik.Allah memberikan kerajaan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki dan Allah maha luas Maha Mengetahui “ ( QS al-Baqoroh 247 )

Dari ayat di atas, setidaknya diisyaratkan ada tiga kriteria inti dan satu kriteria tambahan untuk menjadi seorang pemimpin. Siapapun dia, pemuda atau orang tua. Nah, dari empat hal tadi, menurut penulis, para pemuda baru lulus satu kriteria dari empat yang ada. Itu artinya, silahkan mengejar tiga kriteria yang lainnya dan barulah Anda bisa dipertimbangkan untuk memimpin. Apa saja empat kriteria tersebut, berikut uraian singkatnya :

Pertama : Al-Isthifa’ ( Pilihan dari Allah )

Dalam ayat jelas disebutkan : :” Allah telah memilihnya “. Artinya ada rekomendasi langsung dari Allah SWT. Ini memang sebuah hal yang mutlak menjadi preogatif Allah SWT untuk memilih diantara makhluknya yang dianggap pantas untuk memimpin. Sekilas ini sama sekali tidakbisa diperjuangkan, akan tetapi ternyata kata ‘pilihan Allah’ itu nyaris identik dengan dicintai oleh Allah SWT. Ini pulalah yang terjadi ketika Usamah ditunjuk menjadi panglima pasukan, dan banyak sahabat yang meragukannya. Maka Rasulullah SAW pun menegaskan bahwa Usamah adalah pilihan karena ia dicintai oleh Allah dan Rasulnya. Rasulullah saw bersabda kepada mereka yang meragukan kepemimpinan Usamah : “ kalian menghina kepemimpinan Usamah, sebagaimana kalian dulu juga menghina kepemimpinan bapaknya ( Zaid bin Haritsah) , Demi Allah sesungguhnya ia berhak atas kepemimpinan itu, dan dia termasuk seorang yang paling aku cintai, dan ini (Usamah) adalah orang yang paling aku cintai setelahnya “ ( HR Bukhori ).

Penegasan Rasulullah SAW tentang status Usamah sebagai pilihan dan yang berhak memimpin karena dicintai Rasulullah SAW (dan dicintai Allah juga) membuat para sahabat hanya bisa diam seribu bahasa.Sami’na wa atho’na. Ada juga hadits lain yang menegaskan ulang bahwa kriteria pemimpin pilihan adalah yang dicintai Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda : "Barang siapa yang mengangkat pemimpin suatu jamaah padahal di antara mereka ada orang lain yang lebih disenangi oleh Allah, berarti ia telah berkhianat kepada Allah, Rasul dan orang-orang yang beriman." (Riwayat Hakim dari Ibnu Abbas, dan Suyuti memberikan kode shahih terhadap hadits ini.)

Nah, menjadi semakin jelas bahwa sebelum menjadi pemimpin, haruslah dicintai Allah SWT terlebih dahulu. Pertanyaan yang harus dijawab selanjutnya adalah : Bagaimana cara paling tepat untuk dicintai oleh Allah SWT ? Jawaban sederhananya dapat kita lihat dalam ayat berikut. Allah SWT berfirman : “ Katakanlah (Muhammad) Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” ( QS Ali Imron 31)

Sehingga, syarat dicintai Allah –sebagaimana termaktub dalam ayat – adalah ittiba’ rasulullah saw. Inilah pekerjaan rumah yang panjang bagi para pemuda sebelum kembali memimpin. Arti sederhananya, bagaimana seorang pemuda harus mempunyai kualitas ibadah, aqidah dan akhlak yang kokoh terlebih dahulu, baru kemudian ia bisa dipertimbangkan untuk menjadi pemimpin.

Kedua : Ilmu dan Pemahaman

Kriteria yang ini mutlak tidak bisa tidak harus ada pada diri seorang pemimpin. Untuk urusan imam sholat sekalipun, yang diminta adalah yang paling banyak ilmunya tentang kitabullah. Lantas, bagaimana dengan ilmu dan pemahaman seorang pemuda. Tanpa bermaksud menggeneralisir, sebuah hal yang wajar bagi semua orang bahwa menuntut ilmu dan menambah pemahaman adalah aktifitas yang membutuhkan waktu, proses, dan tahapan-tahapan. Imam Syafi’I pun berseru lantang : ilmu tidak akan didapat kecuali seseorang menempuh masa tholabul ilmi yang panjang. Tinta sejarah Islam menyebutkan bahwa para ilmuwan muslim rata-rata berguru kepada syeikhnya dalam kurun waktu puluhan tahun. Bahkan contoh di jaman milenium ini, seorang mahasiswa doktoral pun diminta menyelesaikan disertasinya minimal selama 2,5 tahun. Itu artinya, sekalipun ia telah merampungkan disertasinya di tahun pertama, karyanya tersebut belum bisa disidangkan.

Pemuda dengan ‘jam terbang’ keilmuan yang terbatas akan sangat riskan jika harus maju menjadi pemimpin. Akibatnya bisa berarti kerusakan dan kehancuran. Tentang hal ini, Rasulullah SAW telah memberikan peringatan dalam sabdanya : “ Jika sebuah urusan diserahkan pada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya “ (HR Bukhori ).

Inilah yang seharusnya direnungkan oleh setiap pemuda yang merasa sudah saatnya memimpin. Pengalaman rapat, diskusi berjam-jam, hingga demonstrasi yang berdarah-darah sekalipun tidak lantas membuahkan sebuah pemahaman yang utuh akan manhaj Islam dan dakwah. Pemuda kita masih harus mengkhususkan sebagian waktunya untuk menambah ilmu dan pemahaman yang lebih signifikan. Ada baiknya kita renungkan pesan dua pahlawan Islam sebagai berikut :

Umar bin Khotob ra berkata : Tafaqqohuu qobla an tusawwaddu ( Tingkatkanlah pemahaman sebelum kamu diangkat jadi pemimpin ). Sementara itu, Ibnu Hajar dalam Fathul Bary mengutip ucapan Imam Syafi’I ra : Idza tashoddaro al-hadts faatahu ‘ilmun katsiir ( Apabila anak muda diangkat menjadi pemimpin maka ia kehilangan banyak Ilmu )

Ketiga : Kekuatan Fisik ( jasad)

Diisyaratkan dalam ayat tentang kekuatan fisik menjadi salah satu kriteria untuk menjadi pemimpin. Barangkali ini kriteria yang sepenuhnya dimiliki oleh para pemuda secara umum. Tidak ada yang meragukan kekuatan fisik para pemuda. Karena fase pemuda memang puncak kekuatan dalam fase hidup manusia. AlQuran sendiri melegitimasi kekuatan fisik sang pemuda dalam ayatnya : “ Allahlah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian dia menjadikan (kamu) setelah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah kuat itu lemah (kembali) dan beruban “ (QS Ar-Ruum 54)

Berkaitan dengan kepemimpinan, kita meyakini bahwa pemimpin adalah pelayan. Untuk itu, diperlukan sebuah stamina yang kokoh dan kemampuan mobilitas yang tinggi bagi seorang pemimpin. Jadi, kriteria fisik bukan sekedar untuk gagah-gagahan apalagi tebar pesona. Kriteria fisik murni untuk kontribusi bagi umat.

Ada dua hadits yang menyebutkan orang yang paling dicintai oleh Allah SWT. Pertama, Rasulullah SAW bersabda : “ Orang mukmin kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah dari pada mukmin yang lemah “ ( HR Muslim). Mengapa orang mukmin yang kuat lebih dicintai oleh Allah SWT ? Jawaban sederhananya ada dalam hadits selanjutnya. Rasulullah SAW bersabda : " Orang yang lebih dicintai Allah adalah yang lebih banyak manfaatnya bagi orang lain “ (HR Thobroni). Dengan demikian, kekuatan fisik yang dimiliki oleh pemuda bukanlah hal yang istimewa disisi Allah kecuali jika telah digunakan untuk kepentingan orang banyak.

Keempat : Penerimaan publik

Ini bukan kriteria utama, akan tetapi tetap saja mempunyai efek yang signifikan. Dalam sholat sekalipun, tidak diperkenankan menjadi imam bagi mereka yang tidak disukai jamaahnya. Contoh sejarah telah banyak membuktikan bahwa kelancaran kinerja sebuah jamaah, organisasi, ataupun pasukan biasanya ditentukan faktor ketaatan pada pimpinan. Pada kondisi tertentu, ketaatan ini sangat berhubungan dengan penerimaan publik atau orang-orang yang dipimpinnya. Jika sejak awal ada ketidakpercayaan pada sosok pimpinan, maka ini akan sangat mengganggu kerja-kerja berikutnya.

Anehnya, inilah tipe masyarakat kita secara umumnya. Mereka mengharuskan pemimpin adalah seorang yang mereka cintai, terima, dan terpercaya. Dalam bahasa sederhana kita adalah kredibilitas dan penerimaan publik. Ini sebenarnya bukan fenomena baru. Rujuk kembali ayat diatas ( Al-Baqoroh 247), ketika Allah menggambarkan ketidakpuasan bani Israil dengan kepemimpinan Tholut: Mereka menjawab, “ Bagaimana Thalut memperoleh kerajaan atas kami, sedangkan kami lebih berhak atas kerajaan itu daripadanya, dan dia tidak diberi kekayaan yang banyak ? “. Thalut adalah seorang raja pilihan yang kurang dikehendaki oleh Bani Israil, karena bagi mereka seorang raja haruslah dari kalangan hartawan atau terpandang. Pandangan seperti ini pulalah yang menjadikan ada beberapa sahabat juga meragukan kepemimpinan Usamah sebagai panglima perang. Usamah ra kurang diterima secara publik selain karena masih muda, mungkin juga karena garis keturunan Usamah bukan keturunan bangsawan Arab, bahkan dari golongan budak.

Barangkali pemuda kita akan mengalami hal yang sama dalam kasus Usamah. Usia yang muda akan menjadi hambatan dalam penerimaan publik. Apalagi masyarakat kita masih memiliki nuansa feodal yang kental. Jangankan untuk urusan pemerintahan, untuk menjadi imam sholat pun para pemuda masih dipandang sebelah mata. Lihat saja masjid-masjid di desa atau sudut-sudut kota, para imamnya kebanyakan adalah bapak-bapak tua dengan kondisi fisik yang payah plus bacaan qur’an yang terengah-engah. Anak muda nyaris tidak pernah diijinkan melewati shof pertama untuk menjadi imam.

Dengan demikian, kepada Anda atau kita para pemuda yang mungkin merasa telah datang masanya mengambil tongkat estafet kepemimpinan, lihatlah sejenak diri kita dari semua sisinya. Apakah sekedar semangat reformasi yang menyala-nyala ditambah konsep-konsep idealisme tentang manajemen pemerintahan yang bersih, atau apakah memang kita sudah mengantongi kriteria-kriteria unggulan di atas. Masing-masing kita mempunyai jawabannya, hingga ketika nanti datang momentum yang tepat dimana pemuda kita sudah layak (kembali) memimpin, bolehlah Anda menyanyi dengan lantang :

“ PAK TUA SUDAHLAH…ENGKAU SUDAH TERLIHAT LELAH
PAK TUA SUDAHLAH..KAMI MAMPU UNTUK BEKERJA..“.

Wallahu a’lam bisshowab.

 http://www.indonesiaoptimis.com/2008/12/artikel-sebelum-pemuda-kembali-memimpin.html

Kebahagiaan Dunia yang Harus Diupayakan

Kita senantiasa berdoa dengan untaian harapan kebahagian yang seimbang dunia dan akhirat.  Doa yang dimaksud adalah,  sebagaimana disebutkan dalam surat Al Baqorohayat 201 : "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka" . Tentang kebahagiaan dan kebaikan negeri akhirat, tentunya adalah surga dengan segala kenikmatannya. Adapun kebaikan dan kebahagiaan dunia, setidaknya satu riwayat berikut ini bisa menjadi gambaran beberapa contoh  yang bisa kita upayakan. Rasulullah SAW bersabda : " Termasuk kebahagiaan seseorang musim di dunia : Tetangga yang baik, rumah yang lapang dan kendaraan yang nyaman " (HR Ahmad).

Pertama: Tetangga  dan Lingkungan yang Baik
Islam menginginkan terciptanya kehidupan bermasyarakat yang nyaman dan tenteram. Bahkan bagian dari keimanan seorang muslim adalah sikapnya terhadap sang tetangga. Rasulullah SAW mengingatkan suatu ketika : “Demi Allah tidak beriman, “Demi Allah tidak beriman, “Demi Allah tidak beriman”. Para shahabat bertanya siapakah mereka wahai Rasulullah? “Yaitu orang yang tidak memberikan rasa aman bagi tetangganya dari kejahatan dirinya” (HR Muslim)

Tetangga yang baik akan membuat kita nyaman saat keluar rumah, aman saat di dalam rumah, juga bahagia saat bersua dan bersapa. Begitu pula dengan anak dan istri kita, adalah suatu kebahagiaan menemukan lingkungan yang islami, penuh toleransi, saling menjaga dan menghargai. Bukan lingkungan penuh dengan curiga dan buruk sangka, gosip rutin antara tetangga, anak-anak yang bermain tanpa batas, semua hanya akan menyesakkan dada kita. Benarlah anjuran sebuah riwayat menyatakan : al-jaar qobla daar .Pilih tetangga terlebih dahulu sebelum memilih rumah.

Kedua : Rumah yang Lapang
Dengan rumah yang luas, hati kita menjadi lebih lapang. Akan banyak muncul inspirasi untuk lebih membahagiakan keluarga dan berbuat untuk umat. Anak-anak bisa leluasa bermain atau belajar tanpa saling mengganggu. Berbeda dengan rumah yang sempit, dengan penghuni yang berdesak-desakan, akan lebih banyak membuat hati menjadi sempit.Belum lagi jika ada sanak atau kerabat bertandang, maka amalan untuk memuliakan tamu menjadi tidak bisa dioptimalkan. Kalaupun bisa, maka biasanya akan kurang menjaga adab pergaulan dan pandangan seorang muslim.  Selain itu, rumah yang lapang akan bisa dimanfaatkan untuk kegiatan publik yang bermanfaat. Dari mulai taman baca, tempat pengajian, posyandu, atau rapat-rapat rutin yang menambah ukhuwah dan kedekatan antar warga. Bukankah seorang muslim terbaik adalah yang paling luas kemanfaataannya. Maka semestinya semakin luasnya rumah dan ditambah lapangnya hati, semakin menambah keberkahan dan kemanfaatannya.

Ketiga : Kendaraan yang Nyaman
Kendaraan nyaman tidak berarti mewah, yang terpenting adalah berfungsi dengan baik dan normal.  Seorang muslim dituntut untuk menjadi insan yang bermanfaat, mau tidak mau harus lebih banyak keluar rumah untuk menyebarkan potensinya, bekerja dan berusaha, ataupun menyambung tali silaturahim.  Karenanya ia akan lebih sering bergerak di luar rumah, maka ia akan membutuhkan kendaraan agar lancar mobilitasnya. Sebaliknya, kendaraan yang sering rusak atau mogok tentulah menjadi permasalahan tersendiri yang menganggu. Produktifitas kerja dan kemanfaatan menjadi turun atau terganggu.

Atas dasar ini semua, maka bersyukurlah jika sebagian dari kebaikan dunia di atas telah kita dapatkan dan menghiasi hari-hari kita. Jika belum terpenuhi, tentu bisa kita upayakan dengan niatan

 http://www.indonesiaoptimis.com/2012/12/bahagia-dunia.html

Perbedaan Zakat Infaq dan Sedekah


Sebuah SMS masuk ke ponsel Saya. Isinya begini : Assalamk mohon ustadz jelaskan perbedaan antara zaka, infaq dan sedekah. tiga istilah ini seringkali kita dengar tanpa tahu apa sih sebenarnya hakikat masing-masing itu. Mohon pencerahan ya ustadz.
wassalamu alaikum.
Hmm, sebuah pesan singkat, makanya pakai SMS. Tapi jawabannya tidak mungkin singkat, sehingga tidak bisa dikirim pakai SMS juga. SMS itu saya jawab bahwa susah rasanya kalau menjelaskan jawabannya pakai SMS juga, sebab selain susah mencet-mencet hurufnya di ponsel meski sudah pakai QWERTY, isinya pun akan terlalu panjang kalau dibaca di ponsel juga. Tidak akan nyaman dibaca di layar ponsel biasa.
Maka saya pesan bahwa jawabannya bisa dibaca di situs saya saja, ya situs ini : www.ustsarwat.com. Biar nanti orang lain pun juga mengambil manfaat juga dengan membacanya. Karena itulah saya tulis jawaban ini untuk menjelaskan apa kira-kira perbedaan antara ketiganya.
Memang ketiga istilah itu sangat akrab di telinga kita, seolah sudah menjadi satu kesatuan. Tetapi sesungguhnya masing-masing istilah itu punya hakikat dan pengertian sendiri-sendiri yang cukup spesifik, sehingga kita perlu menyebutkannya satu persatu. Karena bukan sinonim, bahkan dari segi hukum, juga amat berbeda.
1. Infaq
Saya akan mulai dari istilah infaq. Karena istilah infaq ini boleh dibilang merupakan induk dari ketiga istilah tadi.
Asal kata infaq dari bahasa arab, yaitu (أنفق – ينفق – إنفاقا) yang bermakna mengeluarkan atau membelanjakan harta.
Berbeda dengan yang sering kita pahami dengan istilah infaq yang selalu dikaitkan dengan sejenis sumbangan atau donasi, istilah infaq dalam bahasa Arab sesungguhnya masih sangat umum. Intinya, hanya mengeluarkan harta atau membelanjakannya. Apakah untuk kebaikan, donasi, atau sesuatu yang bersifat untuk diri sendiri, atau bahkan keinginan dan kebutuhan yang bersifat konsumtif, semua masuk dalam istilah infaq.
a. Membelanjakan Harta
Mari kita lihat istilah infaq dalam beberapa ayat quran, misalnya :
لَوْ أَنفَقْتَ مَا فِي الأَرْضِ جَمِيعاً مَّا أَلَّفَتْ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ
Walaupun kamu membelanjakan semua yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka. (QS. Al-Anfal : 63)
Dalam terjemahan versi Departemen Agama RI tertulis kata anfaqta dengan arti : membelanjakan dan bukan menginfaqkan. Sebab memang asal kata infaq adalah mengeluarkan harta, mendanai, membelanjakan, secara umum apa saja. Tidak hanya terbatas di jalan Allah, atau sosial atau donasi.
b. Memberi Nafkah
Kata infaq ini juga berlaku ketika seorang suami membiayai belanja keluarga atau rumah tangganya. Dan istilah baku dalam bahasa Indonesia sering disebut dengan nafkah. Kata nafkah tidak lain adalah bentukan dari kata infaq. Dan hal ini juga disebutkan di dalam Al-Quran :
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء بِمَا فَضَّلَ اللّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain , dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (QS. An-Nisa`: 34)
c. Mengeluarkan Zakat
Dan kata infaq di dalam Al-Quran kadang juga dipakai untuk mengeluarkan harta (zakat) atas hasil kerja dan hasil bumi (panen).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَنفِقُواْ مِن طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُم مِّنَ الأَرْضِ
Hai orang-orang yang beriman, keluarkanlah zakat sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. (QS. Al-Baqarah : 267)
Jadi kesimpulannya, istilah infaq itu sangat luas cakupannya, bukan hanya dalam masalah zakat atau sedekah, tetapi termasuk juga membelanjakan harta, memberi nafkah bahkan juga mendanai suatu hal, baik bersifat ibadah atau pun bukan ibadah. Termasuk yang halal atau yang haram, asalkan membutuhkan dana dan dikeluarkan dana itu, semua termasuk dalam istilah infaq.
Jadi orang yang beli minuman keras yang haram hukumnya bisa disebut mengifaqkan uangnya. Orang yang membayar pelacur untuk berzina, juga bisa disebut menginfaqkan uangnya. Demikian juga orang yang menyuap atau menyogok pejabat juga bisa disebut menginfaqkan uangnya.
2. Sedekah
Istilah sedekah dalam teks Arab tertulis (صدقة), punya kemiripan dengan istilah infaq di atas, tetapi lebih spesifik. Sedekah adalah membelanjakan harta atau mengeluarkan dana dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah.
Ar-Raghib al-Asfahani mendefiniskan bahwa sedekah adalah : (مَا يُخْرِجُهُ الإِْنْسَانُ مِنْ مَالِهِ عَلَى وَجْهِ الْقُرْبَةِ), maksudnya adalah : harta yang dikeluarkan oleh seseorang dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah.
Jadi beda antara infaq dan sedekah dalam niat dan tujuan, dimana sedekah itu sudah lebih jelas dan spesifik bahwa harta itu dikeluarkan dalam rangka ibadah. Sedangkan infaq, ada yang sifatnya ibadah (mendekatkan diri kepada Allah) dan juga termasuk yang bukan ibadah.
Maka istilah sedekah tidak bisa dipakai untuk membayar pelacur, atau membeli minuman keras, atau menyogok pejabat. Sebab sedekah hanya untuk kepentingan mendekatkan diri kepada Allah alias ibadah saja.
Lebih jauh lagi, istilah sedekah yang intinya mengeluarkan harta di jalan Allah itu, ada yang hukumnya wajib dan ada yang hukumnya sunnah.
Ketika seorang memberikan hartanya kepada anak yatim, atau untuk membangun masjid, mushalla, pesantren, perpustakaan, atau memberi beasiswa, semua itu adalah sedekah yang hukumnya bukan wajib. Termasuk ketika seseorang mewakafkan hartanya di jalan Allah, bisa disebut dengan sedekah juga.
Di dalam hadits nabi SAW yang menjadi dasar masyru`iyah waqaf, beliau SAW menyebutkan dengan istilah : sedekah.
تَصَدَّقْ بِأَصْلِهِ لاَ يُبَاعُ وَلاَ يُوهَبُ وَلاَ يُورَثُ
Bersedekahlah dengan pokoh harta itu (kebun kurma), tapi jangan dijual, jangan dihibahkan dan jangan diwariskan.(HR. Bukhari)
3. Zakat
Sedangkan sedekah yang hukumnya wajib, maka para ulama sepakat untuk menyebutnya sebagai zakat.
Dengan kata lain, sedekah yang wajib itu adalah zakat. Atau sebaliknya, zakat adalah sedekah yang hukumnya wajib. Di luar zakat, asalkan masih dalam rangka kebaikan, cukup kita sebut dengan istilah sedekah.
Perbedaan Zakat dan Sedekah
Zakat sangat berbeda dengan sedekah, kalau kita rinci perbedaannya antara lain :
a. Dari Segi Hukum
Zakat hukumnya wajib, sedangkan sedekah hukumnya sunnah. Itu perbedaan paling mendasar antara keduanya, meski sama-sama di jalan Allah dan pasti berpahala.
Zakat merupakan bagian dari rukun Islam, yang bisa ditinggalkan termasuk dosa besar. Bahkan kalau diingkari kewajibannya, bisa berakibat runtuhnya status keislaman seseorang.
Amirul mukminim, Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu`anhu memvonis kafir para pengingkar zakat dan memaklumatkan perang kepada mereka, dalam arti darah mereka halal.
Sedangkan sedekah yang hukumnya sunnah, tentu tidak ada paksaan untuk dijalankan. Dan tidak ada sanksi baik di dunia atau pun di akhirat.
b. Dari Segi Waktu
Zakat hanya dikeluarkan pada waktunya. Sedangkan sedekah tidak ada ketentuan waktu pelaksanaannya.
Zakat Fithr dikeluarkannya hanya pada menjelang hari Raya Iedul Fithr, bila telah lewat shalat Iedul Fithr, makanya sudah bukan zakat Fitrh lagi, melainkan sedekah biasa.
Zakat emas, perak, uang tabungan, perniagaan, peternakan dikeluarkan pada saat telah dimiliki genap satu tahun terhitung sejak mencapai jumlah minimal (nishab). Zakat pertanian, zakat rikaz dan zakat profesi dikeluarkan pada saat menerima harta.
c. Dari Segi Kriteria Harta
Tidak semua harta yang merupakan kekayaan wajib dikeluarkan zakatnya. Asset yang berupa benda, seperti rumah, tanah, kendaraan, apabila tidak produktif tidak diwajibkan untuk dikeluarkan zakatnya. Namun apabila seseorang ingin bersedekah atas harta yang dimilikinya, tentu tidak terlarang bahkan berpahala.
d. Dari Segi Pihak Yang Berhak Menerima (Mustahiq)
Harta zakat tidak boleh diberikan kepada sembarang orang, sebab ketentuannya telah ditetapkan hanya untuk 8 kelompok saja. Dan hal itu Allah SWT tegaskan di dalam Al-Quran :
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاء وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي
سَبِيلِ اللّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِّنَ اللّهِ وَاللّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu`allaf yang dibujuk hatinya, untuk budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. At-Taubah : 60)
Kalau kita perhatikan ayat di atas, mereka yang berhak atas harta zakat itu tidak termasuk anak yatim, para janda, para siswa berperestasi, atau korban bencana. Sebab mereka itu tidak disebutkan dalam jajaran para mustahiq, padahal ayat di atas dimulai dengan kata (إنَّمَا). Fungsinya membatasi, dimana selain yang disebutkan, tidak berhak dan haram unmtuk menerima harta zakat.
Maka dana zakat juga haram untuk membangun masjid, mushalla, pesantren, jalan, jembatan, juga tidak dibenarkan untuk dijadikan modal pembiayaan sebuah usaha walau misalnya untuk rakyat kecil.
Sedangkan sedekah boleh diberikan kepada siapa saja, asalkan memang bermanfaat dan tepat guna.
e. Dari Segi Jumlah Prosentase Yang Wajib Dibayarkan
Ketentuan harta yang wajib dikeluarkan dalam zakat itu pasti, besarannya ada yang 1/40 atau 2,5 % seperti zakat emas, perak, uang tabungan, perniagaan atau profesi. Ada juga 1/20 atau 5% seperti zakat panen hasil bumi yang diairi. Dan ada yang 1/10 atau 10% seperti zakat panen hasil bumi yang tidak diairi. Bahkan ada juga yang 1/5 atau 20% seperti zakat rikaz.
Sedangkan sedekah tidak ditetapkan berapa besarnya. Seseorang boleh menyedekahkan berapa saja dari hartanya, seikhlasnya dan sesukanya. Boleh lebih dari zakat atau juga boleh kurang.
Kesimpulan
Infaq : mengeluarkan harta, baik di jalan kebaikan atau di jalan kesesatan. Hukumnya ada yang haram, ada yang sunnah dan ada yang wajib.
Sedekah : infaq yang khusus di jalan kebaikan saja. Hukumnya ada yang sunnah dan ada yang wajib.
Zakat : sedekah yang hukumnya wajib saja
Wallahu a`lam bishshawab, wassalamu `alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Sumber:http://www.ustsarwat.com/web/berita-80-perbedaan-zakat-infaq-dan-sedekah.html
Untuk Tanya jawab dengan beragam tema yang lebih lengkap, silahkan kunjungi langsung Web Ustadz  Ahmad Sarwat, Lc

Do’a Yang Selalu Terkabul (Seri Keajaiban Istighfar)

Dikisahkan bahwa, sekali waktu Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah bepergian untuk suatu keperluan sampai kemalaman di sebuah kampung. Karena tidak ingin merepotkan siapapun, beliaupun mampir ke sebuah masjid kecil untuk shalat sekaligus berniat bermalam disana.
  Seusai shalat dan ketika hendak merebahkan tubuh tua beliau di masjid kecil tersebut guna melepaskan sedikit kepenatan malam itu, tiba-tiba sang penjaga masjid datang dan melarang beliau tidur di dalamnya. Sang penjaga tidak mengetahui bahwa, yang dihadapainya adalah seorang ulama besar. Sementara Imam Ahmad juga tidak ingin memperkenalkan diri kepadanya. Beliau langsung keluar dan berpindah ke teras masjid dengan niat beristirahat disana. Namun sang penjaga tetap saja mengusir beliau secara kasar dan bahkan sampai menarik beliau ke jalanan.
Tapi taqdir Allah, tepat saat Imam Ahmad sedang kebingungan di jalan itu, melintaslah seseorang,  yang ternyata berprofesi sebagai pembuat dan penjual roti. Akhirnya dia menawari dan mengajak beliau untuk menginap di tempatnya, juga tanpa tahu bahwa, tamunya ini adalah Imam Ahmad bin Hambal.
Ketika sampai di rumahnya, sang lelaki baik hati itupun segera mempersiapkan tempat bermalam untuk Imam Ahmad dan mempersilahkan beliau agar langsung istirahat. Sedangkan dia sendiri justru mulai bekerja dengan menyiapkan bahan-bahan pembuatan roti yang akan dijualnya esok hari.
Ternyata Imam Ahmad tidak langsung tidur, melainkan malah memperhatikan segala gerak gerik sang pembuat roti yang menjamu beliau. Dan ada satu hal yang paling menarik perhatian beliau dari lelaki ini. Yakni ucapan dzikir dan doa istighfar yang terus meluncur dari mulutnya tanpa putus sejak awal ia mulai mengerjakan adonan rotinya.
  Imam Ahmad merasa penasaran lalu bertanya: Sejak kapan kamu selalu beristighfar tanpa henti seperti ini? Ia menjawab: Sejak lama sekali. Ini sudah menjadi kebiasaan rutin saya, hampir dalam segala kondisi. Sang Imam melanjutkan pertanyaan beliau: Lalu apakah kamu bisa merasakan adanya hasil dan manfaat tertentu dari kebiasaan istighfarmu ini? Ya, tentu saja, jawab sang tukang roti dengan cepat dan penuh keyakinan. Apa itu, kalau boleh tahu?, tanya Imam Ahmad lagi.
Iapun menjelaskan seraya bertutur: Sejak merutinkan bacaan doa istighfar ini, saya merasa tidak ada satu doapun yang saya panjatkan untuk kebutuhan saya selama ini, melainkan selalu Allah kabulkan, kecuali satu doa saja yang masih belum terijabahi sampai detik ini?
Sang Imam semakin penasaran dan bertanya: Apa gerangan doa yang satu itu? Si lelaki saleh inipun melanjutkan jawabannya dan berkata: Ya, sudah cukup lama saya selalu berdoa memohon kepada Allah untuk bisa dipertemukan dengan seorang ulama besar yang sangat saya cintai dan agungkan. Beliau adalah Imam Ahmad bin Hambal!
Mendengar jawaban dan penjelasan terakhir ini, Imam Ahmad terhenyak dan langsung bangkit serta bertakbir: Allahu Akbar! Ketahuilah wahai Saudaraku bahwa, Allah telah mengabulkan doamu!
Disini gantian Pak pembuat roti yang kaget dan penasaran: Apa kata Bapak? Doaku telah dikabulkan? Bagaimana caranya? Dimana saya bisa menemui Sang Imam panutan saya itu?
Selanjutnya Imam Ahmad menjawab dengan tenang: Ya. Benar, Allah telah mengijabahi doamu. Ternyata semua yang aku alami hari ini, mulai dari kemalaman di kampungmu ini, diusir sang penjaga masjid, bertemu dengan kamu di jalanan, sampai menginap di rumahmu sekarang ini, rupanya itu semua hanya merupakan cara Allah untuk mengabulkan doa hamba-Nya yang saleh. Ya, orang yang sangat ingin kamu temui selama ini telah ada di rumahmu, dan bahkan di depanmu sekarang. Ketahuilah wahai lelaki saleh, aku adalah Ahmad bin Hambal…!
Dan tentu setiap kita sudah bisa membayangkan, apa yang mungkin terjadi dan dilakukan oleh sang tukang roti saleh tersebut setelah itu…!
Rahimahumallahu rahmatan wasi’ah…!
Semoga Allah merahmati keduanya dengan rahmat yang seluas-luasnya…!
(Di sadur dari status FB Ustadz Ahmad Mudzoffar Jufri MA)