“Inilah jalanku: aku dan orang-orang yang mengikutiku berdakwah kepada Allah dengan hujah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik” (Yusuf:108).

Jama'ah Penuh Berkah

Tidak ada dakwah tanpa kepemimpinan. Kadar tsiqah antara qiyadah dan jundiyah menjadi penentu bagi sejauh mana kekuatan sistem jamaah, kemantapan langkah-langkahnya, keberhasilan dalam mewujudkan tujuan-tujuannya, dan kemampuannya dalam mengatasi berbagai tantangan dan kesulitan.

Bekerja Untuk Ummat

Dan Katakanlah: Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan. (9:105)

Inilah Jalan Kami

Katakanlah: Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada Termasuk orang-orang yang musyrik. (12:108)

Yang Tegar Di Jalan Dakwah

Biduk kebersamaan kita terus berjalan. Dia telah menembus belukar, menaiki tebing, membelah laut. Sayatan luka, rasa sakit, air mata adalah bagian dari tabiat jalan yang sedang kita lalui. Dan kita tak pernah berhenti menyusurinya, mengikuti arus waktu yang juga tak pernah berhenti.

Kesungguhan Membangun Peradaban

Semua kesungguhan akan menjumpai hasilnya. Ini bukan kata mutiara, namun itulah kenyataannya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang diusahakan dengan sepenuh kesungguhan.

Selasa, 30 Juli 2013

Fiqih I'tikaf Lengkap

 
Assalamu 'alaikum wr. wb.
Ustadz yang dirahmati Allah.

Kita sudah mulai memasuki har-hari akhir bulan Ramadhan, dan sudah banyak yang mulai melaksanakan ibadah i'tikaf di masjid. Saya punya beberapa pertanyaan mendasar sebagai bekal i'tikaf nanti :

1. Apa pengertian i’tikaf ?
2. Apa dalil yang mendasari ibadah i'tikaf ini?
3. Apa hukum mengerjakan i'tikaf, wajibkan bagi setiap muslim?
4. Apa saja rukun-rukun i'tikaf yang tidak boleh ditinggalkan?
5. Tindakan apa saya yang termasuk membatalkan i’tikaf?
6. Hal-hal apa saja yang boleh dilakukan ketika i’tikaf?

Mohon maaf sekali karena pertanyaannya terlalu banyak, tetapi saya sangat berterima kasih kalau ustadz bersedia menjawabnya.

Wassalam



Jawaban :

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Melaksanakan ibadah i’tikaf adalah salah satu amal yang amat dianjurkan untuk dikerjakan, terlebih khususnya di bulan Ramadhan. Rasulullah SAW terbiasa menjalankannya, khususnya di 10 hari terakhir Ramadhan.
Namun bukan berarti i’tikaf hanya dikerjakan pada bulan Ramadhan saja. Di luar bulan Ramadhan pun i’tikaf disyariatkan untuk dikerjakan.
Pertanyaan antum ini kelihatannya singkat, padahal kalau dijawab satu per satul lumaya banyak juga. Jadi dalam kesempatan ini izinkan saya sampaikan sedikit lebih jauh tentang i’tikaf, terkait pada pengertian, karakteristik, hukum, rukun, sunnah, yang membatalkan dan seterusnya.
A. Pengertian
1. Bahasa
Secara bahasa, i’tikaf berasal dari bahasa arab ‘akafa (عكف), yang bermakna al-habsu (الحبس) atau memenjarakan.
Allah SWT menggunakan istilah ‘akafa dalam bentuk ma’kufa (معكوفا) dalam salah satu ayat Quran dengan makna menghalangi.
هُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا وَصَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَالْهَدْيَ مَعْكُوفًا أَنْ يَبْلُغَ مَحِلَّهُ
Merekalah orang-orang yang kafir yang menghalangi kamu dari (masuk) Masjidilharam dan menghalangi hewan kurban sampai ke tempat (penyembelihan) nya. (QS. Al-Fath : 25)
Maka i’tikaf secara bahasa bisa diartikan
حَبْسُ النَّفْسِ عَنِ التَّصَرُّفَاتِ الْعَادِيَّةِ
Memenjarakan diri sendiri dari melakukan sesuatu yang biasa
2. Istilah
Sedangkan secara istilah dalam ilmu fiqih, definisi i’tikaf adalah :
اللُّبْثُ فِي الْمَسْجِدِ عَلَى صِفَةٍ مَخْصُوصَةٍ بِنِيَّةٍ
Berdiam di dalam masjid dengan tata cara tertentu dan disertai niat.
B. Karakteristik
Pada hakikatnya ritual i’tikaf itu tidak lain adalah shalat di dalam masjid, baik shalat secara hakiki maupun secara hukum.
Yang dimaksud shalat secara hakiki adalah shalat fardhu lima waktu dan juga shalat-shalat sunnah lainnya. Sedangkan yang dimaksud dengan shalat secara hukum adalah menunggu datangnya waktu shalat di dalam masjid.
Orang yang beri’tikaf itu memiliki misi yaitu berupaya menyamakan dirinya layaknya malaikat yang tidak bermaksiat kepada Allah, mengerjakan semua perintah Allah, bertasbih siang malam tanpa henti.
I’tikaf adalah ibadah dengan cara menyerahkan diri kepada Allah SWT, dengan cara memenjarakan diri di dalam masjid, dan menyibukkan diri dengan berbagai bentuk ibadah yang layak dilakukan di dalamnya.
C. Masyru’iyah
Ibadah i’tikaf disyariatkan melalui Al-Quran dan Al-Hadits. Di antara ayat Quran yang membicarakan i’tikaf adalah :
وَعَهِدْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَن طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ
Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, yang iktikaf, yang rukuk dan yang sujud".(QS. Al-Baqarah : 125)
وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“…janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid.” (QS. Al-Baqarah : 187)
Sedangkan dari hadits nabawi, ada banyak sekali keterangan bahwa beliau SAW melakukan i’tikaf, khususnya di bulan Ramadhan. Bahkan beliau SAW menganjurkan para shahabat untuk ikut beri’tikaf bersama beliau di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.
مَنْ كَانَ اعْتَكَفَ مَعِي فَلْيَعْتَكِفِ الْعَشْرَ الأَْوَاخِرَ
Siapa yang ingin beri’tikaf denganku, maka lakukanlah pada sepuluh terakhir.” (HR. Bukhari)
D. Hukum I’tikaf
Seluruh ulama sepakat bahwa secara hukum asal, ibadah i’tikaf itu hukumnya sunnah. Dan bisa berubah menjadi wajib, manakala seseorang bernadzar untuk melakukannya.
1. Sunnah
Meski sepakat bahwa hukum i’tikaf itu sunnah, namun para ulama berbeda pendapat tentang martabat dan level kesunnahannya.
Madzhab Al-Hanafiyah menyebutkan bahwa hukumnya sunnah muakkadah, yaitu pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Sedangkan di luar sepuluh hari itu, hukumnya mustahab.
Yang masyhur dari madzhab Al-Malikiyah, bahwa i’tikaf itu hukumnya mandub muakkad, bukan sunnah. Ibnu Abdil-Barr berkata bahwa i’tikaf hukumnya sunnah pada bulan Ramadhan, dan mandub di luar Ramadhan.
Sedangkan madzhab Asy-Syafi’iyah memandang semua i’tikaf itu hukumnya sunnah muakkadah, kapan saja dilakukan. Namun bila dilakukan pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, level kesunnah-muakkadahannya lebih tinggi lagi. Kalau boleh kita gunakan istilah, sunnah muakkadah kuadrat.
Sedangkan dalam pandangan madzhab Al-Hanabilah, i’tikaf hukumnya sunnah, dan lebih tinggi nilai kesunnahannya kalau dilakukan pada bulan Ramadhan. Dan bila dilakukan pada sepuluh hari yang terakhir, nilai kesunnahannya lebih tinggi lagi.
Ada sebuah pertanyaan menarik, yaitu kenapa para ulama tidak mewajibkan i’tikaf ini, padahal tercatat Rasulullah SAW tidak pernah absen saban tahun melaksanakannya, khususnya pada sepuluh hari terakhir tiap bulan Ramadhan?
Para ulama berhujjah bahwa Rasulullah SAW memang tidak mewajibkan seluruh shahabatnya untuk melakukannya. Pada saat beliau SAW beri’tikaf, memang ada sebagian shahabat yang ikut beri’tikaf bersama beliau. Namun tidak semua shahabat ikut dalam i’tikaf beliau.
Sehingga hanya mereka yang mau dan berkesempatan saja yang tercatat mengikutinya. Dan beliau hanya mengajak sebagian saja, sebagaimana tercermin dalam hadits berikut ini :
مَنْ كَانَ اعْتَكَفَ مَعِي فَلْيَعْتَكِفِ الْعَشْرَ الأَْوَاخِرَ
“Siapa yang ingin beri’tikaf denganku, maka lakukanlah pada sepuluh terakhir.” (HR. Bukhari)
Seandainya hukum i’tikaf ini wajib, pasti beliau tidak mengatakann, siapa yang mau, tetapi beliau akan mengatakan, wajiblah atas kalian datang beri’tikaf.
2. Wajib
Namun hukum i’tikaf akan berubah menjadi wajib, apabila seseorang bernadzar untuk melakukan i’tikaf, misalnya apabila permohonannya dikabulkan Allah SWT.
Dalilnya adalah hadits Nabi SAW berikut ini :
مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ
“Siapa yang bernadzar untuk mentaati Allah, maka taatilah Dia.” (HR. Bukhari)
Selain itu juga hadits lainnya yang lebih jelas dan tegas terkait dengan seseorang yang bernadzar untuk mengerjakan i’tikaf di masa Rasulullah SAW.
عَنْ عُمَرَ أَنَّهُ قَال : يَا رَسُول اللَّهِ : إِنِّي نَذَرْتُ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ .فَقَال النَّبِيُّ : أَوْفِ بِنَذْرِكَ
Dari Umar radhiyallahuanhu berkata, ”Ya Rasulallah, Aku pernah bernadzar untuk melakukan i’tikaf satu malam di masjid Al-Haram”. Beliau SAW menjawab, ”Laksanakan nadzarmu”. (HR. Bukhari)
3. Sunnah Kifayah
Biasanya kita mengenal istilah fardhu kifayah, misalnya kewajiban menshalatkan jenazah. Madzhab Al-Hanafiyah menyebutkan bahwa hukum beritikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, bagi penduduk satu kawasan, hukumnya secara kolektif sunnah kifayah.
Konsekuensinya mirip dengan fardhu kifayah, yaitu apabila sudah ada seseorang yang mengerjakannya di suatu kawasan, maka gugurlah keharusan beri’tikaf. Sebaliknya, bila tidak satu pun yang mengerjakannya, maka mereka semua berdosa. Hanya saja dosanya tidak seperti dosa meninggalkan fardhu kifayah. Dosanya hanya dosa kecil atau ringan.
E. Rukun
Jumhur ulama menyepakati bahwa dalam satu ibadah i’tikaf, ada empat rukun yang harus dipenuhi, yaitu orang yang beri’tikaf (mu’takif), niat beri’tikaf, tempat i’tikaf (mu’takaf fihi) dan menetap di dalam masjid.
Namun madzhab Al-Malikiyah menambahkan satu rukun lagi, yaitu puasa. Maksudnya, yang namanya beri’tikaf itu harus dengan cara berpuasa juga. Sedangkan madzhab Al-Hanafiyah justru hanya memiliki satu saja rukun i’tikaf, yaitu menetap di dalam masjid. Sedangkan rukun-rukun yang lainnya, oleh madzhab ini tidak dimasukkan sebagai rukun, melainkan sebagai syarat.
1. Orang Yang Beri’tikaf
Rukun yang pertama dalam ibadah i’tikaf adalah orang yang beri’tikaf, dan sering disebut sebagai mu’takif (معتكف).
Syarat-syarat yang ditetapkan para ulama terhadap orang yang beri’tikaf standar saja, yaitu muslim, akil dan minimal mumayyiz. I’tikaf boleh dikerjakan oleh laki-laki maupun perempuan, dewasa maupun anak-anak, setidaknya yang sudah mumayyiz. Selain itu orang yang beri’tikaf disyaratkan dalam keadaan suci dari haidh atau nifas, serta suci dari hadats besar.
a. Islam
Dengan disyaratkannya status beragama Islam, maka orang kafir atau orang yang tidak beragama Islam tidak sah bila melaksanakan i’tikaf.
Walau pun syariat membolehkan orang yang bukan beragama Islam masuk ke dalam masjid, namun tidak dibenarkan melaksanakan ibadah i’tikaf, kecuali setelah menyatakan diri masuk Islam.
b. Berakal
Syarat kedua bagi orang yang akan beri’tikaf adalah berakal sehat. Sebab ibadah itu membutuhkan niat dan menyengaja untuk melakukan. Orang yang tidak punya kesadaran atas dirinya, tentu tidak bisa berniat untuk mengerjakan suatu ibadah.
Maka secara otomatis orang gila yang tidak waras pemikirannya, tidak sah bila melakukan i’tikaf. Termasuk di dalamnya adalah orang yang kurang waras, idiot yang akut, serta penderita kelainan syaraf.
c. Mumayyiz
Seorang anak yang belum baligh tetapi sudah mumayyiz, apabila melaksanakan ibadah i’tikaf, hukumnya sah dan berpahala. Sebagaimana kalau anak yang belum baligh itu menjalankan ibadah shalat dan puasa, bila sudah mumayyiz, maka ibadahnya sah dan berpahala baginya.
d. Suci dari Janabah
Orang yang sedang dalam keadaan berjanabah atau berhadats besar, diharamkan masuk ke dalam masjid. Sehingga ia tidak boleh mengerjakan i’tikaf, lantaran i’tikaf itu hanya dilaksanakan di dalam masjid saja.
Dasar atas larangan orang yang berjanabah atau berhadats besar berada di dalam masjid adalah firman Allah SWT :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَقْرَبُواْ الصَّلاَةَ وَأَنتُمْ سُكَارَى حَتَّىَ تَعْلَمُواْ مَا تَقُولُونَ وَلاَ جُنُبًا إِلاَّ عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىَ تَغْتَسِلُواْ
Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu salat sedang kamu dalam keadaan mabuk sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub terkecuali sekedar berlalu saja hingga kamu mandi. (QS. An-Nisa' : 43)
Secara harfiyah, sebenarnya larangan dalam ayat ini adalah larangan untuk mendekati shalat. Namun ketika dalam ayat ini Allah membuat pengecualian, yaitu hanya sekedar lewat, maka yang terbersit dari larangan ini adalah larangan untuk masuk ke dalam masjid.
Sehingga pengertian ayat ini bahwa seorang yang dalam keadaan janabah dilarang memasuki masjid, kecuali bila sekedar melintas saja.
e. Tidak Haidh atau Nifas
Wanita yang sedang mendapat darah haidh atau nifas tidak dibenarkan ikut beri’tikaf di masjid.
Dasarnya bukan karena khawatir darahnya akan mengotori masjid. Sebab syariat Islam membolehkan wanita yang sedang mengalami istihadhah untuk masuk masjid. Kalau larangan itu semata-mata karena khawatir darah akan menetes dan merusak kesucian masjid, seharusnya wanita yang sedang mengalami istihdhah pun dilarang masuk masjid.
Namun wanita yang sedang haidh atau nifas, keduanya diharamkan masuk ke dalam masjid, karena mereka dalam status hukum seperti itu, dilarang memasuki wilayah suci di dalam masjid. Sementara i’tikaf itu tidak sah dikerjakan kecuali di dalam masjid, maksudnya di bagian ruangan yang suci.
Meski hadits yang melarang wanita haidh dan nifas untuk masuk ke masjid itu dikritisi oleh para ulama hadits sebagai hadits yang lemah, namun dalil keharaman mereka masuk masjid bukan semata-mata menggunakan hadits tersebut. Melainkan karena secara status hukum, wanita yang sedang mendapat haidh dan nifas itu adalah orang yang berhadats besar, atau berjanabah.
لاَ أُحِل الْمَسْجِدَ لِحَائِضٍ وَلاَ جُنُبٍ
Dari Aisyah radhiyallahuanha berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda “Tidak ku halalkan masjid bagi orang yang haidh’ dan junub.” (HR. Abu Daud)
2. Niat Beri’tikaf
Jumhur ulama di antaranya madzhab Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah sepakat menetapkan bahwa niat adalah bagian dari rukun i’tikaf. Sedangkan madzhab Al-Hanafiyah menempatkan niat sebagai syarat i’tikaf dan bukan sebagai rukun.
Fungsi dari niat ketika beri’tikaf ini antara lain untuk menegaskan spesifikasi ibadah i’tikaf dari sekedar duduk ngobrol di masjid. Orang yang sekedar duduk menghabiskan waktu di masjid, statusnya berbeda dengan orang yang niatnya mau beri’tikaf. Meski keduanya sama-sama duduk untuk mengobrol. Yang satu mendapat pahala i’tikaf, yang satunya tidak mendapat pahala i’tikaf.
Fungsi lain dari niat ketika beri’tikaf juga menegaskan hukum i’tikaf itu sendiri, apakah termasuk i’tikaf yang wajib seperti karena sebelumnya sempat bernadzar, ataukah i’tikaf yang hukumnya sunnah.
3. Tempat i’tikaf
Seluruh ulama sepakat bahwa tempat untuk beri’tikaf, atau al-mu’takaf fihi, adalah masjid. Dan bangunan selain masjid, tidak sah untuk dilakukan i’tikaf.
Dasarnya adalah firman Allah SWT :
وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“…Dan kamu dalam keadaan beri’tikaf di dalam masjid.” (QS. Al-Baqarah : 187)
Dan Rasulullah SAW tidak pernah mengerjakan i’tikaf kecuali di dalam masjid.
Para ulama juga sepakat bahwa beri’tikaf di tiga masjid, yaitu Masjid Al-Haram Mekkah, Masjid Nabawi di Madinah dan Masjid Al-Aqsha di Al-Quds, lebih utama dan lebih besar pahalanya, bila dibandingkan dengan pahala beri’tikaf di masjid yang lain.
Demikian juga para ulama sepakat bahwa masjid jami’ yang ada shalat jamaahnya adalah masjid yang sah digunakan untuk beri’tikaf.
Sedangkan masjid yang lebih rendah dari itu, misalnya tidak setiap waktu digunakan untuk shalat berjamaah, maka para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan beri’tikaf di dalamnya.
a. Madzhab Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah
Madzhab Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah menegaskan bahwa hanya masjid jami’ saja yang boleh digunakan untuk beri’tikaf.
Namun Abu Yusuf dan Muhammad -keduanya adalah ulama senior di dalam madzhab Al-Hanafiyah- membolehkan beri’tikaf meski di masjid yang tidak digunakan atau jarang-jarang digunakan shalat berjamaah. Menurut Abu Yusuf, bila i’tikaf yang wajib, harus di masjid yang ada shalat jamaahnya. Sedangkan bila i’tikaf sunnah, boleh di masjid yang tidak seperti itu.
Namun pengertian masjid yang ada shalat jamaahnya, agak berbeda konsepnya, antara Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah. Menurut Al-Hanafiyah, setidaknya masjid itu ada imam rawatib dan makmumnya, meskipun tidak selalu dalam tiap waktu shalat selalu terlaksana shalat jamaah.
Sedangkan menurut madzhab Al-Hanabilah, setidaknya ketika sedang digunakan beri’tikaf, masjid itu digunakan untuk shalat berjamaah.
b. Madzhab Al-Malikiyah dan Asy-Syafi’iyah
Adapun madzhab Al-Malikiyah dan Asy-Syafi’iyah, keduanya tidak mensyaratkan apakah masjid itu ada jamaah shalat lima waktu atau tidak. Bagi mereka, yang penting ketika bangunan itu berstatus sebagai masjid, maka boleh digunakan untuk beri’tikaf.
4. Menetap di Dalam Masjid
Seluruh ulama termasuk keempat madzhab utama, telah sepakat bahwa berada atau menetap di dalam masjid, atau al-lubsu fil masjid (اللبس في المسجد) merupakan rukun i’tikaf.
Namun yang menjadi titik perbedaan pendapat adalah masalah durasi minimal, sehingga keberadaan di masjid itu sah berstatus i’tikaf.
a. Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah
Madzhab Al-Hanafiyah menegaskan bahwa durasi minimal untuk beri’tikaf adalah sa’ah (ساعة), baik di siang hari atau malam hari.
Pengertian istilah sa’ah di dalam bahasa Arab modern bermakna satu jam atau 60 menit. Namun berbeda dengan istilah yang digunakan para ulama di masa lalu, yang pengertiannya adalah sesaat, sejenak atau sebentar.
Madzhab Al-Hanabilah relatif memiliki pendapat yang sama dengan madzhab Al-Hanafiyah dalam masalah durasi minimal.
b. Al-Malikiyah
Para ulama di dalam madzhab Al-Malikiyah agak sedikit berselisih tentang durasi minimal i’tikaf. Sebagian dari mereka menetapkan bahwa durasi minimal adalah sehari semalam tanpa putus. Dan rangkaiannya dimulai dari sejak masuk waktu malam, yaitu terbenamnya matahari, terus melalui malam, lalu terbit matahari, pagi, siang, lalu sore dan berakhir i’tikaf itu ketika matahari kembali terbenam di ufuk Barat.
Dan sebagian lagi mengatakan bahwa durasi minimal untuk beri’tikaf adalah sehari tanpa malamnya. Jadi sehari itu dimulai dari masuknya waktu shubuh, melewati pagi, siang, sore, lalu berakhir dengan masuknya waktu Marghrib kala matahari terbenam.
c. Asy-Syafi’iyah
Madzhab Asy-syafi’iyah tidak memberikan batasan durasi minimal untuk beri’tikaf. Asalkan seseorang telah berada di dalam masjid, walaupun tidak harus dalam posisi berdiam di satu titik, misalnya berjalan kesana-kemari, sudah termasuk beri’tikaf.
Namun bila orang sekedar berjalan melewati bagian dalam masjid, dan menjadikan masjid sebagai jalan tembus, tidak sah untuk diniatkan sebagai i’tikaf. Jadi minimal harus berhenti sejenak, walaupun tidak harus berdiam diri.
Namun madzhab ini menegaskan bila seseorang beri’tikaf sehari, maka hukumnya mandub. Sebab Rasulullah SAW tidak pernah melakukan i’tikaf kecuali minimal berdurasi sehari.
F. Yang Membatalkan I’tikaf
Di antara hal-hal yang dianggap membatalkan i’tikaf antara lain :
1. Jima’
Dasar yang menjadi alasan kenapa jima’ itu membatalkan i’tikaf adalah firman Allah SWT :
وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“…Dan janganlah kamu melakukan persetubuhan ketika kamu beri’tikaf di masjid…”. (QS. Al-Baqarah : 187)
Mungkin sulit dibayangkan ada orang melakukan jima’ di dalam masjid, apalagi sedang dalam keadaan beri’tikaf. Bukankah masjid itu tempat umum dan biasanya banyak orang, lalu bagaimana caranya berjima’ di tempat umum yang banyak orang?
2. Keluar Dari Masjid
Yang dimaksud dengan keluar dari masjid adalah apabila seseorang keluar dengan seluruh tubuhnya dari masjid. Sedangkan bila hanya sebagian tubuhnya yang keluar dan sebagian lainnya masih tetap berada di dalam masjid, hal itu belum dianggap membatalkan i’tikaf. Sebab kejadian itu dilakukan oleh Rasulullah SAW sebagaimana disebutkan di dalam hadits berikut :
كَانَ رَسُول اللَّهِ  يُدْنِي إِلَيَّ رَأْسَهُ وَأَنَا فِي حُجْرَتِي فَأُرَجِّل رَأْسَهُ وَأَنَا حَائِضٌ
Rasulullah SAW menjulurkan sebagian kepalanya kepadaku, padahal aku berada di dalam kamarku. Maka aku menyisirkan rambut kepalanya sedangkan aku sedang haidh. (HR. Bukhari dan Muslim)
Para ulama sepakat mengatakan bahwa di antara hal-hal yang membatalkan i’tikaf adalah ketika seseorang keluar dari masjid, tanpa hajat yang masyru’. Namun mereka berbeda pendapat ketika menetapkan jenis hajat apa saja yang dianggap masyru’ dan tidak membatalkan i’tikaf :
a. Buang Air dan Mandi Wajib
Para ulama sepakat bila seorang yang sedang beri’tikaf kebelet harus pipis atau buang air besar, maka keluarnya dari masjid tentu tidak membatalkan i’tikafnya. Sebab buang air kecil di masjid termasuk sesuatu yang diharamkan oleh Rasulullah.
Demikian juga dengan mandi wajib, yaitu mandi janabah. Bila seorang yang sedang beri’tikaf di masjid, tiba-tiba dalam tidurnya bermimpi hingga keluar mani, maka dia wajib segera meninggalkan masjid, untuk melaksanakan mandi janabah. Untuk itu, keluarnya dari masjid tidak membatalkan i’tikafnya.
Dasar kebolehannya adalah hadits berikut ini :
عن عَائِشَة أَنَّ النَّبِيَّ  كَانَ لاَ يَدْخُل الْبَيْتَ إِلاَّ لِحَاجَةٍ إِذَا كَانَ مُعْتَكِفًا
Dari Aisyah radhiyallahuanha bahwa Nabi SAW tidak masuk ke dalam rumah kecuali karena ada hajat, bila beliau sedang beri’tikaf. (HR. Bukhari Muslim)
Termasuk ke dalam kebolehan ketika beri’tikaf adalah kepentingan untuk membuang benda-benda najis yang kebetulan ada di dalam masjid. Juga bila seseorang merasa ingin muntah, entah karena sakit atau sebab lain, pada saat dia sedang beri’tikaf, maka dia boleh keluar masjid tanpa membatalkan i’tikafnya.
Dan untuk semua ini, tidak diharuskan dengan cara berlari terburu-buru. Silahkan saja semua dilakukan dengan santai dan tenang tanpa harus takut batal i’tikafnya.
Sedangkan apabila hajatnya itu sekedar berwudhu’, maka menurut Asy-Syafi’iyah, bisa dikerjakan di dalam masjid.
b. Makan dan Minum
Madzhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah sepakat mengatakan bahwa seorang yang sedang beri’tikaf lalu keluar masjid untuk kepentingan makan atau minum, maka i’tikafnya batal dengan sendirinya.
Sebab seharusnya, ketika mau beri’tikaf, mereka sudah menetapkan orang yang akan melayani atau membawakan mereka makanan dan minuman ke dalam masjid. Sehingga mereka tidak perlu keluar untuk mencari makan.
Hal itu juga didasari oleh pendapat mereka bahwa makan dan minum di dalam masjid sama sekali tidak ada larangan atau kemakruhan.
Sedangkan madzhab Asy-Syafi’iyah membolehkan seseorang yang sedang beri’tikaf untuk keluar masjid demi mencari makanan atau minuman. Dan dalam madzhab ini, makan dan minum di masjid termasuk hal yang kurang didukung, karena dianggap agak memalukan.
c. Menjenguk Orang Sakit dan Shalat Jenazah
Rasulullah SAW diriwayatkan pernah ketika sedang beri’tikaf, beliau keluar masjid dan menjenguk orang sakit. Dasarnya adalah hadits marfu’ yang oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani didhaifkan :
أَنَّهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ كَانَ يَمُرُّ بِالْمَرِيضِ وَهُوَ مُعْتَكِفٌ
Rasulullah SAW pernah menjenguk orang sakit padahal beliau sedang beri’tikaf. (HR. Abu Daud)
Namun karena kelemahan periwayatan sanadnya, maka kebanyakan ulama tidak memperbolehkan orang yang sedang beri’tikaf untuk keluar masjid hanya sekedar untuk menjenguk orang yang sedang sakit atau untuk menshalatkan jenazah.
Namun kalau sebelumnya seseorang keluar masjid karena ada hajat yang masyru’, kemudian pulangnya sekalian menjenguk orang sakit atau menshalatkan jenazah seseorang, oleh sebagian ulama hal itu dianggap boleh. Syaratnya, semua dilakukan dengan tidak terlalu lama.
3. Murtad
Orang yang sedang beri’tikaf lalu tiba-tiba dia murtad atau keluar dari agama Islam, maka i’tikafnya otomatis batal dengan sendirinya. Sebab keislaman seseorang menjadi salah satu syarat sah i’tikaf.
Dasar dari ketentuan ini adalah fiman Allah SWT :
لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Bila kamu menyekutukan Allah (murtad), maka Allah akan menghapus amal-amalmu dan kamu pasti jadi orang yang rugi.” (QS Az-Zumar )
4. Mabuk
Jumhur ulama sepakat apabila seorang yang sedang beri’tikaf mengalami mabuk, maka i’tikafnya batal. Itu adalah pendapat madzhab Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah.
Sedangkan madzhab Al-Hanafiyah berpendapat bahwa orang yang mabuk saat beri’tikaf tidak batal, kalau kejadiannya malam hari. Sedangkan kalau kejadiannya di siang hari, mabuk itu membatalkan puasa. Dan dengan batalnya puasa, maka i’tikafnya juga ikut batal juga.
5. Haidh dan Nifas
Kala seorang wanita menjalani i’tikaf, lalu tiba-tiba keluar darah haidh, maka otomatis batal i’tikafnya.
Demikian pula wanita yang baru melahirkan dan merasa sudah selesai nifasnya, kalau ketika dia beri’tikaf lalu tiba-tiba darah nifasnya keluar lagi, dan memang masih dimungkinkan karena masih dalam rentang waktu kurang dari 60 hari, maka dia harus meninggalkan masjid.
G. Yang Dibolehkan Ketika I’tikaf
Berikut ini adalah hal-hal yang umumnya oleh para ulama dianggap perbuatan yang boleh dilakukan, meski sedang dalam keadaan beri’tikaf. Antara lain :
1. Makan Minum
Makan dan minum secara umum dibolehkan oleh para ulama untuk dilakukan di dalam masjid, maka seorang yang sedang beri’tikaf tentu dibolehkan juga untuk mengisi perutnya dengan makan dan minum.
Bahkan Al-Malikiyah memakruhkan orang untuk beri’tikaf di masjid, bila dia belum memiliki orang atau pembantu yang akan mengantarkan makanan dan minuman kepadanya di dalam masjid. Sebab tanpa adanya orang yang mengantar makanan dan minuman, maka berarti dia harus keluar dari masjid untuk mencari makan. Dan hal itu mengurangi nilai i’tikaf.
Tentang hukum kebolehan makan dan minum di masjid, para ulama sedikit berbeda pandangan. Mereka menetapkan keadaan-keadaan maupun rincian syarat yang berbeda-beda pula.
Namun inti hukum makan dan minum di dalam masjid sangat terkait dengan masalah kebersihan. Bagaimana mereka menilai kebersihan atas masjid dan dampaknya akibat orang memakan makanan di masjid, itulah yang menyebabkan para ulama berbeda pendapat.
Madzhab Al-Hanafiyah memakruhkan makan dan minum di masjid. Namun tidak makruh bila dilakukan oleh musafir yang tidak punya rumah dan orang-orang yang sedang i’tikaf di masjid. Sebab Rasulullah SAW makan dan minum bahkan tidur ketika beri’tikaf di masjid.
Madzhab Al-Malikiyah membolehkan makan dan minum di masjid selama yang dimakan itu bukan makanan yang sekiranya bisa mengotori masjid. Contohnya, kurma boleh dimakan tetapi semangka tidak boleh, karena beresiko mengotori masjid.
Namun khusus untuk musafir yang tidak memiliki tempat tinggal dan orang yang beri’tikaf, larangan itu tidak berlaku.
Madzhab As-Syafi’iyah membolehkan makan roti, semangka dan buah-buahan lainnya di dalam masjid. Dasarnya adalah hadits berikut ini :
كُنَّا نَأْكُلُ عَلىَ عَهْدِ النَّبِيِّ ص فيِ المَسْجِدِ الخُبْزَ وَاللَّحْمَ
Dari Abdillah bin Al-Harits bin Juz’i Az-zubaidi radhiyallahuanhu berkata, ”Dahulu di masa Nabi SAW kami makan roti dan daging di dalam masjid”. (HR. Ibnu Majah)
Hadits ini isnadnya shahih sebagaimana dikatakan oleh Al-Hafizh Al-Bushiri dalam Mishbahuz-zujaj.
Namun dalam Madzhab ini disebutkan hendaknya diberi alas sebelum memakan sesuatu di dalam masjid.
Tetapi kalau yang dimakan itu termasuk jenis makanan yang beraroma kurang sedap, Madzhab Asy-syafi’iyah memakruhkannya bila dimakan di dalam masjid, seperti bawang dan sejenisnya. Dasarnya adalah hadits shahih berikut ini.
مَنْ أَكَلَ ثَوْمًا أَوْ بَصَلاً فَلْيَعْتَزِلْنَا أَوْ لِيَعْتَزِلْ مَسْجِدَنَا وَلْيَقْعُدَ فيِ بَيْتِهِ
Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, ”Siapa yang makan bawang harus menjauhi kami atau menjauhi masjid kami. Dan hendaklah dia duduk di rumahnya.” (HR. Bukhari Muslim)
Madzhab Al-Hanabilah sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Muflih, Ibnu Tamim dan Ibnu Hamdan, mereka memakruhkan memakan makanan di dalam masjid.
Ibnu Qudamah berpendapat bagi orang yang beri’tikaf, tidak mengapa bila harus menyantap makanan di dalam masjid, asalkan sebelumnya diberi alas agar tidak mengotori masjid.
2. Tidur
Masjid juga dibolehkan untuk digunakan untuk tidur. Sehingga seorang yang sedang beri’tikaf di masjid, tentu saja diperbolehkan untuk tidur beristirahat. Tidur tidak membatalkan i’tikaf, sebagaimana tidur juga tidak membatalkan puasa.
Tentang hukum asal tidur di dalam masjid, memang para ulama berbeda pendapat. Namun umumnya mereka membolehkan musafir dan mu’takif untuk tidur dan beristirahat di dalam masjid.
Madzhab Al-Hanafiyah memakruhkan tidur di dalam masjid, namun bagi musafir yang tidak memiliki tempat singgah, tidak dimakruhkan untuk tidur dan beristirahat di dalam masjid.
Demikian juga bagi mereka yang beri’tikaf. Madzhab ini membolehkan tidur di dalam masjid. Karena dalam i’tikafnya, Rasulullah SAW pun tidur di dalam masjid. Dan selama i’tikaf tidak perlu keluar dari masjid untuk urusan tidur.
Madzhab Al-Malikiyah membolehkan bagi mereka yang tidak memiliki rumah atau musafir untuk tidur di masjid, baik tidur di siang hari atau pun di malam hari.
Bahkan bgi mereka yang sedang beri’tikaf, Madzhab ini mewajibkan para mu’takifin tidur di dalam masjid. Bila orang yang beri’tikaf tidak sampai tidur di dalam masjid, maka dalam Madzhab ini dipandang bahwa i’’tikafnya itu tidak sah.
Madzhab Asy-Syafi’iyah tidak mengharamkan tidur di dalam masjid. Dasarnya karena para shahabat banyak yang tidur di dalam masjid, bahkan mereka tinggal dan menetap di dalam masjid.
Di dalam kitab Al-Umm karya besar Al-Imam Asy-syafi’i rahimahullah disebutkan lewat riwayat Nafi’ bahwa Abdullah bin Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu ketika masih bujangan juga termasuk pemuda penghuni masjid, dimana beliau tidur di dalam masjid.
Amr bin Dinar mengatakan, “Kami menginap di dalam masjid di zaman Ibnu Az-Zubair. Dan bahwa Said bin Al-Musayyib, Hasan Al-Bashri, Atha’ dan Asy-Syafi’i memberikan rukhshah (keringanan) dalam masalah ini”.
3. Berbicara atau Diam
Baik berbicara ataupun diam keduanya dibolehkan di dalam i’tikaf. Beri’tikaf bukan berarti selalu berdiam diri dan membisu. Sebab, i’tikaf bukanlah semedi sebagaimana lazimnya umat lain melakukan ibadah mereka. I’tikaf juga bukanlah bertapa seperti yang dilakukan oleh para biksu di dalam kuil mereka.
Orang yang beri’tikaf dibolehkan berbicara, asalkan bukan berbicara yang diharamkan seperti rafats, fusuq, jidal, juga pembicaraan-pembicaraan yang terlarang diucapkan di masjid, seperti jual beli dan mengumumkan benda hilang.
Tetapi kalau tidak bisa meninggalkan perkataan-perkataan yang kotor, maka diam adalah pilihan yang terbaik. Rasulullah SAW bersabda,
عن أبي هريرة  أن رسول الله  قال مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَ اْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
Dari Abu Hurairah Radliyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “ Barang siapa beriman kepda Allah SWT dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik atau (kalau tidak bisa) diamlah…” (HR. Bukhari Muslim)
4. Memakai Perhiasan dan Parfum
Dibolehkan bagi mereka yang beri’tikaf untuk mengenakan perhiasan, termasuk parfum. Sebab pada dasarnya memang ada perintah untuk mengenakan perhiasan ketika masuk ke masjid.
يَا بَنِي آدَمَ خُذُواْ زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ وكُلُواْ وَاشْرَبُواْ وَلاَ تُسْرِفُواْ إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (QS. Al-A’raf : 31)

Demikian pemaparan singkat atas fiqih i'tikaf yang antum tanyakan. Semoga bermanfaat.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA
Rumah
Fiqih
Indonesia

Amal-Amal Shalih di Bulan Ramadhan


 puasa-ramadhan

Pemateri:  UST. ABU YAHYA BADRUSSALAM, Lc.
 Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengabarkan kepada umat Islam akan keutamaan-keutamaan bulan Ramadhan, di antaranya adalah hadits:
إِذَا كَانَ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ صُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ مَرَدَةُ الْجِنِّ ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ فَلَمْ يُفْتَحْ مِنْهَا بَابٌ ، وَفُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجِنَّانِ فَلَمْ يُغْلَقُ مِنْهَا بَابٌ ، وَنَادَى مُنَادٍ : يَا بَاغِىَ الْخَيْرِ أَقْبِلْ ، وَيَا بَاغِىَ الشَّرِّ أَقْصِرْ وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ مِنَ النَّارِ وَذَلِكَ كُلُّ لَيْلَةٍ.
 “Apabila telah masuk malam pertama dari bulan Ramadlan, syaithan-syaithan yaitu jin-jin yang durhaka akan diikat, pintu-pintu Neraka akan dikunci dan tidak satupun pintu yang terbuka. Pintu-pintu surga akan dibuka dan tidak satupun pintu yang terkunci. Dan akan ada yang menyeru, “Wahai orang yang menginginkan kebaikan kemarilah, dan wahai orang yang menginginkan keburukan tahanlah.” Allah memerdekakan hamba-hamba-Nya dan itu terjadi pada setiap malam,” (HR At Tirmidzi, ibnu Majah dan lainnya).
Hadits di atas menyebutkan beberapa keutamaan bulan Ramadhan:
  • Setan-setan akan diikat. Makna setan diikat adalah setan itu memang diikat oleh Allah Ta’ala secara hakiki, atau makna lainnya yaitu dipersempitnya ruang gerak setan di bulan Ramadhan.
Ketika berpuasa tentunya menahan lapar, haus dan syahwat sehingga ketika lapar, biasanya syahwat menjadi berkurang. Karena sebab itu, jalan setan untuk menggoda manusia menjadi sempit, maka ini adalah 2 makna daripada setan itu diikat. Kemudian bila ada yang bertanya, “Katanya setan di bulan Ramadhan diikat, tapi kenapa masih ada yang kesurupan?” maka dijawab, “Rasulullah menjelaskan dalam hadits di atas bahwa yang diikat adalah setan-setan atau jin-jin yang durhaka.”
  • Pintu-pintu neraka akan dikunci dan pintu-pintu surga akan dibuka. Karenanya kesempatan untuk masuk surga di bulan Ramadhan itu mudah. Rasulullah bersabda, “Akan ada yang menyeru, Wahai orang yang menginginkan kebaikan kemarilah, dan wahai orang yang menginginkan keburukan tahanlah.’ Allah memerdekakan hamba-hambaNya dan itu terjadi pada setiap malam.”
Jadi, kemerdekaan dari api neraka itu tidak terjadi pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan saja. Adapun hadits yang mengatakan bahwa Ramadhan terbagi menjadi 3; sepuluh malam pertama adalah rahmat, sepuluh yang kedua adalah ampunan dari Allah dan sepuluh yang ketiga adalah terbebas dari api neraka. Ketahuilah bahwa hadits tersebut dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya, namun di dalam sanadnya ada perawi yang lemah yaitu Ali bin Zaid bin Jud’an. Terlebih lagi hadits tersebut bertentangan dengan hadits di atas yang menyebutkan bahwa kemerdekaan dari api neraka itu terjadi pada setiap malam bulan Ramadhan. Oleh karena itu para ulama’ hadits mengatakan bahwa hadits yang menyebutkan Ramadhan terbagi menjadi tiga adalah munkar.
Karena di bulan Ramadhan ini dimudahkan menuju surga, maka kewajiban seorang muslim adalah berlomba-lomba mencari keberkahan di bulan Ramadhan dengan beramal shaleh. Pada bulan ini seseorang tidak lepas dari dua keadaan; yaitu gembira dan takut. Gembira karena mendapatkan kesempatan mendekatkan diri kepada Allah, dan takut jika keluar dari Ramadhan namun tidak mendapat ampunan dari Allah Ta’ala.
Apalagi ada hadits yang mendoakan kebinasaan bagi yang mendapatkan bulan Ramadhan, tapi selepas Ramadhan tidak mendapatkan ampunan dari Allah Ta’ala. Ini adalah do’a Malaikat Jibril lalu diaminkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Karenanya tidak ada jalan lain kecuali bersungguh-sungguh mencari ampunan Allah Ta’ala.
Beberapa amal shalih di bulan Ramadhan
1. Puasa ramadhan
Ketahuilah bahwa berpuasa bukan hanya sebatas menahan lapar dan dahaga.
ليس الصيام من الأكل والشرب وإنما الصيام من اللهو والرفث (رواه ابن خزيمة وهو حديث صحيح)
“Bukanlah puasa itu sebatas menahan makan dan minum saja, tapi hakekat puasa adalah menjauhi perkara yang sia-sia dan kata-kata yang kotor.”
Dalam hadits yang dikeluarkan Imam Bukhari dalam shahihnya disebutkan bahwa Rasulullah bersabda:
من لم يدع قول الزور والعمل به فليس لله حاجة أن يدع طعامه وشرابه
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan terus menerus mengamalkannya, maka Allah tidak membutuhkan puasanya tersebut”.
Untuk apa berpuasa namun bohong tetap jalan, ngrumpi jalan terus, ghibah sana sini dan berpuasa namun menyakiti hati tetangga dan sebagainya. Bagaimana puasanya akan diterima Allah Ta’ala? Percuma berpuasa kalau diwarnai dengan maksiat kepada Allah Ta’ala.
Karena itu Rasulullah juga bersabda:
رب صائم حظه من صيامه الجوع والعطش
“Berapa banyak orang berpuasa yang tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali hanya menahan lapar dan dahaga saja,” (HR Ibnu Majah).
Terkadang ketika berpuasa, seseorang lebih banyak menggunakan waktu untuk hal-hal yang tidak ada manfaatnya. Ngabu burit kemana-mana, pergi ke mall, memikirkan berbagai masakan apa yang akan disajikan untuk berbuka dan sahur dan lain sebagainya. Lebih baik membaca al-Qur’an, membaca buku yang bermanfaat dan lain sebagainya.
2. Shalat Tarawih.
عنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ. رواه البخاري ومسلم
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Barang siapa yang qiyamulail di bulan Ramadlan karena iman dan berharap pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu,” (HR Bukhari dan muslim).
Lihat sejarah shalat tarawih Rasulullah. Beliau shalat tarawih berjama’ah hanya 3 malam saja, setelah itu Rasulullah meninggalkannya karena takut dianggap wajib oleh umatnya. Aisyah radhiallahu ‘anha menceritakan:
صَلَّى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ لَيْلَةً فِي شَهْرِ رَمَضَانَ فِي الْمَسْجِدِ وَمَعَهُ نَاسٌ، ثُمَّ صَلَّى الثَّانِيَةَ فَاجْتَمَعَ تِلْكَ اللَّيْلَةَ أَكْثَرَ مِنَ الْأُوْلَى، فَلَمَّا كَانَتِ الثَّالِثَةَ أَوْ الرَّابِعَةَ امْتَلَأَ الْمَسْجِدُ حَتَّى غَصَّ بِأَهْلِهِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ، فَجَعَلَ النَّاسُ يُنَادُوْنَهُ الصَّلَاةَ. فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ: مَا زَالَ النَّاسُ يَنْتَظِرُوْنَكَ الْبَارِحَةَ يَا رَسُوْلَ الله،ِ قَالَ: أَمَا أَنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَيَّ أَمْرُهُمْ وَلَكِنِّيْ خَشِيْتُ أَنْ يُكْتَبَ عَلَيْهِمْ.
 “Suatu malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat di bulan Ramadlan di masjid bersama beberapa orang. Di malam kedua beliau kembali shalat, dan orang-orang yang ikut shalat lebih banyak dari malam pertama. Ketika di malam ketiga atau keempat, masjid menjadi penuh sampai-sampai beliau masuk ke dalam rumahnya dan tidak keluar. Maka orang-orang memanggil beliau, “Shalat !” Di pagi harinya, Umar bin Al Khathab berkata: “Tadi malam orang-orang menunggumu wahai Rasulullah.” Beliau bersabda: “Perbuatan mereka tidak tersembunyi bagiku, akan tetapi aku khawatir (shalat tarawih) di wajibkan atas mereka.”
Dalam hadits Abu Dzar disebutkan bahwa Rasulullah shalat tarawih pada 3 malam, yaitu malam 23, 25 dan 27.
وعن أَبي ذَرٍّ – رضي الله عنه – قال : صُمْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يُصَلِّ بِنَا حَتَّى بَقِيَ سَبْعٌ مِنْ الشَّهْرِ، فَقَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ، ثُمَّ لَمْ يَقُمْ بِنَا فِي السَّادِسَةِ، وَقَامَ بِنَا فِي الْخَامِسَةِ حَتَّى ذَهَبَ شَطْرُ اللَّيْلِ. فَقُلْنَا لَهُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ نَفَّلْتَنَا بَقِيَّةَ لَيْلَتِنَا هَذِهِ، فَقَالَ: إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ.  ثُمَّ لَمْ يُصَلِّ بِنَا حَتَّى بَقِيَ ثَلَاثٌ مِنْ الشَّهْرِ وَصَلَّى بِنَا فِي الثَّالِثَةِ وَدَعَا أَهْلَهُ وَنِسَاءَهُ فَقَامَ بِنَا حَتَّى تَخَوَّفْنَا الْفَلَاحَ قُلْتُ لَهُ وَمَا الْفَلَاحُ قَالَ السُّحُورُ. (رواه أحمد والنسائي والترمذي وقال حديث حسن صحيح، كما صححه ابن حبان وغيره)
“Kami berpuasa bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau tidak sholat malam (berjama’ah) dengan kami sampai tersisa tujuh hari dari bulan Ramadlan. Maka beliau qiyam (pada malam 23) bersama kami hingga lewat sepertiga malam. Kemudian beliau tidak qiyam dengan kami pada enam hari tersisa, dan kembali qiyam dengan kami pada lima hari tersisa (malam 25) hingga lewat tengah malam. Lalu kami berkata: “Wahai Rasulullah, bagaimana jika sisa malam ini kita gunakan untuk shalat sunnah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barang siapa yang sholat bersama imam sampai selesai, maka dituliskan untuknya shalat semalam suntuk”.
Kemudian beliau tidak qiyam bersama kami sampai tersisa tiga hari bulan Ramadlan, beliau memanggil istri-istrinya dan keluarganya, beliau pun qiyam dengan kami (di malam 27) hingga kami khawatir tidak sempat melakukan al falah. Aku berkata: “Apa itu al Falah ?” ia berkata: “Sahur”. (HR. Ahmad, An Nasa’i, At Tirmidzi. At Tirmidzi berkata: “Hadits hasan shahih.” Sebagaimana dishahihkan Ibnu Hibban dan lainnya).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan qiyam Ramadlan secara berjama’ah hanya tiga malam saja karena beliau khawatir di wajibkan atas umatnya. Namun setelah wafat, tidak mungkin lagi wahyu turun dan tidak mungkin diwajibkan. Oleh karena itu, pada zaman Khalifah Umar bin Khattab ketika beliau melihat para sahabat yang shalat tarawih masing-masing, akhirnya beliau berfikir agar dilaksanakannya kembali qiyam Ramadlan dengan satu imam seperti pada masa Rasulullah.
Jumlah Raka’at Qiyamullail/Tarawih
Disunnahkan tidak melebihi sebelas raka’at, karena itu yang dipilih oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk dirinya dan yang paling utama, sebagaimana dalam hadits Aisyah radhiallahu ‘anha:
مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ ركعة
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah lebih dari sebelas raka’at baik di bulan Ramadlan maupun di bulan selain Ramadhan……..” (HR Bukhari dan Muslim).
Namun apakah boleh melebihi sebelas raka’at? Ini menjadi perselisihan di antara para ulama’. Mayoritas ulama salaf dan pendapat imam yang empat mengatakan bahwa shalat tarawih boleh lebih dari sebelas raka’at berdasarkan hadits:
صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى ، فَإِذَا خَشِىَ أَحَدُكُمُ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى
“Shalat malam itu dua raka’at dua raka’at, apabila salah seorang darimu khawatir masuk shubuh, hendaklah ia shalat satu raka’at witir sebagai pengganjil shalatnya,” (HR Bukhari dan Muslim).
Hadits ini mutlak tidak memberikan batasan jumlah, adapun hadits Aisyah di atas tidak dapat mengkhususkan keumuman hadits ini karena beberapa alasan:
  1. Hadits ‘Aisyah itu menceritakan tentang perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan perbuatan tidak bisa mengkhususkan perkataan.
  2. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memerintahkan agar shalat malam hanya sebelas raka’at saja, namun sebatas perbuatan beliau. Sedangkan semata-mata perbuatan hanya menghasilkan hukum sunnah.
  3. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak melarang melebihi sebelas raka’at.
Pendapat yang penulis pilih adalah pendapat mayoritas ulama yang membolehkan lebih dari sebelas raka’at, tapi yang paling utama adalah sebelas raka’at. Karena itulah yang dipilih oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Kemudian bagaimana dengan para perempuan, bolehkan mereka shalat tarawih di masjid? Mereka boleh shalat dimasjid, dan kalaupun mereka shalat tarawih di rumah itu adalah lebih utama.
3.   Tadarus al-Qur’an
Ketahuilah, pada bulan Ramadhan ini sangat dianjurkan untuk memperbanyak membaca al-Qur’an. Karena para ulama’ menyebut bulan Ramadhan dengan bulan al-Qur’an. Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di setiap bulan Ramadlan tadarus al-Qur’an bersama malaikat Jibril ‘alaihissalam. Ibnu Abbas radhiallahu ‘anuhma berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ وَكَانَ أَجْوَدَ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ وَكَانَ جِبْرِيلُ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling dermawan, dan beliau bertambah kedermawanannya di bulan Ramadhan ketika bertemu dengan malaikat Jibril, dan Jibril menemui beliau di setiap malam bulan Ramadlan untuk mudarosah (mempelajari) Al Qur’an,” (HR Al Bukhari).
Tadarus al-Qur’an ini sangat dianjurkan pada bulan Ramadhan. Karenanya kita harus mempunyai target untuk mengkhatamkan al-Qur’an dalam bulan ini. Bahkan Imam Malik rahimahullahu meliburkan kajian haditsnya di bulan ini, kemudian disebutkan bahwa Imam Syafi’i  mengkhatamkan al-Qur’an satu hari sekali.
4.   Memperbanyak Shadaqah
Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhuma berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling dermawan, dan beliau bertambah kedermawanannya di bulan Ramadhan ketika bertemu dengan malaikat Jibril…,” (HR Al-Bukhari).
Ibnu Rajab mengatakan terkait dengan bertambah dermawanannya Rasulullah di bulan ramadhan:
  1. Karena bertepatan dengan waktu yang mulia, sedangkan infaq jika bertepatan dengan waktu yang mulia maka pahalanya berlipat ganda.
  2. Karena membantu orang-orang yang berpuasa. Terkadang orang berpuasa itu lemah dalam mencari nafkah. Sehingga dengan bershadaqah kita bisa membantu mereka.
  3. Bahwa penggabungan antara puasa dan shadaqah adalah sebab dimasukkannya seseorang ke dalam surga.
إنَّ فِي الْجَنَّةِ غُرَفًا تُرَى ظُهُورُهَا مِنْ بُطُونِهَا وَبُطُونُهَا مِنْ ظُهُورِهَا فَقَامَ أَعْرَابِيٌّ فَقَالَ لِمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لِمَنْ أَطَابَ الْكَلَامَ وَأَطْعَمَ الطَّعَامَ وَأَدَامَ الصِّيَامَ وَصَلَّى لِلَّهِ بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَام
“Sesungguhnya di dalam surga terdapat kamar-kamar yang luarnya terlihat dari dalamnya, dan dalamnya terlihat dari luarnya.” Seorang arab badui berdiri dan berkata: “Untuk siapa wahai Rasulullah?” Rasulullah bersabda: “Untuk orang yang memperbagus perkataannya, memberi makan, senantiasa berpuasa, dan shalat malam karena Allah, sementara manusia sedang terlelap tidur.” (HR At Tirmidzi).
5. Menyegerakan berbuka puasa.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan umatnya agar menyegerakan berbuka puasa, bahkan menjadikannya sebagai tonggak kebaikan umat islam. Beliau bersabda:
لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْر
“Manusia (umat islam) senantiasa baik selama mereka bersegera berbuka puasa.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Yang dimaksud dengan bersegera berbuka puasa adalah bersegera berbuka ketika matahari telah terbenam walaupun langit masih terlihat terang.
Memperhatikan adab-adab berbuka puasa
Di antara adab-adab berbuka puasa yang hendaknya diperhatikan oleh setiap orang yang berbuka puasa adalah:
  • Berbuka dengan ruthab sebelum shalat maghrib.
Berdasarkan hadits Anas radliyallahu ‘anhu, ia berkata:
أنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يُفْطِرُ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّىَ عَلَى رُطَبَاتٍ
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berbuka dengan beberapa ruthab sebelum shalat (maghrib).” (HR. Abu Dawud dan lainnya)
Karenanya kita mengingatkan kepada kaum muslimin hendaknya ketika berbuka jangan langsung makan besar, tentunya ini tidak sesuai dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Bagusnya kita berbuka dahulu dengan kurma lalu pergi ke masjid untuk shalat berjama’ah, kemudian bila ingin melanjutkan makan, lakukan setelah shalat maghrib agar tidak terluput dari keutamaan besar shalat berjama’ah di masjid.
  • Berbuka dengan ruthab, bila tidak ada maka dengan kurma, bila tidak ada maka dengan air.
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّىَ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَعَلَى تَمَرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berbuka dengan ruthab (kurma basah) sebelum shalat (maghrib), bila ruthab tidak ada beliau berbuka dengan tamr (kurma kering), bila tidak ada juga beliau berbuka dengan air yang manis.” (HR. Abu Dawud dan lainnya)
  • Membaca do’a setelah berbuka puasa.
Do’a yang shahih adalah hadits ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا أَفْطَرَ قَال ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila telah berbuka, beliau mengucapkan: ‘Telah hilang dahaga, dan telah basah tenggorokan, dan telah tetap pahala insya Allah.” (HR. Abu Dawud dan lainnya).
Adapun do’a yang terkenal di negeri kita, yaitu:
اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَي رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
“Ya Allah aku berpuasa karenaMu, aku beriman kepadaMu, dan aku berbuka dengan rizkiMu, dengan rahmatMu wahai Dzat yang Maha kasih sayang.”
Ini adalah lafadz yang dibuat-buat dan tidak ada asalnya. Memang ada riwayat yang menyebutkannya, namun tidak ada tambahan “wabika aamantu.” Juga tidak ada “birohmatika yaa arhamarrahimin.” Yaitu hadits:
عَنْ مُعَاذِ بْنِ زُهْرَةَ : أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ : اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ
“Dari Mu’adz bin Zahroh sampai kepadanya bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam apabila berbuka mengucapkan: Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika afthartu (Ya Allah aku berpuasa karenaMu, dan aku berbuka dengan rizkiMu)”
Hadits ini dikeluarkan oleh Abu dawud dan lainnya, semuanya dari jalan Hushain bin Abdurrahman dari Mu’adz bin Zahroh. Hadits ini lemah, karena dalam sanadnya mempunyai dua cacat:
Pertama: Mursal, karena Mu’adz bin Zahroh bukan sahabat.
Kedua: Mu’adz bin Zahroh ini majhul, tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali Hushain, sehingga tidak bisa dijadikan dalil.
6. Memberi makan untuk orang yang berbuka puasa
Memberi makan orang yang berbuka puasa adalah ibadah yang agung, sebagaimana dalam hadits:
مَنْ فَطَّرَ صَائِماً ، كَانَ لَهُ مِثْلُ أجْرِهِ ، غَيْرَ أنَّهُ لاَ يُنْقَصُ مِنْ أجْرِ الصَّائِمِ شَيْءٌ
“Barang siapa yang memberi makan untuk berbuka orang yang berpuasa, maka ia mendapat seperti pahalanya, akan tetapi pahala orang yang berpuasa tidak berkurang sedikitpun.” (HR. At Tirmidzi, ibnu Majah, Ahmad dan lainnya)
7. Mengakhirkan Sahur
Sesungguhnya sahur adalah sunnah yang sangat ditekankan, berpahala besar dan ia mempunyai beberapa keutamaan, yaitu:
Pertama: Sahur adalah makanan yang berkah, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِى السُّحُورِ بَرَكَة
“Bersahurlah karena sesungguhnya dalam sahur itu terdapat keberkahan.(HR. Muslim)
Dalam hadits lain Nabi shallallahu ‘alahi wasallam bersabda:
الْبَرَكَةُ فِي ثَلَاثَةٍ: فِي الْجَمَاعَةِ، وَالثَّرِيدِ ، وَالسَّحُور
“Keberkahan ada pada tiga; berjama’ah, tsarid (roti yang dicampur dengan gule kambing) dan sahur.” (HR. Ath Thabrani)
Kedua: Allah Subhanahu wa Ta’ala dan para malaikatNya bershalawat kepada orang-orang yang bersahur, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِينَ.
“Sesungguhnya Allah dan malaikatNya bershalawat atas orang-orang yang sahur.” (HR. Ath Thabrani dalam Al Mu’jamul Ausath)
Ketiga: Sebagai pembeda antara puasa kaum muslimin dan puasa ahlul kitab.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَر
“Pembeda antara puasa kita dengan puasa Ahlul Kitab adalah makan sahur.” (HR. Muslim)
Adab-adab sahur
Di sana ada beberapa adab yang hendaknya diperhatikan dalam bersahur, yaitu:
  • Bersahur dengan kurma.
نِعْمَ سَحُورُ الْمُؤْمِنِ التَّمْر
“Sebaik-baik makanan sahur bagi seorang mukmin adalah kurma.” (HR. Abu Dawud dan lainnya)
  • Mengakhirkan waktu sahur
Waktu sahur yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak jauh dari waktu fajar, sebagaimana dalam hadits Anas dari Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhum berkata:
تَسَحَّرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ، ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ قُلْتُ : كَمْ كَانَ بَيْنَ الأَذَانِ وَبَيْنَ السُّحُورِ؟ قَالَ : قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةً.
“Kami pernah sahur bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian beliau berdiri untuk shalat subuh”. Anas berkata: “Berapa jarak waktu antara adzan dan sahur?” Zaid menjawab: “Sekitar membaca 50 ayat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Namun di zaman ini kita melihat penyimpangan dari sunnah dalam bersahur, kita melihat mereka bersahur sekitar jam satu atau jam dua malam. Tentunya hal ini tidak sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat serta para ulama setelahnya.
Hukum imsak
Ditambah lagi dengan perkara baru, yaitu yang disebut dengan imsak, dengan melarang makan dan minum sekitar 10 menit sebelum fajar dengan alasan kehati-hatian. Padahal bila kita perhatikan, pengadaan imsak ini bertentangan dengan dalil al-Qur’an maupun hadits, kaidah ushul fiqih dan apa yang difatwakan oleh para ulama.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلاَ يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِىَ حَاجَتَهُ مِنْه
 “Apabila salah seorang dari kamu mendengar adzan sementara gelas masih ada di tangannya, janganlah ia meletakkannya sampai ia menyelesaikan hajatnya.”
Hadits ini mengecualikan keumuman ayat dalam surat Al Baqarah: 187 yang artinya: “Makan dan minumlah sampai menjadi jelas bagimu benang putih dari benang hitam dari fajar.”
Kaidah ushul fiqih juga berkata:
الأصل بقاء ما كان على ما كان
“Pada asalnya sesuatu itu tetap pada asalnya terdahulu.”
Jadi, ketika seseorang ragu apakah telah masuk fajar atau belum, lalu ia makan dan ternyata fajar telah masuk, maka tidak batal puasanya, karena pada asalnya malam masih ada sampai ada bukti yang kuat yang menunjukkan bahwa fajar telah menyingsing.
Al Hafidz ibnu Hajar Al ‘Asqalani rahimahullah berkata: Termasuk bid’ah yang mungkar adalah yang terjadi di zaman ini, yaitu mengumandangkan adzan kedua sebelum fajar menyingsing sekitar sepertiga jam, dan mematikan lampu-lampu untuk dijadikan tanda haramnya makan dan minum bagi orang yang ingin berpuasa. Mereka lakukan itu dengan alasan kehati-hatian dalam ibadah.”
Yang terjadi di zaman Al Hafidz tersebut serupa dengan pengadaan imsak di zaman ini, karena sama-sama beralasan kehati-hatian dalam ibadah. Memang, kehati-hatian dalam beribadah adalah terpuji selama tidak terjerat dalam was-was dan menyelisihi sunnah.
8. Melaksanakan Umrah
Umrah di bulan Ramadlan mempunyai keistimewaan lebih dibandingkan dengan umroh di bulan lainnya. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam shahihnya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
فَإِنَّ عُمْرَةً فِي رَمَضَانَ تَقْضِي حَجَّةً مَعِيْ.
“Sesungguhnya umroh di bulan Ramadlan sama dengan haji bersamaku.”
Ini tentunya adalah kesempatan yang besar untuk meraih pahala yang besar di sisi Allah, terutama bagi mereka yang diberikan keluasan harta oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
9. I’tikaf.
I’tikaf adalah ibadah yang senantiasa dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terutama di sepuluh terakhir bulan Ramadlan, Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ عَشْرَةَ أَيَّامٍ فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِى قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf pada setiap bulan Ramadlan sepuluh hari. Ketika di tahun yang beliau meninggal padanya beliau beri’tikaf dua puluh hari lamanya.” (HR. Bukhari)
Orang yang beri’tikaf hendaklah menjauhi dua perkara yang membatalkan i’tikafnya, yaitu keluar dari masjid dengan tanpa udzur syar’i dan berjima’ dengan istri. Dan hendaklah mereka yang beri’tikaf menyibukkan dirinya dengan ketaatan seperti shalat, membaca al-Qur’an, istighfar, dan sebagainya serta tidak dilalaikan dengan sesuatu yang sia-sia.
Apakah wanita diperbolehkan beri’tikaf? Boleh dengan syarat:
  1. mendapat izin dari suaminya
  2. berada ditempat yang tertutup, tidak bercampur baur dengan laki-laki.
  3. tidak melalaikan tugasnya sebagai ibu rumah tangga, anak-anak dan lainnya.
10. Membayar Zakat Fithr
Zakat fithr adalah kaffarat (penebus) bagi orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan kata-kata yang tidak baik ketika ia berpuasa, Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata:
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِين
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mewajibkan zakat fithr sebagai pensuci bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia dan kata-kata yang tidak baik, dan sebagai makanan untuk orang-orang miskin.” (HR. Abu dawud dan lainnya)
Ia diwajibkan atas setiap kaum muslimin (hamba sahaya dan merdeka, laki-laki dan wanita, anak kecil dan dewasa) sebanyak satu sha’. Waktu memberikan zakat fithr yang paling cepat adalah 2 hari sebelum shalat Idul Fithri, dan yang paling utama adalah sebelum kita berangkat untuk shalat Idul Fithri.
11. Memperbanyak berdo’a dan dzikir.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwa do’a orang yang berpuasa itu dikabulkan, beliau bersabda:
ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ: دَعْوَةُ الصَّائِمِ، وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ، وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ
“Ada tiga do’a yang diijabah: do’a orang yang berpuasa, do’a musafir dan do’a orang yang dizalimi.” (HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman)
Ini adalah kesempatan yang baik agar do’a kita diijabah oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka hendaklah seorang yang berpuasa banyak disibukkan dengan berdo’a kepada Allah dan juga berdzikir, agar lisan kita selamat dari perbuatan yang sia-sia dan kata-kata yang tidak baik.
Ada beberapa amalan yang dianggap sunnah, padahal bukan termasuk sunnah, diantaranya adalah:
  1. Bermaaf-maafan sebelum ramadhan, padahal meminta maaf itu kalau kita punya salah dengan orang lain.
  2. b.      Sebelum ramadhan ramai-ramai berziarah kubur dan menganggap perbuatan ini adalah sunnah, padahal tidak ada dasarnya dalam sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
  3. Bersama-sama membaca niat puasa untuk esok hari setelah shalat tarawih. Karena pelafazan niat tidak ada petunjuknya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, para sahabat maupun para ulama’ salafusshalih.
Wallahu Ta’ala a’lam.

Meningkatkan Ketaqwaan Kepada Allah

Pemateri : Ust. Ahmad Isrofil
taqwa

Beberapa Ayat Terkait Meningkatkan Ketaqwaan Kepada Allah

Hampir seluruh khatib, mubaligh, penceramah dan para asatidz atau selalu membaca dan menyampaikan firman Allah Ta’ala kepada pendengarnya:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam,” (QS. Ali Imran: 102).
Wahai orang-orang beriman bertakwalah kalian kepada Allah, jalankan seluruh yang diperintahkan Allah dan tinggalkan seluruh yang dilarang Allah dengan sebenar-benarnya, bertakwa dengan sebenarnya takwa, takut dengan benar-benar rasa takut, mentaati Allah dengan sebenarnya ketaatan, Allah Ta’ala menginginkan hamba-Nya serius dalam menjalankan perintah-Nya di muka bumi ini.
Wahai orang-orang yang percaya Allah sebagai Rabb-nya, Islam sebagai diennya, Muhammad Rasulullah sebagai Nabi dan utusan-Nya, taatlah kalian kepada Allah dengan sebenar-benarnya ketaatan dan jangan sekali-kali kalian mati kecuali kalian benar-benar telah berserah diri kepada Allah Ta’ala. Mari hafalkan ayat ini dan tanamkan dalam diri.
Ketika Rasulullah membaca ayat :
“Katakanlah: sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah),(QS. Al An’am: 162-163).
Maka hidup dan mati kita bukan untuk istri, kiyai, ustadz atau tuan guru, kita mencari nafkah untuk anak istri hanya karena Allah, dan semua yang kita kerjakan hanyalah untuk Allah Ta’ala.
Ayat kedua yaitu firman Allah Ta’ala:
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu,” (QS. An Nisaa’: 1).
Ayat di atas ditujukan kepada semua manusia agar mereka bertakwa kepada Allah Ta’ala karena Allah lah yang telah menciptakan mereka. Tapi kenapa manusia tidak mau beribadah, tidak mau taat dan takut pada-Nya? Padahal Allah Ta’ala adalah Pencipta mereka.
“Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan? Dia diciptakan dari air yang dipancarkan, yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan,” (QS. At Thariq: 5-7).
 Allah Ta’ala memberikan perumpamaan berkaitan dengan ciptaan-Nya:
“Sesungguhnya penciptaan langit dan bumi lebih besar daripada penciptaan manusia akan tetapi kebanyakan manusia tidak Mengetahui,” (QS. Ghafir/Mu’min: 57).
Kemudian Allah Ta’ala memberikan perumpamaan lain yaitu sekiranya al-Qur’an diturunkan kepada gunung, maka pasti gunung tersebut akan terpecah belah karena takut kepada Allah Ta’ala.
“Kalau sekiranya kami turunkan Al-Qur’an Ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir,” (QS. Al Hasyr: 21).
Lihatlah Fir’aun, dia tidak pernah mau mengakui adanya Tuhan, bahkan dirinya mengaku sebagai tuhan. Tetapi ketika Fir’aun ditenggelamkan Allah Ta’ala, dia mengucapkan, Aku beriman kepada Tuhannya Musa.” Namun sayang, taubatnya telah terlambat. Kemudian Allah Ta’ala menutup ayat ini dengan kalimat, “Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” Bayangkan, misalnya di sebuah masjid dipenuhi dengan CCTV, setiap sesuatu yang dikerjakan di masjid akan terlihat, maka seseorang akan selalu waspada karena ia mengetahui ada CCTV tersebut. Tetapi ketika orang beriman lalu meyakini bahwa Allah Ta’ala mengawasinya meskipun tidak terlihat, ia pasti akan lebih waspada dan takut jika sekiranya berbuat maksiat kepada-Nya.
Orang beriman akan tergugah hatinya, karena suatu hari nanti, Allah Ta’ala akan membongkar seluruh amal perbuatannya. Sebentar lagi ramadhan akan tiba, namun ternyata ada di antara umat muslim belum mempersiapkan untuk menemui tamu agung tersebut. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam jauh-jauh hari sebelum datangnya Ramadhan, beliau telah mempersiapkan diri untuk menyambutnya. Itu disebabkan tidak ada yang bisa memastikan dirinya bertemu dengan Ramadhan. pertanyaanya adalah amal apa yang serius dikerjakan untuk Allah Ta’ala? Mana implementasi dari ayat yang mengatakan bahwa shalat, ibadah dan sembelihanku hanya untuk Allah Ta’ala?
Apakah tidak malu kepada langit dan bumi yang senantisa tunduk kepada Allah Ta’ala? Tidak ada ceritanya langit dan bumi saling beradu, atau gunung yang saling bertabrakan. Mereka bekerja pada tempatnya, tunduk dengan apa yang diperintahkan.
Kemudian Allah Ta’ala juga berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar,” (QS. Al Ahzab: 70-71).
Ketika seseorang mengatakan, “aku rela dengan Allah sebagai Rabb-Ku, Islam sebagai dienku, dan Muhammad sebagai Nabi dan Rasul-Nya”, maka ia telah melakukan salah satu kandungan dari ayat di atas. Maka bicaralah dengan perkataan yang benar, jangan pernah berbohong dan menipu. Ketika seseorang berani berdusta atas nama Allah atau Islam, maka Allah akan membongkar kebrobokan tersebut, menghinakannya di dunia dan memberi balasan kelak di akherat.
Rasulullah juga mengingatkan bahwa sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah yaitu al-Qur’anul karim. Karenanya Ibnu Taimiyah rahimahullahu pernah mengatakan bahwa dikategorikan menghina Rasul adalah orang yang senantiasa disibukkan dengan “kata fulan, kata fulan”, tetapi lupa kepada al-Qur’anul karim dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Rasulullah juga pernah bersabda, Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya berbicara yang baik atau diam.” Jadi, apabila seorang muslim belum mengetahui suatu permasalahan maka lebih baik diam daripada berkata-kata namun tidak ada dalilnya. Kalau mau bicara pakailah al-Qur’an dan al-hadits. Lantas apa manfaatnya? Karena akan memperbaiki diri dan amal.
Ketika Rasulullah berada di Makkah, beliau menyampaikan ayat-ayat Allah, menyuruh orang berbuat kebajikan, menyuruh masyarakat sekitar untuk berakhlak baik dan meninggalkan akhlak yang buruk. Akhirnya apa yang terjadi? Allah memperbaiki lingkungan Rasulullah dan kaum muslimin. Akhirnya semua berubah, yang tadinya wanita telanjang bulat mengelilingi Ka’bah menjadi menutup auratnya. Yang tadinya ada patung-patung di sekitar Ka’bah sedikit demi sedikit patung itu hilang. Sebab apa? Sebab mereka mau menjalankan amal-amal yang baik dan perintah-perintah Allah Ta’ala. Kemudian keuntungan manfaat kedua, yaitu di dunia Allah memberikan kebaikan dan besok di akhirat Allah Ta’ala akan mengampuni seluruh dosa mereka. Kemudian ayat ini ditutup dengan, “Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.”
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan Allah hendak menerima taubatmu, sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kamu berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran),” (QS. An Nisaa’: 27).
Wahai orang-orang beriman, ketahuilah bahwa Allah Ta’ala ingin mengampuni dosa-dosa kalian, akan tetapi orang-orang kafir yang senantiasa mengikuti hawa nafsunya menginginkan orang beriman agar menyimpang dari agama Allah. Bahkan mereka juga diikutkan oleh gaya hidup, gaya berpakaian, tingkah laku maupun gaya makan dan minum mereka. Maka dari itu, bertaubat lah kepada Allah Ta’ala.
Jikalau Allah melihat manusia baik semuanya, maka Ia lebih dahulu melihat malaikat yang semuanya menjalankan perintah Allah. Jikalau manusia melakukan kemaksiatan dan kejahatan, lebih dahulu Allah melihat setan yang suka berbuat jahat dan maksiat. Namun karena manusia berbeda, tidak seperti malaikat dan tidak juga seperti Setan. Maka Allah Ta’ala menginginkan ketika seseorang melakukan maksiat, hendaknya langsung kembali kepada Allah Ta’ala. Jangan pernah minder karena merasa berat dengan ujian Allah Ta’ala, karena Ia tidak akan menguji manusia di luar kemampuannya. Dan siapa yang sungguh-sungguh ingin kembali dan bertemu pada-Nya, maka Allah akan menunjuki-Nya jalan yang benar.
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik,”  (QS. Al Ankabut: 69).
Ketika Allah Ta’ala berfirman:
 “Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana,”  (QS. Al Fath: 7).
Di sana ada tentara langit dan tentara bumi. Jika disaat genting manusia perlu pertolongan dan bantuan, maka mintalah pertolongan kepada Allah Ta’ala yang mempunyai tentara-tentara tersebut. Namun kenapa umat muslim masih takut padahal Allah Ta’ala telah menjanjikan pada kita.
“Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami cobai mereka dengannya. Dan Karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal,” (QS. Thaha: 131).
Al-Qur’an menjawab seluruh persoalan.
 “Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas,” (QS. Al Kahfi: 28).
Ayat di atas ditujukan kepada Nabi Muhammad, sementara beliau juga sebagai seorang manusia yang memiliki istri dan membutuhkan makan dan minum, tetapi peringatan yang ada di dalam al-Qur’an dijalankan oleh beliau. Akhirnya apa yang terjadi? Allah muliakan beliau di langit dan bumi. Sehingga sampai hari ini dan esok, umat muslim senantiasa bershalawat kepadanya karena beliau selalu berbicara dengan al-Qur’an.
Kemudian, pembahasan ini akan penulis tutup dengan firman Allah Ta’ala terkait dengan orang-orang yang mengerjakan kejahatan.
“Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu,” (QS. Al Jaatsiyah: 21).
Apakah orang-orang yang senantiasa berbuat dosa, baik itu koruptor, pencuri, pezina itu mengira akan disamakan pahala mereka dengan orang-orang yang senantiasa beramal shaleh? Apakah Allah Ta’ala akan menyamakan pahala orang yang senantiasa shalat di malam hari dengan orang yang bermaksiat pada malam hari di dalam Bar? Apakah mereka menyangka seperti itu? Baik ketika mereka hidup di dunia ataupun setelah mereka meninggal. Allah Ta’ala tetap mengatakan bahwa amat buruklah sangkaan mereka tadi. Karena tidak akan sama pahala mereka. Orang yang beriman kepada Allah dan menjalankan amal shaleh, tidak sama dengan orang-orang yang senantiasa berbuat maksiat. Maka dari itu kembalilah kepada Allah dan al-Qur’anul karim.
Allah Ta’ala juga berfirman:
“Katakanlah, “Apakah akan kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. Mereka itu orang-orang yang Telah kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat,” (QS. Al Kahfi: 103-105).
Ingat kembali, bahwa besok di akhirat Allah akan memperlihatkan seluruh rahasia-rahasia kita di dunia. Jikalau detik ini umat muslim terus meneruskan kemaksiatan mereka, maka semakin banyak kemaksiatan yang akan dibongkar Allah Ta’ala. Jikalau mereka telah menyadari firman-firman Allah dalam al-Qur’an dan kembali pada-Nya, insya Allah dengan pertolongan dan izin-Nya, mulai detik ini tinggalkan lah seluruh amal yang tidak baik dan kembali lah kepada Allah.
Wallahu Ta’ala a’lam…

Keajaiban 10 Malam Terakhir Ramadhan


 

Oleh: Adam Cholil Al Bantani (Penulis Buku Dahsyatnya Puasa Nabi Daud)
Ramadhan memang bulan istimewa. Bulan penuh makna, hikmah dan “keajaiban”. Semua itu tidak terdapat pada bulan yang lain. Sehingga ramadhan diberi julukan sebagai sayyidus syuhur atau penghulunya bulan. Tidak heran, karena di dalam bulan suci itu terkandung kedalaman makna spiritual maupun sosial. Sebuah makna yang menyatukan antara aspek lahiriyah dan bathiniyah, spiritual dan material, serta aspek duniawi dan ukhrawi. Sehingga segala aktifitas di dalamnya memiliki keistimewaan tersendiri dibanding dengan bulan-bulan selainnya. Wajar kalau Rasulullah saw., para sahabat, dan orang-orang saleh terdahulu senantiasa menjadikan ramadhan sebagai momen untuk ‘mengeruk’ sebanyak-banyaknya keuntungan pahala dengan semakin meningkatkan kualitas maupun kuantitas ibadah. Apalagi pada 10 malam terakhir, Rasulullah saw. yang kemudian diikuti oleh para sahabat lebih menggiatkan lagi ibadahnya. Aisyah ra. mengatakan:
« كَانَ رسولُ اللهِ – صلى الله عليه وسلم – يَجْتَهِدُ في رَمَضَانَ مَا لاَ يَجْتَهِدُ في غَيْرِهِ ، وَفِي العَشْرِ الأوَاخِرِ مِنْهُ مَا لا يَجْتَهِدُ في غَيْرِهِ ».
Rasulullah saw. sangat giat beribadah di bulan ramadhan melebihi ibadahnya di bulan yang lain, dan pada sepuluh malam terakhirnya beliau lebih giat lagi melebihi hari lainnya. (HR. Muslim)
Keajaiban-keajaiban yang terdapat pada 10 malam terakhir bulan ramadhan telah banyak disebutkan di dalam al-Qur’an maupun Sunnah. Diantaranya, pertama; terjadinya lailatul qadr yang merupakan malam di turunkannya al-Qur’an dan dicatatnya di lauhul mahfudz seluruh perkara yang akan terjadi di muka bumi pada tahun tersebut. Rasulullah saw. mewanti-wanti agar umatnya memperhatikan lailatul qadr pada 10 malam terakhir. Beliau bersabda:
 « تَحَرَّوْا لَيْلَةَ القَدْرِ في الوَتْرِ مِنَ العَشْرِ الأوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ ».
Carilah lailatul qadr pada tanggal ganjil di sepuluh malam terakhir bulan ramadhan. (HR. Bukhori)
Kedua; orang yang beribadah shalat pada malam lailatul qadr maka dosanya yang telah lalu akan diampuni. “Dan barangsiapa yang berdiri (shalat sunat) pada malam lailatul qadr dengan penuh keimanan dan mengharap ridha Allah maka Allah mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Ibnu Abi Dunya dalam Fadhail Ramadhan)
Ketiga; segala kebaikan akan dilipatgandakan pahalanya. Apalagi jika bertepatan dengan lailatul qadr maka satu amalan kebaikan pahalanya lebih baik dari amalan kebaikan yang dilakukan selama seribu bulan atau sekitar 83 tahun. Allah swt. berfirman:
“malam kemuliaan (lailatul qadr) itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS. Al Qadr: 3)
Sayyid Thanthawi dalam Al-Wasith menjelaskan, lailatul qadr lebih utama dari seribu bulan karena pada saat itu diturunkan al-Qur’an yang memberi petunjuk ke jalan yang lurus dan mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya, dan karena ibadah pada malam itu lebih banyak pahalanya dan lebih besar  keutamaannya dari ibadah berbulan-bulan tanpa lailatul qadr.
Keempat: Allah tidak mentaqdirkan selain keselamatan pada malam lailatul qadr itu. Dimana hal ini tidak terjadi pada malam-malam lainnya yang terdapat keselamatan dan bencana. Pada malam itu pula para malaikat menyampaikan ucapan selamat kepada orang-orang beriman sampai terbitnya fajar. Penjelasan tersebut disampaikan An-Nasafi dalam Madarikut Tanzil wa Haqaiqut Ta’wil dan Az Zamakhsyari dalam Al Kasysyaf, ketika keduanya menafsirkan ayat ke 5 dari surat al Qadr.
Dan masih banyak lagi keajaiban-keajaiban lainnya yang menegaskan keutamaan dan kelebihan bulan ramadhan khususnya pada 10 malam terakhir. Semua itu tentu akan semakin mengokohkan keimanan seorang mukmin dan lebih mendekatkan dirinya dengan Allah swt. karena berbagai ayat tersebut tentu sudah lebih dari cukup untuk menunjukkan kemahahebatan dan keagungan-Nya. Dan bahwa Allah swt. sangat mencintai dan menyayangi hamba-Nya sehingga Dia sediakan satu bulan yang di dalamnya terdapat satu malam yang utama yang bisa dijadikan kesempatan oleh hamba-hamba-Nya untuk menambah pundi-pundi pahala untuk bekal hidup kelak di akhirat.

Menggapai Keajaiban
Berbagai kegiatan ibadah bisa dilakukan untuk mengisi ramadhan terutama pada sepuluh malam terakhir bulan suci itu. Dengan kegiatan itu kita akan menggapai keajaiban-keajaiban yang ada di dalamnya. Dan kita akan meraihnya secara penuh jika ada kesungguhan untuk melaksanakannya. Rasulullah saw. dan para sahabat ra. telah mencontohkan aktifitas ibadah yang penting dilakukan pada saat malam-malam tersebut diantaranya adalah:
  1. I’tikaf. Yaitu diam di masjid dengan niat yang khusus dan disertai ibadah. Imam Nawawi dalam kitab An-Nihayah mengartikan i’tikaf sebagai menetapi sesuatu dan menempatinya. Maka orang yang menetap di masjid dengan melaksanakan ibadah di dalamnya disebut orang yang beri’tikaf. Rasulullah saw. biasa melakukan i’tikaf pada 10 hari terakhir ramadhan. Ibnu Umar ra. Berkata:
« كَانَ رسولُ اللهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ   العَشْرَ الأوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ »
Rasulullah saw. beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan ramadhan. (HR. Mutafaq ‘alaih)

  1. Memperbanyak bersedekah. Ibnu Abas ra. berkata:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ، صَلىَّ الله عليه وسلم، أَجْوَدَ النَّاسِ، وَكَانَ أَجْوَدُ مَا َيكوُنْ ُفِيْ رَمَضَانَ حِيْنَ يَلْقَاهُ جِبْرِيْلُ.
Rasulullah saw. adalah orang yang sangat dermawan kepada siapapun, dan pada bulan ramadhan beliau lebih dermawan lagi saat Jibril menemui beliau. (HR. Mutafaq ‘alaih)

  1. Memperbanyak membaca al-Qur’an. Karena pahala membacanya akan dilipatgandakan melebihi pahala pada bulan selain ramadhan. Selain itu bulan ramadhan adalah bulan dimana al-Qur’an diturunkan pertama kali. Oleh karenanya para ulama terdahulu lebih banyak mengkhatamkan al-Qur’an dibulan ramadhan. Imam Syafi’i biasa mengkhatamkannya sebanyak 60 kali pada bulan ramadhan lebih banyak dari bulan lainya yang hanya satu kali dalam sehari semalam. Malaikat Jibril senantiasa mendatangi Rasulullah saw. pada bulan ramadhan untuk membacakan al- Qur’an kepada beliau. Ibnu Abas berkata: Jibril menemui Rasulullah saw. pada setiap malam dibulan ramadhan kemudian ia membacakan Qur’an kepada beliau saw. (HR. Mutafaq ‘alaih)
  1. Melakukan ibadah umrah. Rasulullah saw. bersabda: “Umrahlah kamu pada bulan ramadhan, karena umrah pada bulan ramadhan sebanding dengan melaksanakan ibadah haji” (HR. An-Nasai)

  1. Memperbanyak berdo’a. Dari Aisyah ra. ia berkata kepada Rasulullah saw. Ya Rasulullah, bagaimana jika suatu malam aku mengetahui bahwa itu malam lailatul qadar, apa yang harus aku baca? Beliau bersabda, bacalah;
« اَللَّهُمَّ إنَّكَ عَفُوٌ تُحِبُّ العَفْوَ فَاعْفُ عَنّي »
Ya Allah, sesungguhnya Engkau maha pemaaf, Engkau menyukai permintaan maaf maka ampunilah aku. (HR. Tirmidzi)

  1. Memperbanyak shalat sunnah.
« مَنْ قَامَ لَيْلَةَ القَدْرِ إيمَاناً وَاحْتِسَاباً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ »
Barangsiapa yang bangun (untuk shalat) pada malam lailatul qadar dengan penuh keimanan dan keikhlasan maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. (HR. Mutafaq ‘alaih)

Meraih Cinta Allah
Segala amal nafilah atau ibadah sunnah yang kita lakukan dengan penuh ketulusan akan mendekatkan kita dengan Allah swt. dengan itu kita akan mendapatkan cinta-Nya. Cinta Allah kepada seorang hamba adalah anugrah yang tidak terhingga. Karena ia akan menjadi orang yang paling diperhatikan Allah. Ia pun akan senantiasa diliputi kasih dan sayang-Nya yang akan mendatangkan kepada kebahagiaan yang tiada bandingannya. Allah akan selalu membimbing setiap langkahnya sehingga ia tidak akan terpeleset ke jurang kenistaan. Seluruh tubuhnya akan terjaga, karena Allah akan mengendalikannya. Dalam sebuah hadis qudsi yang diriwayatkan Abu Hurairah, Allah swt. berfirman:

« وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقرَّبُ إلَيَّ بالنَّوافِلِ حَتَّى أحِبَّهُ ، فَإذَا أَحبَبتُهُ كُنْتُ سَمعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ ، ويَدَهُ الَّتي يَبْطِشُ بِهَا ، وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشي بِهَا ، وَإنْ سَأَلَني أعْطَيْتُهُ ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِي لأُعِيذَنَّهُ »
Dan tidak henti-hentinya hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan ibadah sunnah sampai Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya maka Aku adalah pendengarannya yang ia mendengar dengannya, dan penglihatannya yang ia melihat dengannya, dan tangannya yang ia memegang dengannya, dan kakinya yang ia melangkah dengannya. Jika ia meminta kepada-Ku maka Aku akan memberinya dan jika meminta perlindungan kepada-Ku maka Aku akan memberi perlindungan kepadanya. (HR. Bukhori)

Jika kita sudah tahu kehebatan sepuluh malam terakhir dan keutamaan yang ada di dalamnya maka apalagi yang membuat kita tidak tergerak untuk  bersungguh-sungguh mendapatkannya? Masihkah kebiasaan berdesak-desakan di pasar dan pusat-pusat perbelanjaan akan terus kita lakukan? Padahal ada kegiatan yang seharusnya diprioritaskan dari hanya sekedar mempersiapkan hari raya dengan pakaian yang serba baru dan makanan yang beraneka ragam. Sementara ladang pahala yang lewat di hadapan kita dibiarkan berlalu tanpa perhatian. Mungkin kesempatan ini hanya tinggal sekarang diberikan Allah kepada kita. Kita tidak tahu apakah tahun depan kita masih bisa bertemu kembali dengan ramadhan? Semoga Allah memberi kekuatan kepada kita untuk meraih cinta-Nya. Amin

Berita Foto] Demo Pro Mursi di 34 Titik, Pro As-sisi Hanya ada di Tahrir dan Ittihadiyah

PENTAR- Demonstrasi besar-besaran Jumat (26/7) kemarin yang mengusung tema Jum’atul Furqan (Jum’at Penentuan) benar-benar menghadirkan massa dalam jumlah yang sangat besar. Para pendukung presiden Mursi melakukan demonstrasi hampir di seluruh pelosok mesir, bahkan tercatat ada 34 titik demonstrasi.


Pidato As-Sisi yang mengisyaratkan akan terjadinya perang saudara tidak menyurutkan keinginan mereka sedikit pun, bahkan mereka meyakini bahwa kemenangan akan segera menghampiri mereka.

Sementara itu ajakan As-Sisi agar para pendukung kudeta turun kejalan-jalan dan memberikan mandat penuh kepada Militer dan kepolisian hanya direspon oleh sebagian kecil rakyat Mesir yang terkonsentrasi di Tahrir dan Ittihadiyah saja. Jumlah mereka sangat kontras dengan massa yang turun pada demo besar-besaran 30 Juni yang diklaim menghadirkan 30 juta massa. (dkw)
 

Gelombang Massa pendukung Presiden Mursi di Mathruh
Massa Peendukung Presiden Mursi Tumpah ruah di Mathruh
Massa Tumpah ruah di Mathruh
Pergerakan Massa dari Masjid Istiqamh menuju Nahdhah Square
Konvoi massa pendukung Mursi di Alexandria
Ibu-ibu dari Alexandria siap menjadi syahidah
Massa sepanjang 5 km terlihat rapi, dari Ramses menuju Rab’a