Hari
Rabo kemaren tanggal 17 Oktober 2012 disepakati, oleh para ulama rukyah
dan ahli hisab, sebagai hari pertama bulan Dzulhijjah 1433. Bukan
hanya di Indonesia dan berbagai belahan dunia lainnya, tapi juga di
Tanah Suci Mekkah, tempat pelaksanaan rukun ibadah haji, yang semestinya
menjadi acuan utama dan kiblat penentuan hari raya Idul Adha di seluruh
dunia. Sehingga, dengan demikian, tepat sesuai prediksi sebelumnya,
pelaksanaan wuquf di Arafah sebagai puncak manasik ibadah haji, yang
berarti tgl. 9 Dzulhijjah 1433, akan berlangsung pada hari Kamis tanggal
25 Oktober 2012, dan hari raya Idul Adha tanggal 10 Dzulhijjah 1433
insya-allah akan jatuh secara serempak pada hari Jum’at bertepatan
tanggal 26 Oktober 2012.
Kepada seluruh jamaah haji, kami
ucapkan: Selamat mempersiapkan diri sebaik-baiknya dan setotal-totalnya
demi meraih haji mabrur yang berdasar hadits muttafaq ‘alaih pasti
berbalas Surga. Dan kepada semua kaum muslimin non jamaah haji, juga tak
lupa kami ucapkan: Selamat ber-fastabiqul khairat (berlomba kebaikan)
khususnya dalam 10 hari pertama bulan Dzulhijjah 1433 ini, yang
merupakan 10 hari termulia sepanjang tahun, dan yang boleh jadi lebih
mulia dibandingkan dengan hari-hari bulan Ramadhan sendiri. Dimana jika
seseorang mampu mengoptimalkan upaya amal saleh dengan beragam macamnya
di dalamnya, maka sangat memungkinkan iapun bisa menggapai kemuliaan
derajat di sisi Allah dan kelipatan pahala dari-Nya, seperti yang
didapat oleh jamaah yang sukses dengan hajinya, atau bahkan
mengunggulinya.
Mungkin ada yang terheran-heran dan bertanya:
Benarkah 10 hari pertama bulan Dzulhijjah semulia itu sampai bahkan
mungkin bisa mengungguli kemuliaan hari-hari bulan Ramadhan, atau
minimal setara dengannya? Mengapa hal itu sepertinya tidak begitu
dikenal di tengah-tengah mayoritas ummat Islam, sehingga karenanya sikap
merekapun biasa-biasa dan datar-datar saja, tanpa ada yang tampak
istimewa seperti yang umumnya ditunjukkan dalam menyambut bulan suci
Ramadhan?
Nah untuk menjawab pertanyaan diatas, mari kita
cermati bersama sabda Baginda Sayyidina Rasulillah shallallahu ‘alaihi
wasallam (yang artinya) berikut ini: Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu
berkata, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda: " Tiada
hari, dimana beramal shalih padanya lebih Allah cintai selain hari-hari
ini", yakni 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah. Para shahabat bertanya:
wahai Rasulullah, apakah termasuk jihad fi sabilillah juga tidak bisa
(menandingi)?, Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam menjawab:
"Termasuk jihad fi sabilillah sekalipun tidak bisa (menandingi), kecuali
seorang lelaki yang pergi berjihad dengan jiwa dan hartanya sendiri
lalu tidak ada sesuatupun darinya yang kembali, yakni sampai gugur
sebagai syuhada’" (HR. Al-Bukhari, At-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah
dan Ahmad).
Mari perhatikan, demikian tingginya tingkat
kemuliaan 10 hari pertama bulan Dzulhijjah tersebut, sampai-sampai
jihadpun bisa kalah dalam derajat dan nilai pahala bila dibandingkan
dengan amal saleh apapun, sekali lagi amal saleh apapun, yang dilakukan
oleh seorang hamba muslim pada hari-hari tersebut. Padahal kita semua
tahu, betapa tinggi nilai jihad fi sabilillah di dalam Islam dan derajat
mujahid di sisi Allah Ta’ala. Tapi toh hanya ada satu kondisi mujahid
saja yang derajat dan nilai pahala jihadnya bisa mengungguli amal saleh
pada 10 hari pertama Dzulhijjah, yang memang merupakan puncak derajat
seorang mujahid di jalan Allah. Yaitu seorang mujahid yang memenuhi 3
kriteria: pertama, ia berangkat sendiri ke medan jihad; kedua, seluruh
perbekalan jihadnya dari harta miliknya sendiri; dan ketiga, ia berjihad
sampai gugur sebagai syuhada. Sehingga jihad seorang mujahid yang
sampai mati syahid tapi perbekalan jihadnya dari harta orang lain, atau
mujahid yang berangkat jihad dengan diri dan hartanya sendiri namun
tidak sampai gugur sebagai syuhada, atau bahkan yang berjihad dengan
diri dan hartanya sendiri, serta mati syahid, akan tetapi masih ada dari
perbekalan jihadnya, misalnya pedangnya atau baju besinya, atau kudanya
dan lain-lain, yang masih bisa dibawa pulang kembali dari medan laga
jihad. Ya semua kondisi mujahid yang pasti sangat luar biasa
keistimewaannya itu, tetap saja tidak bisa menandingi dan mengungguli
keistimewaan, keutamaan dan kemuliaan amal saleh pada 10 hari pertama
bulan Dzulhijjah seperti yang tengah kita lewati ini! ALLAHU AKBAR!
Mungkin karena begitu mulianya10 hari pertama bulan Dzulhijjah
tersebut, maka Allah Ta’ala sampai bersumpah dengannya, dalam firman-Nya
(yang artinya): “Dan demi malam-malam yang sepuluh” (QS. Al-Fajr 89:
2), yang menurut Imam Ibnu Katsir dan jumhur mufassir lain
rahimahumullah, maksud tafsirnya yang benar adalah 10 malam pertama
bulan Dzulhijjah.
Dan ada satu dalil kuat lagi yang bisa
menjadi faktor penegas luar biasanya keistimewaan 10 hari pertama bulan
Dzulhijjah ini. Yakni bahwa, para ulama sampai berselisih pendapat
tentang mana yang lebih mulia, utama dan istimewa antara 10 hari pertama
bulan Dzulhijjah dan 10 malam terakhir bulan Ramadhan yang di dalamnya
terdapat malam lailatul qadar. Dimana sebagian ulama berpendapat bahwa,
10 hari dan malam pertama Dzulhijjah yang lebih mulia, dan sebagian yang
lain mentarjih bahwa, 10 malam dan hari terakhir Ramadhanlah yang lebih
istimewa. Dan pendapat yang lebih rajih, kuat dan tepat insya-allah
adalah yang memadukan antar dalil keduanya. Dimana untuk waktu malamnya,
10 malam akhir Ramadhan adalah yang paling utama sepanjang tahun bila
dibandingkan dengan semua malam yang lain termasuk 10 malam pertama
bulan Dzulhijjah. Sementara itu untuk waktu siangnya, 10 hari pertama
Dzulhijjah adalah yang termulia dibanding seluruh hari yang lainnya
termasuk hari-hari bulan Ramadhan seluruhnya.
Oleh karena itu
semua, seharusnya sikap kita dalam mengistimewakan hari-hari termulia
ini dengan amal-amal yang serba istimewa, utamanya untuk waktu siangnya,
minimal seperti dan setara dengan sikap pengistimewaan kita terhadap
bulan suci Ramadhan setiap tahun. Jika demikian, lalu apa sikap yang
harus kita tunjukkan dan amal serta ibadah apa sajakah yang sebaiknya
kita kerjakan dalam upaya mengistimewakan 10 hari pertama bulan
Dzulhijjah ini? Berikut ini disebutkan beberapa poin sekadar sebagai
pengingat, semoga bermanfaat:
1. Hal pertama yang harus
dilakukan oleh setiap muslim dalam konteks ini adalah, menumbuhkan,
menjaga dan meningkatkan keyakinan, kesadaran serta perasaan akan mulia,
utama dan istimewanya 10 hari pertama bulan Dzulhijjah ini.
2.
Memiliki dan menyimpan kejujuran niat, kesungguhan tekad dan ketinggian
semangat untuk benar-benar mengistimewakan hari-hari teristimewa ini
dengan bermacam ragam amal dan ibadah yang serba istimewa, demi
mengharap derajat taqwa dan nilai pahala nan istimewa pula. Serta
bermujahadah sebisa mungkin untuk tidak melewatkan sedikitpun dari
waktu-waktunya secara sia-sia.
3. Menguatkan dan meningkatkan
kepekaan rasa kewaspadaan keimanan, dengan senantiasa berupaya keras
untuk menghindarkan diri dari berbagai bentuk kemaksiatan dan
pelanggaran syar’i pada hari-hari termulia tersebut, baik dalam bentuk
meninggalkan kewajiban maupun dengan melakukan yang dilarang dan
diharamkan.
4. Karena amal yang diistimewakan pada 10 hari
pertama bulan Dzulhijjah, berdasar hadits Ibnu Abbas radhiyallahu
‘anhuma diatas, tidak dibatasi pada jenis amal tertentu, maka pada
prinsipnya amal atau ibadah apapun, sekali lagi amal saleh dan ibadah
apapun, baik yang bersifat ritual, sosial maupun lainnya, sesuai
situasi, kondisi, kebutuhan dan kesanggupan masing-masing kita, bisa
saja dilakukan dan sekaligus berpotensi untuk menjadi amal yang paling
dicintai oleh Allah Ta’ala, yang tentu saja berarti akan bernilai pahala
super istimewa tiada tara. Dan itu meliputi (sekadar contoh) misalnya:
shalat, zakat, infak, sedekah, dakwah, mencari nafkah, menuntut ilmu
atau mengajarkannya, juga membaca Al-Qur’an, mempelajarinya dan
mengajarkaannya, berdzikir, beristighfar dan berdoa, berbakti kepada
orang tua, menyambung tali silaturrahin dengan keluarga dan lainnya,
membantu sesama, berbagi hikmah dan kebajikan dimana serta kepada siapa
saja, dan seterusnya dan seterusnya.
5. Jika amal yang lebih
diutamakan pada sepuluh malam terakhir Ramadhan adalah ibadah-ibadah
spesial malam hari, seperti qiyamullail atau tahajjud, tadarus
Al-Qur’an, itikaf, dzikir, doa, munajat, istighfar, dan semacamnya, maka
yang lebih diistimewakan pada 10 hari pertama Dzulhijjah ini adalah
jenis-jenis amal ibadah spesial siang hari, dan salah satu yang paling
utama tiada lain adalah ibadah puasa. Maka disunnahkan dan dianjurkan
agar setiap muslim memperbanyak puasa pada 10 hari ini, tentu saja
kecuali tanggal 10-nya yang merupakan hari raya Idul Adha, dan yang
memang diharamkan puasa padanya. Namun untuk ibadah puasa ini terbagi
dua, yakni yang berifat umum dan khusus. Yang umum adalah puasa dari
anggal 1 – 8 Dzulhijjah, dimana kesunnahannya tidak berdasarkan dalil
khusus, melainkan mengacu pada keumuman hadits Ibnu Abbas radhiyallahu
‘anhuma dimuka, dimana setiap amal saleh pada 10 hari pertama Dzulhijjah
adalah yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala. Dan sudah barang tentu
ibadah puasa menempati peringkat utama dan istimewa dalam daftar amal
saleh yang disebutkan itu. Apalagi, seperti yang telah disebutkan, yang
lebih utama dari 10 hari pertama Dzulhijjah itu adalah waktu siangnya,
dan puasa merupakan salah satu jenis amal ibadah spesial siang hari yang
teristimewa. Oleh karenanya dalam kitab Riyadhus Shalihin, Imam
An-Nawawi rahimahullah menulis bab khusus dengan judul: Fadilah Puasa
dan Amal-amal Lain Pada 10 Hari Pertama Dzulhijjah, lalu beliau
menyebutkan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, yang telah dikutip
dimuka. Adapun puasa yang bersifat khusus dengan dalil khusus dan
fadilah khusus pula, adalah puasa hari Arafah, yakni pada tanggal 9
Dzulhijjah. Dimana saat ditanya tentang fadhilah dan keutamaan puasa
hari wuquf di Arafah (bagi selain jamaah haji), Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda: “Ia bisa menghapuskan (dosa) satu tahun yang
telah berlalu dan (dosa) satu tahun lagi yang akan datang” (HR. Muslim
dari sahabat Abu Qatadah radiyallahu ‘anhu).
6. Memperbanyak
kumandang takbir, tahlil dan tahmid dengan suara keras di rumah-rumah,
masjid-masjid, jalan-jalan, pasar-pasar dan lain-lain, pada 10 hari
pertama bulan Dzulhijjah ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda (yang artinya): “Tiada hari yang lebih agung bagi Allah, dan
amal saleh padanya lebih dicintai oleh-Nya, dibandingkan 10 hari
(pertama Dzulhijjah) ini. Maka perbanyaklah padanya ucapan tahlil,
takbir dan tahmid” (HR. Ahmad dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, dan
dishahihkan sanadnya oleh Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah). Imam
Al-Bukhari rahimahullah menyebutkan bahwa, sahabat Ibnu Umar dan Abu
Hurairah dulu biasa pergi ke pasar pada 10 hari pertama bulan Dzulhijjah
seraya mengumandangkan takbir, sehingga masyarakatpun bertakbir
mengikuti takbir keduanya. Itu untuk tuntunan takbir yang bersifat umum.
Adapun untuk praktik takbir yang bersifat khusus terkait dengan syiar
hari raya Idul Adha, maka menurut jumhur ulama disunnahkan agar
dilakukan mulai selepas shalat subuh pada hari Arafah (tanggal 9
Dzulhijjah) sampai shalat asar hari terakhir tasyriq (tanggal 13
Dzulhijjah), dimana ucapan takbir dikumandangkan pada setiap usai shalat
fardhu dan diutamakan pada pagi hari raya Idul Adha saat seseorang
berangkat ke tempat shalat Id.
7. Menyembelih hewan qurban,
dengan motivasi utama sebagai sebuah bentuk ibadah ritual persembahan
kepada Allah, bukti penghambaan dan syiar deklarasi kemurnian tauhid
kepada-Nya, dan bukan dengan sekadar niat bersedekah daging. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Tiada satu amal
pun yang dilakukan seseorang pada Yaumun-Nahr (hari raya qurban) yang
lebih dicintai oleh Allah daripada mengalirkan darah (hewan qurban yang
disembelih). Maka berbahagialah kamu dengannya” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu
Majah dan Al-Hakim dengan sanad yang shahih).
8. Mengikuti
shalat Idul Adha, dan mendengarkan khutbah seusainya. Adapun bagi kaum
perempuan yang berhalangan, maka dianjurkan untuk tetap turut menghadiri
penyelenggaraan shalat, meskipun tentu tidak boleh mengikutinya,
melainkan untuk mendapatkan siraman rohani dan pencerahan ilmu dari
khutbah yang disampaikan, serta sekaligus untuk turut menyemarakkan,
memeriahkan dan meramaikan suasana hari raya sebagai momen kegembiraan
ummat Islam dan syiar kebersamaan serta persatuan kaum muslimin.
Sedangkan ketika hari raya qurban jatuh pada hari Jum’at, seperti yang
akan datang ini, maka bagi yang mengikuti shalat Id diberi rukhshah
(keringanan) untuk tidak menghadiri shalat Jum’at, dan cukup melakukan
shalat dzuhur saja seperti hari-hari lain. Namun meskipun begitu, lebih
baik baginya jika tetap turut menunaikan shalat jum’at bersama kaum
muslimin yang mengadakannya. Sedangkan bagi penanggung jawab atau takmir
masjid jami’, yakni masjid yang biasa didirikan shalat jum’at di
dalamnya, diharuskan tetap menyelenggarakannya, agar bagi kaum muslimin
yang ingin, bisa berkesempatan untuk menjalankannya. Karena saat terjadi
shalat Idul Fitri pada hari Jum’at, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda (yang artinya): “Telah berhimpun pada hari kalian ini
dua hari raya. Barangsiapa yang ingin, maka (shalat Id) telah cukup
baginya untuk mewakili shalat Jum’at. Namun kami tetap akan
menyelenggarakannya” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Al-Baihaqi, Al-Hakim
dan lain-lain, dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).
9. Dan last but not least, tentu saja amal ibadah paling agung dan
tertinggi pada bulan Dzulhijjah ini, bagi yang mampu dan berkesempatan,
tiada lain adalah ibadah haji dan umrah di Tanah Suci Mekkah. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Ibadah umrah
satu ke umrah yang lain adalah penghapus dosa antara keduanya, dan haji
yang mabrur itu tiada balasan baginya kecuali Surga” (HR. Muttafaq
‘alaih).
Demikian, wallahu a’lam. Wallahul Muwaffiq ila aqwamith-thariq. Wa Huwal Hadi ila sawa-issabil.
Oleh : Ustadz Ahmad Mudzoffar Jufri
Posted in: TSAQAFAH
0 komentar:
Posting Komentar