Pada suatu hari, Khalifah Umar bin Khathab mendapati beberapa orang yang kerjanya hanya berdiam diri di masjid. Ketika Umar bertanya tentang bagaimana mereka memenuhi kebutuhan hidup, mereka menjawab, “Kami ini orang yang bertawakal.”
Umar menolak jawaban itu seraya berkata, “Bukan, kalian ini tidak lain adalah orang yang berpangku tangan dan malas bekerja, kemudian berdoa kepada Allah agar diberikan rezeki. Padahal kalian tahu bahwa langit itu tidak pernah menurunkan hujan emas ataupun perak.”
Kisah tersebut secara tegas mewajibkan setiap manusia untuk mencari nafkah. Kewajiban ini terukir jelas dalam surat Al Mulk ayat 15. ”Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kalian. Karena itu berjalanlah kalian di segenap penjurunya, dan makanlah sebagian dari rizki-Nya.” Sehingga, tidak ada alasan pembenar apapun bagi seseorang untuk berpangku tangan maupun mengemis. Karena hanya dengan cara bekerja, manusia akan mendapat berkah dari alam ini. Dan setiap apa yang manusia usahakan, itulah yang akan didapatkannya.
Ada banyak cara yang dapat dikerjakan seseorang untuk dijadikan sarana mencari nafkah. Allah SWT telah mensyariatkan bentuk-bentuk kerja yang dapat dijadikan sebagai sarana di antaranya dengan menghidupkan tanah mati (bercocok tanam), menggali kandungan bumi, berburu, perseroan harta dengan tenaga (mudharobah), mengairi lahan pertanian (musaqat), dan kontrak tenaga kerja (Ijaroh).
Lebih khusus mengenai perburuhan (Ijaroh), Islam tidak membagi masyarakat menjadi kelas-kelas sosial, seperti kaum proletar maupun borjuis. Islam menyebut seorang pekerja dengan sebutan ajir. Sedangkan lembaga, perusahaan atau orang yang mengupahnya dinamakan musta’jir. Atau jika disesuaikan dengan konsep kekinian, maka ajir adalah buruh sedangkan musta’jir berarti majikan/pemodal. Walaupun secara harfiah memiliki pengertian yang relatif sama, namun jika ditelaah secara maknawi maka ada kesenjangan antara konsep ketenagakerjaan dalam Islam dengan konsep perburuhan dalam sistem kapitalisme maupun sosialisme.
Dalam konsep Islam, hubungan pekerja dengan majikan adalah setara dan saling membutuhkan. Di satu sisi, pekerja membutuhkan majikan yang mampu membayar tenaganya dengan layak. Sebaliknya pula, majikan memerlukan orang yang mau dibayar untuk mengurusi kepentingannya. Hubungan ajir-musta’jir, didasarkan pada ikatan yang saling menguntungkan dan menghargai. Dalam hubungan pekerjaan, memang ada klasifikasi fungsi sebagai pekerja dan pengupah. Namun, pembedaan fungsi ini tidak lantas dijadikan dasar bagi keduanya untuk saling menindas. Justru pembedaan ini menjadi harmoni tersendiri untuk saling memenuhi kepentingannya masing-masing.
Aksi ribuan buruh yang mem-blokade jalan Tol beberapa waktu yang lalu merupakan ekspresi emosional ketertindasan yang mereka alami selama ini. Di sisi lainnya, para pengusaha terus menerus meraup keuntungan yang mempertebal pundi-pundi emas mereka. Hal ini diperparah dengan ketidakberdayaan positioning buruh di hadapan pengusaha yang sewaktu-waktu bisa mencampakkannya menjadi pengangguran.
Gejolak emosi yang bertumpuk dari waktu ke waktu ini, menemukan pemantiknya ketika UMK yang telah ditetapkan melalui mekanisme prosedural yang disepakati, ditolak bahkan di gugat gabungan pengusaha (Apindo). Padahal, buruh sangat mengharapkan UMK tersebut diterapkan sejak awal tahun 2012 dengan harapan kualitas kehidupan mereka ke depan akan sedikit lebih baik. Tapi harapan hanyalah harapan. Apindo memenangkan gugatan di tingkat PTUN yang kemudian direspon dengan aksi besar-besaran buruh memblokade jalan TOL sebagai salah satu akses vital Ibu Kota Jakarta dan sekitarnya. Akibatnya, nyaris seluruh pengusaha mengalami kerugian saat itu. Lalu, apakah pola hubungan yang seperti ini akan terus dipertahankan?
Landasan kokoh terhadap keseimbangan hubungan buruh-majikan yakni kekuatan spiritual goal. Artinya, baik pekerja maupun pemberi upah memiliki satu tujuan hakiki yaitu meraih ridha Allah SWT. Berdasarkan falsafah hidup ini, maka dipastikan muncul sikap saling menghargai dan mencintai. Tak ada dzalimisasi antara majikan terhadap buruhnya, maupun buruh kepada majikannya. Akhirnya, terciptalah hubungan kerja yang dinamis dan harmonis.
Islam memandang buruh sebagai sosok manusia yang mulia. Rasulullah berkata bahwa Mereka yang bekerja dengan pikiran dan tenaganya untuk mendapat imbalan yang pantas, posisinya lebih mulia daripada pemalas dan peminta-minta (HR. Bukhari). Nabi Muhammad SAW menandaskan bahwa Allah akan memberikan rezekinya terhadap mereka yang berusaha dan bekerja untuk kelangsungan hidupnya. Bahkan Rasulullah sangat mencintai tangan-tangan kasar akibat kerja keras. Bukan kepada orang-orang yang berpasrah pada nasib dan terus berharap Allah SWT menurunkan rezekinya dengan cuma-cuma.
Rasulullah sungguh-sungguh memuliakan buruh dan memberitahu para sahabat bahwa setiap Rasul termasuk dirinya pernah kerja kasar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Misalnya, Rasul pernah bekerja menggembala kambing milik orang lain. Di waktu lainnya Rasul pernah berdagang mengikuti Siti Khadijah sebelum menjadi istrinya. Inilah bentuk pelajaran mulia yang diajarkan manusia terbaik sepanjang zaman bahwa kemuliaan tidak dinilai dari jenis pekerjaan yang dilakoni, tapi semata-mata karena keimanan dan ketakwaan terhadapNya.
Penghormatan Islam terhadap buruh juga ditunjukkan dengan ketentuan pemberian upah. Rasulullah mewajibkan setiap majikan untuk membayar upah buruhnya sebelum keringatnya kering (HR. Ibnu Majah). Sungguh mulianya Islam mengatur tentang perburuhan hingga level terinci yakni tentang upah. Bahkan waktu pembayaran upah pun diatur dengan tegas yakni sebelum keringat Mereka kering. Bahkan mungkin hadits inilah yang menginspirasi jargon “Upah Sehari Yang Layak Bagi Kerja Sehari Yang Layak” sebagaimana dicetuskan Frederich Engels, seorang teoritikus ekonomi-politik, akhir abad 19.
Lebih lanjut Rasulullah melarang keras mempekerjakan buruh tanpa menetapkan upahnya terlebih dahulu (HR. Baihaqi). Bahkan, Rasulullah mengancam akan memusuhi Mereka (majikan/pengusaha) yang mempekerjakan seseorang secara penuh tapi tidak membayar upahnya dengan layak. Atau jika disesuaikan dengan masa kini, hadits ini mengancam para pengusaha yang menetapkan upah di bawah Kebutuhan Hidup Layak buruh dan keluarganya. Karena menurut ajaran Islam, Para pengusaha tidak diperkenankan menginvestasikan uangnya semata-mata untuk meraih keuntungan semata. Mereka juga perlu mendedikasikan usahanya tersebut untuk kebaikan masyarakat sekitar termasuk orang yang bekerja di dalamnya.
Konsep Islam tentu berbeda sekali dengan kapitalisme dan sosialisme. Islam memandang hubungan buruh-majikan sebagai harmoni yang saling menguntungkan. Berbeda dengan kapitalisme dan sosialisme yang berpandangan bahwa harus ada salah satu pihak yang mendominasi. Jika kapitalisme mengagungkan pengusaha, maka sosialisme melangitkan posisi buruh. Kalau kapitalisme menelurkan teori full profit oriented, maka sosialisme mengajarkan konsep pemerintahan buruh atau dictator proletarian. Yang pasti, kedua ideologi tersebut memposisikan buruh-pengusaha sebagai pihak-pihak yang saling berlawanan dan tidak mungkin disatukan. Jika kapitalisme memuluskan jalan bagi pengusaha untuk memperoleh profit yang sebesar-besarnya dengan cara menekan biaya produksi, termasuk memberi upah yang kecil pada buruh. Maka sosialisme menginginkan seluruh keuntungan usaha di’hibah’kan untuk kepentingan buruh. Padahal, pencetus kedua paham tersebut sadar bahwa produktivitas kerja berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan. Dan sebaliknya, investasi menjadi penting dalam membuka lahan pekerjaan bagi buruh. Karena itu, konsep Islam menjadi solusi permasalahan perburuhan yang dialami dunia kini.
Ke depan, relasi buruh-majikan harus dibangun dalam iklim persahabatan dan persaudaraan yang murni. Hubungan keduanya didasari pada sikap saling membutuhkan dan memuliakan keduanya. Karena buruh dan pengusaha sejatinya sama-sama makhluk Illahi yang seluruh aktivitas muamalahnya dikontribusikan seluruhnya pada Allah SWT. Ayo, Taati Majikanmu, Muliakanlah Pekerjamu!
Oleh : Fajar Sidik
0 komentar:
Posting Komentar