“Inilah jalanku: aku dan orang-orang yang mengikutiku berdakwah kepada Allah dengan hujah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik” (Yusuf:108).

Kamis, 16 Agustus 2012

TAFSIR SURAT AL QADR


إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ (1) وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ (2) لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ (3) تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ (4) سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ (5)
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada Lailatul Qadr. Dan tahukah kamu apakah Lailatul Qadr itu? Lailatul Qadr itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Ar Ruh dengan izin Tuhannya untuk mengatur urusan. Malam itu (penuh) Salaam sampai terbit fajar”. (QS. Al Qadr [97] : 1-5).
Firman Allah Subhana wa Ta’ala :
(إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ) “Sesungguhnya Kami menurunkannya…”. Dhamir pada kata (إِنَّا) kembali kepada lafadz Allah ‘Azza wa Jalla. Sedangkan pada (أَنْزَلْنَاهُ) kembali kepada Al Qur’an. Pada ayat ini Allah Subhana wa Ta’ala menyebut DiriNya dengan sebutan pengagungan karena Allah Subhana wa Ta’ala adalah Dzat Yang Maha Agung yang tidak ada yang lebih agung daripada Nya. Terkadang Allah menyebut DiriNya dengan menggunakan bentuk pengagungan (dhamir jama’ berupa ‘Kami’) sebagaimana pada ayat ini. Demikian juga pada ayat Allah Subhana wa Ta’ala,
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami yang menurunkan Al Qur’an dan Kami pulalah yang menjaganya”. (QS. Al Hijr [15] : 9).
Demikian juga dalam ayat-ayat lainnya.
Namun terkadang Allah Subhana wa Ta’ala juga menyebut DiriNya dengan bentuk tunggal (dhamir tunggal berupa ‘Aku’). Sebagaimana dalam firmanNya,
إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي
Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”. (QS. Thahaa [20] : 14).
Hal itu adalah karena Allah adalah Dzat Yang Maha Esa dan Agung. Maka jika ditinjau dari shifat yang akan dijelaskan setelah dhamir yaitu sifat wahdaniyah (Keesaan) maka Allah menggunakan dhamir tunggal.
Kemudian apa makna inzaal pada firman Allah (أَنْزَلْنَاهُ) di malam Lailatul Qadr? sebagian ulama mengatakan yang dimaksud bahwa Allah Subhana wa Ta’ala menurunkan Al Qur’an secara keseluruhan pada satu kesempatan di malam Lailatul Qadr dari Al Lauhul Mahfudz ke Baitul Izzah (di Langit Dunia). Kemudian Allah Subhana wa Ta’ala menurunkannya secara berangsur-angsur ke pada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sesuai dengan kejadian selama 23 tahun1.
Pendapat lain mengatakan bahwa yang dimaksud Inzaal pada firman Allah (أَنْزَلْنَاهُ) bahwa Allah Subhana wa Ta’ala menurunkan ayat Al Qur’an yang pertama (Allah Subhana wa Ta’ala mulai menurunkan Al Qur’an) pada malam Lailatul Qadr di Bulan Ramadhan2.
Firman Allah Subhana wa Ta’ala (فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ) “pada Lailatul Qadr”. Sebagian ulama berpendapat bahwa makna (الْقَدْرِ) adalah kemuliaan. Sebagian lagi berpendapat maknanya adalah takdir, karena pada malam tersebut ditentukan takdir yang akan terjadi selama setahun ke depan berdasarkan firman Allah Subhana wa Ta’ala,
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ (3) فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ (4)
“sesungguhnya Kami menurunkannya (Al Qur’an) pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dipisahkan dan dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah (berupa rezeki, ajal dan lain-lain)”. (QS. Ad Dukhan [44] : 3-4).
Pendapat yang lebih tepat adalah ayat tersebut (لَيْلَةِ الْقَدْرِ) mencakup dua makna di atas, yaitu dengan kita katakan bahwa malam Lailatul Qadr merupakan malam yang penuh dengan kemulian dan keagungan serta pada malam itu juga ditentukan takdir yang akan terjadi selama satu tahun ke depan berupa kehidupan, kematian, rezki dan lain-lain.
Firman Allah Subhana wa Ta’ala (وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ) “Dan tahukah kamu apakah Lailatul Qadr itu ?”
Dari bentuk kalimat seperti ini dapat diambil sebuah faidah adanya pengagungan dan pemuliaan. Bentuk kalimat sejenis ini juga Allah Subhana wa Ta’ala sebutkan dalam firmannya,
وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْقَارِعَةُ 
“Dan tahukah kamu apa itu hari yang menggetarkan hati / hari qiyamat3. (QS. Al Qari’ah [101] : 3).
Kemudian di ayat selanjutnya dalam Surat Al Qadr ini Allah Subhana wa Ta’ala menjelaskan Lailatul Qadr itu dengan firmannya (لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ) “Lailatul Qadr itu lebih baik dari seribu bulan”. Kebaikan yang dimaksud dalam ayat ini adalah berupa pahala amal pada malam tersebut.
Pendapat yang mengatakan bahwa (pahala) beribadah pada malam tersebut lebih utama dari (pahala) beribadah seribu bulan yang tidak ada Lailatul Qadr nya. Pendapat ini merupakan pendapat Ibnu Jarir Ath Thabari Asy Syafi’i Rahimahullah4.
Firman Allah Subhana wa Ta’ala (تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا) “Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Ar Ruh”. Yaitu para malaikat tersebut turun secara bertahap. Karena malaikat adalah penduduk langit sedangkan langit terdiri dari tujuh lapis. Demikianlah para malaikat tersebut turun hingga memenuhi bumi. Turunnya malaikat ke bumi menunjukkan adanya rahmat, kebaikan dan keberkahan. Oleh karena itulah rumah yang malaikat tidak mau masuk ke dalamnya (sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim) adalah rumah yang hilang kebaikan dan keberkahan padanya.
Fiman Allah Subhana wa Ta’ala (وَالرُّوحُ) adalah Jibril ‘Alaihis Salam. Allah Subhana wa Ta’ala menyebutkannya secara khusus yang menunjukkan adanya keistimewaan dan keagungan Jibril ‘Alaihis Salam.
Firman Allah Subhana wa Ta’ala (بِإِذْنِ رَبِّهِمْ) “dengan izin Tuhannya”. Yaitu dengan izin kauniyah Allah. Karena izin Allah Subhana wa Ta’ala itu ada dua macam, yaitu kauniyah dan syar’iyah.
Firman Allah Subhana wa Ta’ala (مِنْ كُلِّ أَمْرٍ) “untuk mengatur urusan”. Ada pendapat yang mengatakan bahwa huruf (مِنْ) pada ayat ini maknanya adalah ba’ yang bermakna seluruh. Sehingga makna ayat di atas adalah “untuk mengatur seluruh urusan yang Allah Subhana wa Ta’ala perintahkan”. Namun apakah urusan yang dimaksudkan merupakan sebuah perkara yang kita tidak mengetahuinya.
Firman Allah Subhana wa Ta’ala (سَلَامٌ هِيَ) “Salaam”. Kalimat yang Allah Subhana wa Ta’ala gunakan dalam akhir surat ini merupakan susunan mubtada’ dan khabar dengan khabar yang muqaddam. Sehingga memberikan makna penuh dengan Salaam.
Lalu apa makna (سَلَامٌ) dalam ayat ini ? Sebagian ulama mengatakan maknanya adalah kesejahteraan padanya dalam segala urusan. Sebagian lagi mengatakan maknaya adalah keselamatan, sehingga pada malam tersebut setan tidak mampu berbuat keburukan atau tidak mampu mengganggu. Ini merupakan pendapat yang dipilih oleh Mujahid. Asy Sya’bi mengatakan makna (سَلَامٌ) adalah salam para malaikat kepada Ahli Mesjid hingga terbit fajar. Qatadah dan Ibnu Zaid mengatakan makna (سَلَامٌ) adalah semua kebaikan sehingga tidak ada keburukan padanya hingga terbit fajar5.
Allah Subhana wa Ta’ala menyebut pada malam ini adanya Salaam karena pada malam ini banyak sekali keselamatan dari dosa dan hukumanNya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang mengerjakan sholat pada malam lailatul Qadr karena iman dan mengharap pahala maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah berlalu”6.
Firman Allah Subhana wa Ta’ala (حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ) “sampai terbit fajar”. Yaitu malaikat turun pada malam tersebut hingga terbitnya fajar, jika fajar telah terbit maka berakhir pula lah malam Lailatul Qadr.
[Disadur dari Tafsir Al Qur’an Al Karim –Juz ‘Amma- karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah hal. 272-279 terbitan Dar Tsuroya, Riyadh, KSA. Dengan pengubahan dan penambahan seperlunya].
Adapun seputar masalah Lailatul Qodar silakan lihat tulisan kami yang berjudul “Seputar Lailatul Qadr 1-2” di www.alhijroh.com
1 Ini merupakan pendapat yang dinilai shahih dari ‘Abdullah bin ‘Abbas Rodhiyallahu ‘anhuma. [Lihat Shahih Tafsir Ibnu Katsir karya Musthafa Al Adawi hal. 664/IV terbitan Dar Ibnu Rajab, Mesir.]
2 Pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah. [Lihat Tafsir Juz ‘Amma hal. 273 terbitan Dar Tsuroya, KSA].
3 Lihat tulisan kami yang berjudul “Namanya Menunjukkan Dahsyatnya” di www.alhijroh.com
4 Lihat Shahih Tafsir Ibnu Katsir hal. 664/IV.
5 Lihat Shahih Tafsir Ibnu Katsir hal. 665/IV
6 HR. Bukhari no. 1802 dan Muslim no. 759.

Penulis: Aditya Budiman bin Usman
Artikel Muslim.Or.Id

0 komentar:

Posting Komentar