Pemateri: UST. ABU YAHYA BADRUSSALAM, Lc.
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengabarkan kepada umat Islam akan keutamaan-keutamaan bulan Ramadhan, di antaranya adalah hadits:
إِذَا كَانَ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ صُفِّدَتِ
الشَّيَاطِينُ مَرَدَةُ الْجِنِّ ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ فَلَمْ
يُفْتَحْ مِنْهَا بَابٌ ، وَفُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجِنَّانِ فَلَمْ
يُغْلَقُ مِنْهَا بَابٌ ، وَنَادَى مُنَادٍ : يَا بَاغِىَ الْخَيْرِ
أَقْبِلْ ، وَيَا بَاغِىَ الشَّرِّ أَقْصِرْ وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ مِنَ
النَّارِ وَذَلِكَ كُلُّ لَيْلَةٍ.
“Apabila telah masuk malam pertama dari bulan Ramadlan,
syaithan-syaithan yaitu jin-jin yang durhaka akan diikat, pintu-pintu
Neraka akan dikunci dan tidak satupun pintu yang terbuka. Pintu-pintu
surga akan dibuka dan tidak satupun pintu yang terkunci. Dan akan ada
yang menyeru, “Wahai orang yang menginginkan kebaikan kemarilah, dan
wahai orang yang menginginkan keburukan tahanlah.” Allah memerdekakan
hamba-hamba-Nya dan itu terjadi pada setiap malam,” (HR At Tirmidzi, ibnu Majah dan lainnya).
Hadits di atas menyebutkan beberapa keutamaan bulan Ramadhan:
- Setan-setan akan diikat. Makna setan diikat adalah setan itu memang diikat oleh Allah Ta’ala secara hakiki, atau makna lainnya yaitu dipersempitnya ruang gerak setan di bulan Ramadhan.
Ketika berpuasa tentunya menahan lapar, haus dan syahwat sehingga
ketika lapar, biasanya syahwat menjadi berkurang. Karena sebab itu,
jalan setan untuk menggoda manusia menjadi sempit, maka ini adalah 2
makna daripada setan itu diikat. Kemudian bila ada yang bertanya,
“Katanya setan di bulan Ramadhan diikat, tapi kenapa masih ada yang
kesurupan?” maka dijawab, “Rasulullah menjelaskan dalam hadits di atas
bahwa yang diikat adalah setan-setan atau jin-jin yang durhaka.”
- Pintu-pintu neraka akan dikunci dan pintu-pintu surga akan dibuka.
Karenanya kesempatan untuk masuk surga di bulan Ramadhan itu mudah.
Rasulullah bersabda, “Akan ada yang menyeru, ‘Wahai orang yang menginginkan kebaikan kemarilah, dan wahai orang yang menginginkan keburukan tahanlah.’ Allah memerdekakan hamba-hambaNya dan itu terjadi pada setiap malam.”
Jadi, kemerdekaan dari api neraka itu tidak terjadi pada sepuluh
terakhir bulan Ramadhan saja. Adapun hadits yang mengatakan bahwa
Ramadhan terbagi menjadi 3; sepuluh malam pertama adalah rahmat, sepuluh
yang kedua adalah ampunan dari Allah dan sepuluh yang ketiga adalah
terbebas dari api neraka. Ketahuilah bahwa hadits tersebut dikeluarkan
oleh Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya, namun di dalam sanadnya ada perawi
yang lemah yaitu Ali bin Zaid bin Jud’an. Terlebih lagi hadits tersebut
bertentangan dengan hadits di atas yang menyebutkan bahwa kemerdekaan
dari api neraka itu terjadi pada setiap malam bulan Ramadhan. Oleh
karena itu para ulama’ hadits mengatakan bahwa hadits yang menyebutkan
Ramadhan terbagi menjadi tiga adalah munkar.
Karena di bulan Ramadhan ini dimudahkan menuju surga, maka kewajiban
seorang muslim adalah berlomba-lomba mencari keberkahan di bulan
Ramadhan dengan beramal shaleh. Pada bulan ini seseorang tidak lepas
dari dua keadaan; yaitu gembira dan takut. Gembira karena mendapatkan
kesempatan mendekatkan diri kepada Allah, dan takut jika keluar dari
Ramadhan namun tidak mendapat ampunan dari Allah
Ta’ala.
Apalagi ada hadits yang mendoakan kebinasaan bagi yang mendapatkan
bulan Ramadhan, tapi selepas Ramadhan tidak mendapatkan ampunan dari
Allah
Ta’ala. Ini adalah do’a Malaikat Jibril lalu diaminkan oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam. Karenanya tidak ada jalan lain kecuali bersungguh-sungguh mencari ampunan Allah
Ta’ala.
Beberapa amal shalih di bulan Ramadhan
1. Puasa ramadhan
Ketahuilah bahwa berpuasa bukan hanya sebatas menahan lapar dan dahaga.
ليس الصيام من الأكل والشرب وإنما الصيام من اللهو والرفث (رواه ابن خزيمة وهو حديث صحيح)
“Bukanlah puasa itu sebatas menahan makan dan minum saja, tapi
hakekat puasa adalah menjauhi perkara yang sia-sia dan kata-kata yang
kotor.”
Dalam hadits yang dikeluarkan Imam Bukhari dalam shahihnya disebutkan bahwa Rasulullah bersabda:
من لم يدع قول الزور والعمل به فليس لله حاجة أن يدع طعامه وشرابه
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan terus
menerus mengamalkannya, maka Allah tidak membutuhkan puasanya tersebut”.
Untuk apa berpuasa namun bohong tetap jalan, ngrumpi jalan terus,
ghibah sana sini dan berpuasa namun menyakiti hati tetangga dan
sebagainya. Bagaimana puasanya akan diterima Allah
Ta’ala? Percuma berpuasa kalau diwarnai dengan maksiat kepada Allah
Ta’ala.
Karena itu Rasulullah juga bersabda:
رب صائم حظه من صيامه الجوع والعطش
“Berapa banyak orang berpuasa yang tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali hanya menahan lapar dan dahaga saja,” (HR Ibnu Majah).
Terkadang ketika berpuasa, seseorang lebih banyak menggunakan waktu
untuk hal-hal yang tidak ada manfaatnya. Ngabu burit kemana-mana, pergi
ke mall, memikirkan berbagai masakan apa yang akan disajikan untuk
berbuka dan sahur dan lain sebagainya. Lebih baik membaca al-Qur’an,
membaca buku yang bermanfaat dan lain sebagainya.
2. Shalat Tarawih.
عنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا
غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ. رواه البخاري ومسلم
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu,
“Sesungguhnya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
‘Barang siapa yang qiyamulail di bulan Ramadlan karena iman dan berharap pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu,” (HR Bukhari dan muslim).
Lihat sejarah shalat tarawih Rasulullah. Beliau shalat tarawih
berjama’ah hanya 3 malam saja, setelah itu Rasulullah meninggalkannya
karena takut dianggap wajib oleh umatnya. Aisyah
radhiallahu ‘anha menceritakan:
صَلَّى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ
لَيْلَةً فِي شَهْرِ رَمَضَانَ فِي الْمَسْجِدِ وَمَعَهُ نَاسٌ، ثُمَّ
صَلَّى الثَّانِيَةَ فَاجْتَمَعَ تِلْكَ اللَّيْلَةَ أَكْثَرَ مِنَ
الْأُوْلَى، فَلَمَّا كَانَتِ الثَّالِثَةَ أَوْ الرَّابِعَةَ امْتَلَأَ
الْمَسْجِدُ حَتَّى غَصَّ بِأَهْلِهِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ، فَجَعَلَ
النَّاسُ يُنَادُوْنَهُ الصَّلَاةَ. فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ عُمَرُ بْنُ
الْخَطَّابِ: مَا زَالَ النَّاسُ يَنْتَظِرُوْنَكَ الْبَارِحَةَ يَا
رَسُوْلَ الله،ِ قَالَ: أَمَا أَنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَيَّ أَمْرُهُمْ
وَلَكِنِّيْ خَشِيْتُ أَنْ يُكْتَبَ عَلَيْهِمْ.
“Suatu malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat
di bulan Ramadlan di masjid bersama beberapa orang. Di malam kedua
beliau kembali shalat, dan orang-orang yang ikut shalat lebih banyak
dari malam pertama. Ketika di malam ketiga atau keempat, masjid menjadi
penuh sampai-sampai beliau masuk ke dalam rumahnya dan tidak keluar.
Maka orang-orang memanggil beliau, “Shalat !” Di pagi harinya, Umar bin
Al Khathab berkata: “Tadi malam orang-orang menunggumu wahai
Rasulullah.” Beliau bersabda:
“Perbuatan mereka tidak tersembunyi bagiku, akan tetapi aku khawatir (shalat tarawih) di wajibkan atas mereka.”
Dalam hadits Abu Dzar disebutkan bahwa Rasulullah shalat tarawih pada 3 malam, yaitu malam 23, 25 dan 27.
وعن أَبي ذَرٍّ – رضي الله عنه – قال : صُمْنَا مَعَ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يُصَلِّ بِنَا حَتَّى
بَقِيَ سَبْعٌ مِنْ الشَّهْرِ، فَقَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ ثُلُثُ
اللَّيْلِ، ثُمَّ لَمْ يَقُمْ بِنَا فِي السَّادِسَةِ، وَقَامَ بِنَا فِي
الْخَامِسَةِ حَتَّى ذَهَبَ شَطْرُ اللَّيْلِ. فَقُلْنَا لَهُ: يَا رَسُولَ
اللَّهِ لَوْ نَفَّلْتَنَا بَقِيَّةَ لَيْلَتِنَا هَذِهِ، فَقَالَ:
إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ
لَيْلَةٍ. ثُمَّ لَمْ يُصَلِّ بِنَا حَتَّى بَقِيَ ثَلَاثٌ مِنْ
الشَّهْرِ وَصَلَّى بِنَا فِي الثَّالِثَةِ وَدَعَا أَهْلَهُ وَنِسَاءَهُ
فَقَامَ بِنَا حَتَّى تَخَوَّفْنَا الْفَلَاحَ قُلْتُ لَهُ وَمَا
الْفَلَاحُ قَالَ السُّحُورُ. (رواه أحمد والنسائي والترمذي وقال حديث حسن
صحيح، كما صححه ابن حبان وغيره)
“Kami berpuasa bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
beliau tidak sholat malam (berjama’ah) dengan kami sampai tersisa tujuh
hari dari bulan Ramadlan. Maka beliau qiyam (pada malam 23) bersama kami
hingga lewat sepertiga malam. Kemudian beliau tidak qiyam dengan kami
pada enam hari tersisa, dan kembali qiyam dengan kami pada lima hari
tersisa (malam 25) hingga lewat tengah malam. Lalu kami berkata: “Wahai
Rasulullah, bagaimana jika sisa malam ini kita gunakan untuk shalat
sunnah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Barang siapa yang sholat bersama imam sampai selesai, maka dituliskan untuknya shalat semalam suntuk”.
Kemudian beliau tidak qiyam bersama kami sampai tersisa tiga hari
bulan Ramadlan, beliau memanggil istri-istrinya dan keluarganya, beliau
pun qiyam dengan kami (di malam 27) hingga kami khawatir tidak sempat
melakukan al falah. Aku berkata: “Apa itu al Falah ?” ia berkata:
“Sahur”. (HR. Ahmad, An Nasa’i, At Tirmidzi. At Tirmidzi berkata:
“Hadits hasan shahih.” Sebagaimana dishahihkan Ibnu Hibban dan lainnya).
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan qiyam
Ramadlan secara berjama’ah hanya tiga malam saja karena beliau khawatir
di wajibkan atas umatnya. Namun setelah wafat, tidak mungkin lagi wahyu
turun dan tidak mungkin diwajibkan. Oleh karena itu, pada zaman Khalifah
Umar bin Khattab ketika beliau melihat para sahabat yang shalat tarawih
masing-masing, akhirnya beliau berfikir agar dilaksanakannya kembali
qiyam Ramadlan dengan satu imam seperti pada masa Rasulullah.
Jumlah Raka’at Qiyamullail/Tarawih
Disunnahkan tidak melebihi sebelas raka’at, karena itu yang dipilih oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam untuk dirinya dan yang paling utama, sebagaimana dalam hadits Aisyah
radhiallahu ‘anha:
مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ ركعة
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah lebih dari sebelas raka’at baik di bulan Ramadlan maupun di bulan selain Ramadhan……..” (HR Bukhari dan Muslim).
Namun apakah boleh melebihi sebelas raka’at? Ini menjadi perselisihan
di antara para ulama’. Mayoritas ulama salaf dan pendapat imam yang
empat mengatakan bahwa shalat tarawih boleh lebih dari sebelas raka’at
berdasarkan hadits:
صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى ، فَإِذَا خَشِىَ أَحَدُكُمُ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى
“Shalat malam itu dua raka’at dua raka’at, apabila salah seorang
darimu khawatir masuk shubuh, hendaklah ia shalat satu raka’at witir
sebagai pengganjil shalatnya,” (HR Bukhari dan Muslim).
Hadits ini mutlak tidak memberikan batasan jumlah, adapun hadits
Aisyah di atas tidak dapat mengkhususkan keumuman hadits ini karena
beberapa alasan:
- Hadits ‘Aisyah itu menceritakan tentang perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan perbuatan tidak bisa mengkhususkan perkataan.
- Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memerintahkan agar
shalat malam hanya sebelas raka’at saja, namun sebatas perbuatan beliau.
Sedangkan semata-mata perbuatan hanya menghasilkan hukum sunnah.
- Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak melarang melebihi sebelas raka’at.
Pendapat yang penulis pilih adalah pendapat mayoritas ulama yang
membolehkan lebih dari sebelas raka’at, tapi yang paling utama adalah
sebelas raka’at. Karena itulah yang dipilih oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam.
Kemudian bagaimana dengan para perempuan, bolehkan mereka shalat
tarawih di masjid? Mereka boleh shalat dimasjid, dan kalaupun mereka
shalat tarawih di rumah itu adalah lebih utama.
3. Tadarus al-Qur’an
Ketahuilah, pada bulan Ramadhan ini sangat dianjurkan untuk
memperbanyak membaca al-Qur’an. Karena para ulama’ menyebut bulan
Ramadhan dengan bulan al-Qur’an. Dahulu Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam di setiap bulan Ramadlan tadarus al-Qur’an bersama malaikat Jibril
‘alaihissalam. Ibnu Abbas
radhiallahu ‘anuhma berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَجْوَدَ النَّاسِ وَكَانَ أَجْوَدَ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِينَ
يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ وَكَانَ جِبْرِيلُ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ
شَهْرِ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling
dermawan, dan beliau bertambah kedermawanannya di bulan Ramadhan ketika
bertemu dengan malaikat Jibril, dan Jibril menemui beliau di setiap
malam bulan Ramadlan untuk mudarosah (mempelajari) Al Qur’an,” (HR Al
Bukhari).
Tadarus al-Qur’an ini sangat dianjurkan pada bulan Ramadhan.
Karenanya kita harus mempunyai target untuk mengkhatamkan al-Qur’an
dalam bulan ini. Bahkan Imam Malik
rahimahullahu meliburkan kajian haditsnya di bulan ini, kemudian disebutkan bahwa Imam Syafi’i mengkhatamkan al-Qur’an satu hari sekali.
4. Memperbanyak Shadaqah
Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhuma berkata: “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam adalah orang yang paling dermawan, dan beliau bertambah
kedermawanannya di bulan Ramadhan ketika bertemu dengan malaikat
Jibril…,” (HR Al-Bukhari).
Ibnu Rajab mengatakan terkait dengan bertambah dermawanannya Rasulullah di bulan ramadhan:
- Karena bertepatan dengan waktu yang mulia, sedangkan infaq jika
bertepatan dengan waktu yang mulia maka pahalanya berlipat ganda.
- Karena membantu orang-orang yang berpuasa. Terkadang orang berpuasa
itu lemah dalam mencari nafkah. Sehingga dengan bershadaqah kita bisa
membantu mereka.
- Bahwa penggabungan antara puasa dan shadaqah adalah sebab dimasukkannya seseorang ke dalam surga.
إنَّ فِي الْجَنَّةِ غُرَفًا تُرَى ظُهُورُهَا مِنْ
بُطُونِهَا وَبُطُونُهَا مِنْ ظُهُورِهَا فَقَامَ أَعْرَابِيٌّ فَقَالَ
لِمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لِمَنْ أَطَابَ الْكَلَامَ
وَأَطْعَمَ الطَّعَامَ وَأَدَامَ الصِّيَامَ وَصَلَّى لِلَّهِ بِاللَّيْلِ
وَالنَّاسُ نِيَام
“Sesungguhnya di dalam surga terdapat kamar-kamar yang luarnya
terlihat dari dalamnya, dan dalamnya terlihat dari luarnya.” Seorang
arab badui berdiri dan berkata: “Untuk siapa wahai Rasulullah?”
Rasulullah bersabda: “Untuk orang yang memperbagus perkataannya, memberi
makan, senantiasa berpuasa, dan shalat malam karena Allah, sementara
manusia sedang terlelap tidur.” (HR At Tirmidzi).
5. Menyegerakan berbuka puasa.
Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan umatnya agar
menyegerakan berbuka puasa, bahkan menjadikannya sebagai tonggak
kebaikan umat islam. Beliau bersabda:
لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْر
“Manusia (umat islam) senantiasa baik selama mereka bersegera berbuka puasa.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Yang dimaksud dengan bersegera berbuka puasa adalah bersegera berbuka
ketika matahari telah terbenam walaupun langit masih terlihat terang.
Memperhatikan adab-adab berbuka puasa
Di antara adab-adab berbuka puasa yang hendaknya diperhatikan oleh setiap orang yang berbuka puasa adalah:
- Berbuka dengan ruthab sebelum shalat maghrib.
Berdasarkan hadits Anas
radliyallahu ‘anhu, ia berkata:
أنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يُفْطِرُ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّىَ عَلَى رُطَبَاتٍ
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berbuka dengan beberapa ruthab sebelum shalat (maghrib).” (HR. Abu Dawud dan lainnya)
Karenanya kita mengingatkan kepada kaum muslimin hendaknya ketika
berbuka jangan langsung makan besar, tentunya ini tidak sesuai dengan
petunjuk Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam. Bagusnya kita berbuka
dahulu dengan kurma lalu pergi ke masjid untuk shalat berjama’ah,
kemudian bila ingin melanjutkan makan, lakukan setelah shalat maghrib
agar tidak terluput dari keutamaan besar shalat berjama’ah di masjid.
- Berbuka dengan ruthab, bila tidak ada maka dengan kurma, bila tidak ada maka dengan air.
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُفْطِرُ عَلَى
رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّىَ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَعَلَى
تَمَرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berbuka dengan ruthab (kurma
basah) sebelum shalat (maghrib), bila ruthab tidak ada beliau berbuka
dengan tamr (kurma kering), bila tidak ada juga beliau berbuka dengan
air yang manis.” (HR. Abu Dawud dan lainnya)
- Membaca do’a setelah berbuka puasa.
Do’a yang shahih adalah hadits ibnu Umar
radhiallahu ‘anhuma:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا أَفْطَرَ
قَال ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ
شَاءَ اللَّهُ
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam apabila telah berbuka, beliau mengucapkan: ‘
Telah hilang dahaga, dan telah basah tenggorokan, dan telah tetap pahala insya Allah’.” (HR. Abu Dawud dan lainnya).
Adapun do’a yang terkenal di negeri kita, yaitu:
اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَي رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
“Ya Allah aku berpuasa karenaMu, aku beriman kepadaMu, dan aku
berbuka dengan rizkiMu, dengan rahmatMu wahai Dzat yang Maha kasih
sayang.”
Ini adalah lafadz yang dibuat-buat dan tidak ada asalnya. Memang ada riwayat yang menyebutkannya, namun tidak ada tambahan “
wabika aamantu.” Juga tidak ada “
birohmatika yaa arhamarrahimin.” Yaitu hadits:
عَنْ مُعَاذِ بْنِ زُهْرَةَ : أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ
النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ : اللَّهُمَّ
لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ
“Dari Mu’adz bin Zahroh sampai kepadanya bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam apabila berbuka mengucapkan:
Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika afthartu (Ya Allah aku berpuasa karenaMu, dan aku berbuka dengan rizkiMu)”
Hadits ini dikeluarkan oleh Abu dawud dan lainnya, semuanya dari
jalan Hushain bin Abdurrahman dari Mu’adz bin Zahroh. Hadits ini lemah,
karena dalam sanadnya mempunyai dua cacat:
Pertama: Mursal, karena Mu’adz bin Zahroh bukan sahabat.
Kedua: Mu’adz bin Zahroh ini majhul, tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali Hushain, sehingga tidak bisa dijadikan dalil.
6. Memberi makan untuk orang yang berbuka puasa
Memberi makan orang yang berbuka puasa adalah ibadah yang agung, sebagaimana dalam hadits:
مَنْ فَطَّرَ صَائِماً ، كَانَ لَهُ مِثْلُ أجْرِهِ ، غَيْرَ أنَّهُ لاَ يُنْقَصُ مِنْ أجْرِ الصَّائِمِ شَيْءٌ
“Barang siapa yang memberi makan untuk berbuka orang yang
berpuasa, maka ia mendapat seperti pahalanya, akan tetapi pahala orang
yang berpuasa tidak berkurang sedikitpun.” (HR. At Tirmidzi, ibnu Majah, Ahmad dan lainnya)
7. Mengakhirkan Sahur
Sesungguhnya sahur adalah sunnah yang sangat ditekankan, berpahala besar dan ia mempunyai beberapa keutamaan, yaitu:
Pertama: Sahur adalah makanan yang berkah, Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِى السُّحُورِ بَرَكَة
“Bersahurlah karena sesungguhnya dalam sahur itu terdapat keberkahan.” (HR. Muslim)
Dalam hadits lain Nabi
shallallahu ‘alahi wasallam bersabda:
الْبَرَكَةُ فِي ثَلَاثَةٍ: فِي الْجَمَاعَةِ، وَالثَّرِيدِ ، وَالسَّحُور
“Keberkahan ada pada tiga; berjama’ah, tsarid (roti yang dicampur dengan gule kambing) dan sahur.” (HR. Ath Thabrani)
Kedua: Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan para malaikatNya bershalawat kepada orang-orang yang bersahur, Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِينَ.
“Sesungguhnya Allah dan malaikatNya bershalawat atas orang-orang yang sahur.” (HR. Ath Thabrani dalam Al Mu’jamul Ausath)
Ketiga: Sebagai pembeda antara puasa kaum muslimin dan puasa ahlul kitab.
Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَر
“Pembeda antara puasa kita dengan puasa Ahlul Kitab adalah makan sahur.” (HR. Muslim)
Adab-adab sahur
Di sana ada beberapa adab yang hendaknya diperhatikan dalam bersahur, yaitu:
نِعْمَ سَحُورُ الْمُؤْمِنِ التَّمْر
“Sebaik-baik makanan sahur bagi seorang mukmin adalah kurma.” (HR. Abu Dawud dan lainnya)
Waktu sahur yang dilakukan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam tidak jauh dari waktu fajar, sebagaimana dalam hadits Anas dari Zaid bin Tsabit
radhiallahu ‘anhum berkata:
تَسَحَّرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ،
ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ قُلْتُ : كَمْ كَانَ بَيْنَ الأَذَانِ
وَبَيْنَ السُّحُورِ؟ قَالَ : قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةً.
“Kami pernah sahur bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
kemudian beliau berdiri untuk shalat subuh”. Anas berkata: “Berapa
jarak waktu antara adzan dan sahur?” Zaid menjawab: “Sekitar membaca 50
ayat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Namun di zaman ini kita melihat penyimpangan dari sunnah dalam
bersahur, kita melihat mereka bersahur sekitar jam satu atau jam dua
malam. Tentunya hal ini tidak sesuai dengan petunjuk Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat serta para ulama setelahnya.
Hukum imsak
Ditambah lagi dengan perkara baru, yaitu yang disebut dengan imsak,
dengan melarang makan dan minum sekitar 10 menit sebelum fajar dengan
alasan kehati-hatian. Padahal bila kita perhatikan, pengadaan imsak ini
bertentangan dengan dalil al-Qur’an maupun hadits, kaidah ushul fiqih
dan apa yang difatwakan oleh para ulama.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلاَ يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِىَ حَاجَتَهُ مِنْه
“Apabila salah seorang dari kamu mendengar adzan sementara gelas
masih ada di tangannya, janganlah ia meletakkannya sampai ia
menyelesaikan hajatnya.”
Hadits ini mengecualikan keumuman ayat dalam surat Al Baqarah: 187 yang artinya: “
Makan dan minumlah sampai menjadi jelas bagimu benang putih dari benang hitam dari fajar.”
Kaidah ushul fiqih juga berkata:
الأصل بقاء ما كان على ما كان
“Pada asalnya sesuatu itu tetap pada asalnya terdahulu.”
Jadi, ketika seseorang ragu apakah telah masuk fajar atau belum, lalu
ia makan dan ternyata fajar telah masuk, maka tidak batal puasanya,
karena pada asalnya malam masih ada sampai ada bukti yang kuat yang
menunjukkan bahwa fajar telah menyingsing.
Al Hafidz ibnu Hajar Al ‘Asqalani rahimahullah berkata:
“Termasuk
bid’ah yang mungkar adalah yang terjadi di zaman ini, yaitu
mengumandangkan adzan kedua sebelum fajar menyingsing sekitar sepertiga
jam, dan mematikan lampu-lampu untuk dijadikan tanda haramnya makan dan
minum bagi orang yang ingin berpuasa. Mereka lakukan itu dengan alasan
kehati-hatian dalam ibadah.”
Yang terjadi di zaman Al Hafidz tersebut serupa dengan pengadaan
imsak di zaman ini, karena sama-sama beralasan kehati-hatian dalam
ibadah. Memang, kehati-hatian dalam beribadah adalah terpuji selama
tidak terjerat dalam was-was dan menyelisihi sunnah.
8. Melaksanakan Umrah
Umrah di bulan Ramadlan mempunyai keistimewaan lebih dibandingkan
dengan umroh di bulan lainnya. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan
dalam shahihnya bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
فَإِنَّ عُمْرَةً فِي رَمَضَانَ تَقْضِي حَجَّةً مَعِيْ.
“Sesungguhnya umroh di bulan Ramadlan sama dengan haji bersamaku.”
Ini tentunya adalah kesempatan yang besar untuk meraih pahala yang
besar di sisi Allah, terutama bagi mereka yang diberikan keluasan harta
oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
9. I’tikaf.
I’tikaf adalah ibadah yang senantiasa dilakukan oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam terutama di sepuluh terakhir bulan Ramadlan, Abu Hurairah
radhiallahu ‘anhu berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَعْتَكِفُ فِى
كُلِّ رَمَضَانَ عَشْرَةَ أَيَّامٍ فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِى قُبِضَ
فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf pada setiap
bulan Ramadlan sepuluh hari. Ketika di tahun yang beliau meninggal
padanya beliau beri’tikaf dua puluh hari lamanya.” (HR. Bukhari)
Orang yang beri’tikaf hendaklah menjauhi dua perkara yang membatalkan
i’tikafnya, yaitu keluar dari masjid dengan tanpa udzur syar’i dan
berjima’ dengan istri. Dan hendaklah mereka yang beri’tikaf menyibukkan
dirinya dengan ketaatan seperti shalat, membaca al-Qur’an, istighfar,
dan sebagainya serta tidak dilalaikan dengan sesuatu yang sia-sia.
Apakah wanita diperbolehkan beri’tikaf? Boleh dengan syarat:
- mendapat izin dari suaminya
- berada ditempat yang tertutup, tidak bercampur baur dengan laki-laki.
- tidak melalaikan tugasnya sebagai ibu rumah tangga, anak-anak dan lainnya.
10. Membayar Zakat Fithr
Zakat fithr adalah kaffarat (penebus) bagi orang yang berpuasa dari
perbuatan sia-sia dan kata-kata yang tidak baik ketika ia berpuasa, Ibnu
Abbas
radhiallahu ‘anhuma berkata:
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَكَاةَ
الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً
لِلْمَسَاكِين
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mewajibkan zakat fithr
sebagai pensuci bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia dan
kata-kata yang tidak baik, dan sebagai makanan untuk orang-orang
miskin.” (HR. Abu dawud dan lainnya)
Ia diwajibkan atas setiap kaum muslimin (hamba sahaya dan merdeka,
laki-laki dan wanita, anak kecil dan dewasa) sebanyak satu sha’. Waktu
memberikan zakat fithr yang paling cepat adalah 2 hari sebelum shalat
Idul Fithri, dan yang paling utama adalah sebelum kita berangkat untuk
shalat Idul Fithri.
11. Memperbanyak berdo’a dan dzikir.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwa do’a orang yang berpuasa itu dikabulkan, beliau bersabda:
ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ: دَعْوَةُ الصَّائِمِ، وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ، وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ
“Ada tiga do’a yang diijabah: do’a orang yang berpuasa, do’a musafir dan do’a orang yang dizalimi.” (HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman)
Ini adalah kesempatan yang baik agar do’a kita diijabah oleh Allah S
ubhanahu wa Ta’ala,
maka hendaklah seorang yang berpuasa banyak disibukkan dengan berdo’a
kepada Allah dan juga berdzikir, agar lisan kita selamat dari perbuatan
yang sia-sia dan kata-kata yang tidak baik.
Ada beberapa amalan yang dianggap sunnah, padahal bukan termasuk sunnah, diantaranya adalah:
- Bermaaf-maafan sebelum ramadhan, padahal meminta maaf itu kalau kita punya salah dengan orang lain.
- b. Sebelum ramadhan ramai-ramai berziarah kubur dan
menganggap perbuatan ini adalah sunnah, padahal tidak ada dasarnya dalam
sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
- Bersama-sama membaca niat puasa untuk esok hari setelah shalat
tarawih. Karena pelafazan niat tidak ada petunjuknya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, para sahabat maupun para ulama’ salafusshalih.
Wallahu Ta’ala a’lam.