Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya):
Agama adalah nasehat! Kamipun (para sahabat) bertanya: (Nasehat) untuk /
bagi siapa ya Rasulallah? Beliau menjawab: (Nasehat) untuk (beriman
kepada) Allah, kitab-Nya, dan Rasul-Nya, serta juga (nasehat) bagi para
pemimpin muslimin serta seluruh ummat Islam (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Nasehat menasehati, dengan demikian, adalah salah satu syarat dan
pilar utama bagi eksis, terlaksana, dan tegaknya ajaran agama di dalam
kehidupan. Sekaligus, ia juga merupakan salah satu faktor penentu utama
bagi “hidup” dan “mati”-nya sebuah bangsa, masyarakat dan komunitas.
Sehingga, jika sunnah dan budaya saling menasehati ini hidup di
tengah-tengah masyarakat atau komunitas, maka berarti masyarakat atau
komunitas itu “hidup”. Dan sebaliknya, bila budaya tersebut mati,
berarti masyarakat atau komunitaspun telah “mati”.
Selanjutnya, sebesar apa kesiapan seseorang dalam menyambut, menerima dan merespons positif setiap nasehat baik, seperti itulah
kadar kebesaran jiwa dan tingkat ketinggian imannya ditentukan. Begitu
juga seistiqamah apa ia dalam semangat berbagi nasehat dan komitmen
menghidupkan budaya saling menasehati, sebesar dan setinggi itu pulalah
keistiqamahan iman dan islamnya dibuktikan.
Namun dalam praktek, aplikasi dan implementasinya di lapangan
kehidupan riil, masalah nasehat menasehati dan dinasehati ini tidaklah
segampang dan sesederhana teorinya. Banyak hal dan faktor yang bisa
memelencengkan pelaksanaan syariah agung ini dari relnya, atau
mengeluarkannya dari bingkai syar’inya. Sebagaimana tak sedikit pula
faktor dan kondisi yang bisa
mempengaruhi seseorang sampai membuatnya begitu sulit untuk menerima
nasehat baik dan positif dari pemberi dan penyampainya.
Maka, berikut ini diringkaskan butir-butir nasehat pengingat,
dimana sebagiannya tertuju kepada para pemberi dan penyampai nasehat.
Sedangkan sebagian yang lain lagi terarahkan untuk pihak obyek penerima nasehat. Semoga manfaat.
10 NASEHAT UNTUK PEMBERI NASEHAT
1. Pahamilah benar bahwa, nasehat menasehati adalah bagian utama dari syariah Islam, yang tentu saja – seperti syariah-syariah Islam yang lain – memiliki syarat, rukun, aturan, kaedah, rambu-rambu, dan semacamnya, yang harus
dijaga, diikuti dan ditaati. Sehingga janganlah pernah berfikir dan
bersikap asal menasehati begitu saja. Karena di dalam syariah Islam
tidak ada yang serba asal atau apalagi asal-asalan! Begitu pula janganlah berprinsip atau berdalil dengan sekadar “pokoknya”!
2. Selain kaidah dan rambu-rambu, aspek efektif tidaknya sebuah
nasehat bagi tercapainya tujuan dan target darinya, yakni perubahan dan
perbaikan, wajib pula menjadi fokus perhatian dan pertimbangan utama.
Dan faktor siapa yang menasehati, siapa yang dinasehati,
dalam kondisi dan situasi serta dengan cara dan sarana apa nasehat
diberikan, semua itu sangat mempengaruhi dan menentukan hasil, pengaruh
dan dampak dari setiap nasehat yang diberikan.
Dimana jika sebagian saja diantara faktor-faktor tersebut terabaikan,
maka akibatnya nasehat justru menjadi kontra produktif, apalagi jika
semuanya.
3. Perhatikan, hati-hati dan waspadalah, jangan sampai ajaran nasehat menasehati yang suci,
mulia, agung dan sekaligus indah, justru berbalik menjadi ajang ghibah,
namimah dan bahkan fitnah, atau sebagai media hujatan, olok-olokan,
perendahan, pencari-carian dan pembeberan kesalahan, dan lain-lain.
4. Jangan syaratkan bahwa, engkau sendirilah yang harus
secara langsung memberikan dan meyampaikan nasehat kepada obyek
ternasehati. Melainkan jadikanlah tujuan dan kepentingan utamamu adalah
tersampaikannya nasehat kepada yang bersangkutan dan efektif nasehat dalam memenuhi target perubahan dan perbaikan yang diharapkan, siapapun pemberi dan penyampainya. Karena seperti yang telah disebutkan di muka bahwa, salah satu faktor penting bagi efektifnya sebuah nasehat, adalah siapa yang menasehati dipadu dengan siapa yang dinasehati.
Dimana dituntut adanya kecocokan, kesesuaian dan ketepatan tertentu
antar keduanya. Misalnya A lebih cocok dan lebih sesuai jika dinasehati
oleh D atau E, dan bukan oleh B ataupun C. Begitu pula F misalnya yang justru lebih tepat jika penasehatnya adalah X, Y atau Z, dan bukan G, H, I ataupun yang lainnya lagi. Demikian seterusnya.
5. Berikanlah nasehat dengan ikhlas, jujur dan benar-benar tulus ingin agar yang dinasehati menyambut dan menerimanya dengan baik, serta bagaimana nasehat bisa memenuhi sasarannya dalam mewujudkan perubahan yang diinginkan. Dan jangan sekali-kali menyampaikan nasehat dengan motivasi sekadar pelampiasan atau pemuasan diri!
6. Nasehatilah orang lain dengan bahasa dan cara yang dengannya engkau yakin atau harap bahwa, ia akan menyambut, menerima dan meresponsnya secara baik dan positif.
7. Janganlah menasehati orang dengan bahasa dan cara yang dengannya engkau sendiri yakin atau menduga kuat bahwa, ia justru akan menolaknya atau enggan menerimanya.
8. Janganlah menasehati dan mengingatkan orang
dengan bahasa dan cara, dimana engkau sendiri tidak suka dan tidak ingin
andai dinasehati dan diingatkan dengan bahasa dan cara serupa. Jadi
setiap kali hendak menasehati dan mengingatkan orang lain, asumsikan bahwa, engkaulah yang berada di posisinya sebagai obyek penerima nasehat dan ia berada di posisimu menjadi subyek pemberi nasehat. Lalu bayangkanlah bentuk dan cara nasehat seperti apa yang engkau ingini, sukai dan harapkan darinya?
9. Niatkanlah setiap nasehatmu adalah tertuju pertama
kali kepada dirimu sendiri sebelum orang lain. Hal itu didorong dan
didasari oleh kesadaran yang baik bahwa, engkau tetaplah orang yang lebih membutuhkan nasehatmu sendiri daripada orang yang engkau nasehati. Disamping karena sikap seperti itu
akan menjadi salah satu faktor penentu, pengarah dan pengontrol
penting, dalam bentuk dan dengan cara apa nasehat sebaiknya engkau
berikan dan sampaikan.
10. Berbaik sangkalah selalu terhadap setiap obyek penerima nasehat, siapapun orangnya dan apapun respons yang ditunjukkannya.
Kalaupun tampak olehmu bahwa, ia bersikap menolak atau enggan menerima,
maka katakanlah dalam hati: boleh jadi ia justru sedang berfikir keras
sambil menata dan mempersiapkan hati, bagaimana cara mengikuti nasehat yang diterimanya
itu. Hanya saja ia malu mengatakannya. Maka penting pula diingatkan
disini, agar jangan pernah seorang pemberi nasehat mensyaratkan
nasehatnya harus diterima, diikuti dan dilaksanakan secara serta merta
atau seketika itu juga. Karena hal itu justru tidak sesuai kaedah. Sebab
umumnya orang butuh waktu untuk bisa menangkap, mencerna, memahami,
lalu melaksanakan secara bertahap setiap nasehat pengingat yang diterimanya.
10 NASEHAT UNTUK PENERIMA NASEHAT
1. Yakinkan diri bahwa, engkau adalah makhluk lemah yang banyak lupa dan salah. Sehingga karenanya, senantiasa membutuhkan nasehat pengingat dari orang lain, siapapun dia, dan apapun status serta kapasitas orang lain itu.
2. Husnudzanlah kepada setiap pemberi nasehat, siapapun dia dan apapun caranya, bahwa, ia adalah sosok yang “dikirim” oleh Allah kepadamu, demi kebaikan dan kemaslatan dirimu. Sebagaimana Allah seringkali mengirimkan berbagai bentuk ujian, cobaan, musibah, bencana dan semacamnya, agar hamba-hamba-Nya yang disayangi-Nya mau segera sadar, kembali dan memperbaiki diri.
3. Latih, biasakan dan sabarkan diri agar bisa menerima setiap
nasehat baik, dari siapapun dan dengan cara apapun ia disampaikan,
termasuk dengan cara yang paling tidak mengenakkan sekalipun.
4. Jangan pilih-pilih, jangan membatasi dan jangan mengurung diri dengan hanya mau menerima nasehat dari orang-orang yang engkau sukai dan ingini saja, jika tidak hendak merugi sendiri. Karena belum tentu orang yang engkau sukai dan ingini itu mau atau mampu menasehatimu, di saat yang engkau butuhkan dan harapkan.
5. Janganlah pernah mensyaratkan hanya mau menerima nasehat dari
orang-orang tertentu saja atau dengan cara-cara tertentu saja. Karena
umumnya masing-masing orang memiliki metode, cara dan gayanya sendiri
dalam menyampaikan nasehat.
6. Jangan pernah sekali-kali mensyaratkan hanya mau menerima nasehat pengingat dari orang yang sempurna tanpa cacat. Karena orang seperti itu tidak akan pernah engkau jumpai, di ujung dunia manapun. Itu berarti engkau tidak akan mendapatkan orang yang menasehatimu. Dan, ujung-ujungnya, engkau sendirilah yang akan merugi sendiri.
7. Janganlah melihat siapa yang menasehati. Tapi lihat dan perhatikanlah apa yang dinasehatkannya.
8. Biasakan dan istiqamahkan diri untuk senantiasa berbaik
sangka terhadap setiap pemberi nasehat, siapapun orangnya dan
bagaimanapun cara yang digunakannya. Sehingga saat ada yang menasehatimu dengan cara dan bahasa yang tidak
hikmah misalnya, maka katakanlah dalam hati: sebenarnya niatnya tulus
dan semangatnya baik serta terpuji, hanya saja mungkin karena belum tahu
sehingga salah dalam cara dan kata!
9. Jika ada yang menasehati dan mengingatkanmu dengan cara yang tidak bijak atau kurang hikmah, maka janganlah membalasnya dengan sikap yang tidak bijak dan kurang hikmah pula. Misalnya dengan menolak mentah-mentah nasehatnya, lalu balik menasehatinya dengan cara yang tidak
lebih bijak dan tidak lebih hikmah. Melainkan terima dan syukurilah
esensi nasehatnya, lalu nasehati dan ingatkanlah ia agar lebih baik,
lebih bijak dan lebih hikmah dalam memberikan serta menyampaikan nasehat
kepada siapapun.
10. Saat mendapatkan nasehat pengingat dari seseorang, jangalah
berfikir dan bertanya: apakah ia sendiri telah melaksanakan isi
nasehatnya itu. Disamping hal itu memang tidak disyaratkan, juga karena
sikap seperti itu biasanya akan menghalangi seseorang untuk bisa mengambil manfaat dari setiap nasehat kepadanya.
Oleh:Ustadz Ahmad Mudzoffar Jufri, MA
0 komentar:
Posting Komentar