Saudaraku..
Pagi itu, suasana begitu sejuk. Semilir angin sepoi-sepoi menyapa wajah. Ali bin Abi Thalib ra, khalifah kaum muslimin ke empat memanggil anaknya; Hasan ra lalu dengan penuh kasih sayang ia menasihati anaknya:
“Wahai anakku, intisari agama ini adalah berinteraksi dengan orang-orang yang bertakwa.Pagi itu, suasana begitu sejuk. Semilir angin sepoi-sepoi menyapa wajah. Ali bin Abi Thalib ra, khalifah kaum muslimin ke empat memanggil anaknya; Hasan ra lalu dengan penuh kasih sayang ia menasihati anaknya:
Kesempurnaan ikhlas dib
uktikan dengan menjauhi semua perkara yang diharamkan-Nya.
Sebaik-baiknya ucapan, adalah ucapan yang diiringi dengan perilaku (keteladanan).
Terimalah orang yang mengajukan uzur (alasan) kepadamu.
Maafkan orang yang meminta maaf kepadamu.
Taatilah saudaramu (dalam ketaatan), meskipun ia sering bermaksiat kepadamu.
Dan hubungkan tali silaturahim dengannya, walaupun ia sering memutuskan tali persaudaraan denganmu.”
(Mawa’izh as shahabah, Shalih Ahmad al Syami).
Saudaraku…
Nasihat Ali bin Thalib ra kepada Hasan puteranya, menjadi pelajaran berharga bagi kita para orang tua dalam mendidik anak-anak kita.
• Anak-anak adalah tali cinta. Kebahagiaan sebuah keluarga akan semakin membuncah dengan kehadiran sang buah hati. Tak jarang sebuah keluarga dilanda kebosanan, kapal cinta menjadi oleng lantaran pujaan hati yang didamba tak kunjung hadir meramaikan dan menyerikan biduk keluarga. Sebagai tanda syukur atas karunia besar ini, kita berkewajiban merawat amanah Allah swt ini dan mendidiknya dengan nilai pendidikan yang Dia kehendaki.
• Nilai nasihat akan masuk ke dalam hati, jika ia memantul dari hati. Disampaikan dengan hati-hati. Memancar dari kelembutan hati dan cinta. Sebaliknya, nilai pengajaran akan membuat anak menjadi kurang ajar, jika disampaikan dengan kata-kata yang tak sabar. Memantul dari wajah yang kasar. Sebaik dan sebenar apapun nasihat itu.
• Kisah ini memberikan keteladanan bagi kita, demikianlah seharusnya hubungan orang tua dengan anaknya. Ada kedekatan di sana. Ada keakraban. Ada hubungan emosional. Ada sapaan kasih. Ada teguran cinta. Walau sesibuk dan sepadat apapun aktifitas rutin keseharian kita.
• Orang yang memahami dien dengan baik, tampak dari kedekatan dan interaksinya dengan orang lain. Orang yang menjadikan orang-orang dekatnya dan teman pergaulannya adalah orang shalih dan bertakwa, maka ia termasuk golongan mereka. Begitupun sebaliknya, sulit kita mempercayai kwalitas agama seseorang, jika teman pergaulannya adalah orang-orang yang memiliki masalah mental dan buruk perangainya.
• Membentengi diri kita, keluarga dan generasi kita dari hal-hal yang diharamkan, merupakan bukti keikhlasan kita dalam mentaati rambu-rambu-Nya. Bagi orang tua, mendidik anak-anak untuk senantiasa menjaga nilai sebuah keikhlasan dalam beramal merupakan suatu kelaziman.
• Keteladanan merupakan syarat kedekatan dan kecintaan masyarakat kepada kita. Terlebih jika kita menjadi publik figur, ustadz, orang yang berkedudukan, orang tua apatah lagi sebagai pemimpin dalam masyarakat. Pandai merangkai kata-kata dan indah dalam bertutur kata, tanpa diimbangi dengan keteladanan, maka kita akan gagal meraih hati dan simpati mereka.
• Kebesaran hati tampak dari ‘salamatus shadr’; lapang dada. Dengan dada yang lapang, maka kita mudah menerima uzur, memaafkan kekhilafan, keteledoran dan kesalahan orang lain. Orang yang melihat dunia-nya sempit, pengap dan gelap, berarti ia tidak memiliki kelapangan dada. Sejatinya, kitalah yang dapat menciptakan dunia dalam hidup kita. Kita ingin dunia kita menjadi luas atau sempit.
• Ukhuwah (persaudaraan iman) yang tulus suci, melahirkan kesetiaan yang abadi. Keringnya ukhuwah orang lain terhadap kita yang ditandai dengan kurangnya komunikasi dan sedikitnya kadar kunjungan. Atau terkadang kata-kata yang terucap dari bibirnya sering melukai perasaan kita. Sikapnya yang membuat ketenangan kita terusik. Dan yang senada dengan itu. Jika sudah demikian, kembalikan akar persoalan pada diri kita. Barangkali, kita kurang arif dan aktif dalam menyirami ladang ukhuwah kita dengan air iman, jarang kita taburi pupuk perhatian dan cinta. Dan seterusnya.
Saudaraku..
Sudahkah kita mendidik anak-anak kita dengan kelembutan hati dan cinta? Dan sudahkah kita tanamkan nilai-nilai luhur terhadap anak-anak kita, yang pernah ditanamkan Ali bin Abi Thalib ra terhadap anaknya Hasan?. Mari kita teladani kehidupan salafus shalih. Karena di sana ada keberuntungan dan kesuksesan. Wallahu a’lam bishawab.
Riyadh, 11 November 2012 M
Sumber:Status Ustadz Abu Ja’far
(http://www.facebook.com/profile.php?id=100000992948094)
Terimalah orang yang mengajukan uzur (alasan) kepadamu.
Maafkan orang yang meminta maaf kepadamu.
Taatilah saudaramu (dalam ketaatan), meskipun ia sering bermaksiat kepadamu.
Dan hubungkan tali silaturahim dengannya, walaupun ia sering memutuskan tali persaudaraan denganmu.”
(Mawa’izh as shahabah, Shalih Ahmad al Syami).
Saudaraku…
Nasihat Ali bin Thalib ra kepada Hasan puteranya, menjadi pelajaran berharga bagi kita para orang tua dalam mendidik anak-anak kita.
• Anak-anak adalah tali cinta. Kebahagiaan sebuah keluarga akan semakin membuncah dengan kehadiran sang buah hati. Tak jarang sebuah keluarga dilanda kebosanan, kapal cinta menjadi oleng lantaran pujaan hati yang didamba tak kunjung hadir meramaikan dan menyerikan biduk keluarga. Sebagai tanda syukur atas karunia besar ini, kita berkewajiban merawat amanah Allah swt ini dan mendidiknya dengan nilai pendidikan yang Dia kehendaki.
• Nilai nasihat akan masuk ke dalam hati, jika ia memantul dari hati. Disampaikan dengan hati-hati. Memancar dari kelembutan hati dan cinta. Sebaliknya, nilai pengajaran akan membuat anak menjadi kurang ajar, jika disampaikan dengan kata-kata yang tak sabar. Memantul dari wajah yang kasar. Sebaik dan sebenar apapun nasihat itu.
• Kisah ini memberikan keteladanan bagi kita, demikianlah seharusnya hubungan orang tua dengan anaknya. Ada kedekatan di sana. Ada keakraban. Ada hubungan emosional. Ada sapaan kasih. Ada teguran cinta. Walau sesibuk dan sepadat apapun aktifitas rutin keseharian kita.
• Orang yang memahami dien dengan baik, tampak dari kedekatan dan interaksinya dengan orang lain. Orang yang menjadikan orang-orang dekatnya dan teman pergaulannya adalah orang shalih dan bertakwa, maka ia termasuk golongan mereka. Begitupun sebaliknya, sulit kita mempercayai kwalitas agama seseorang, jika teman pergaulannya adalah orang-orang yang memiliki masalah mental dan buruk perangainya.
• Membentengi diri kita, keluarga dan generasi kita dari hal-hal yang diharamkan, merupakan bukti keikhlasan kita dalam mentaati rambu-rambu-Nya. Bagi orang tua, mendidik anak-anak untuk senantiasa menjaga nilai sebuah keikhlasan dalam beramal merupakan suatu kelaziman.
• Keteladanan merupakan syarat kedekatan dan kecintaan masyarakat kepada kita. Terlebih jika kita menjadi publik figur, ustadz, orang yang berkedudukan, orang tua apatah lagi sebagai pemimpin dalam masyarakat. Pandai merangkai kata-kata dan indah dalam bertutur kata, tanpa diimbangi dengan keteladanan, maka kita akan gagal meraih hati dan simpati mereka.
• Kebesaran hati tampak dari ‘salamatus shadr’; lapang dada. Dengan dada yang lapang, maka kita mudah menerima uzur, memaafkan kekhilafan, keteledoran dan kesalahan orang lain. Orang yang melihat dunia-nya sempit, pengap dan gelap, berarti ia tidak memiliki kelapangan dada. Sejatinya, kitalah yang dapat menciptakan dunia dalam hidup kita. Kita ingin dunia kita menjadi luas atau sempit.
• Ukhuwah (persaudaraan iman) yang tulus suci, melahirkan kesetiaan yang abadi. Keringnya ukhuwah orang lain terhadap kita yang ditandai dengan kurangnya komunikasi dan sedikitnya kadar kunjungan. Atau terkadang kata-kata yang terucap dari bibirnya sering melukai perasaan kita. Sikapnya yang membuat ketenangan kita terusik. Dan yang senada dengan itu. Jika sudah demikian, kembalikan akar persoalan pada diri kita. Barangkali, kita kurang arif dan aktif dalam menyirami ladang ukhuwah kita dengan air iman, jarang kita taburi pupuk perhatian dan cinta. Dan seterusnya.
Saudaraku..
Sudahkah kita mendidik anak-anak kita dengan kelembutan hati dan cinta? Dan sudahkah kita tanamkan nilai-nilai luhur terhadap anak-anak kita, yang pernah ditanamkan Ali bin Abi Thalib ra terhadap anaknya Hasan?. Mari kita teladani kehidupan salafus shalih. Karena di sana ada keberuntungan dan kesuksesan. Wallahu a’lam bishawab.
Riyadh, 11 November 2012 M
Sumber:Status Ustadz Abu Ja’far
(http://www.facebook.com/profile.php?id=100000992948094)
0 komentar:
Posting Komentar