“Inilah jalanku: aku dan orang-orang yang mengikutiku berdakwah kepada Allah dengan hujah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik” (Yusuf:108).

Selasa, 29 Mei 2012

LELAHNYA HIDUP MENYENDIRI (Sebuah bisikan lembut untuk para LAJANG)

Saudaraku..
Suatu senja, saat angin sepoi-sepoi menyapa wajah, ada seorang teman yang menyanyikan gending-gending hatinya. Ia berbicara dari relung hatinya yang paling dalam. Matanya berkaca-kaca menerawang jauh membelah zaman. Tetesan bening berjatuhan dari kelopak matanya yang sayu. Ia mengungkapkan angan-angannya perihal seorang dara manis tambatan hatinya, yang selalu memenuhi cakrawala pikirannya.
Hasrat dan dorongan alamiah untuk mempunyai teman hidup telah banyak menyita konsentrasinya. Terlebih usia yang semakin merambat naik. Daya serap terhadap suatu ilmu pengetahuan tidaklah setajam dulu. Konsentrasi dalam menjalani hidup seolah-olah hilang seiring dengan perginya musim dingin.
Shalat yang dilakukannya sangat jauh dari kata khusu’. Ketika membaca do’a iftitah, “Ya Allah, cucilah kesalahan-kesalahanku dengan air, salju dan es,” yang muncul justru bayangan puteri salju melambai-lambai menarik simpati. Demikianlah semakin lama, bacaan shalat pun semakin hilang dari nilai penghayatan.
Hidup menyendiri memang sangat melelahkan. Jiwa lunglai karena didera oleh perasaannya sendiri. “Kesendirian adalah kumpulan duka nestapa”, demikian Khalil Gibran menyindir para lajang.
Wajar, jika syekh Mustafa Siba’i menggambarkan, “Ibadahnya seorang lajang, pikirannya dipenuhi bayang-bayang setan. Sedangkan ibadah orang yang telah menikah, pikirannya dipenuhi dengan cinta Ar Rahman.”
Saudaraku..
Barangkali sahabat kita tadi hanya salah satu dari sekian banyak orang yang masih sendiri dalam meretasi perjalanan hidup di dunia ini. Sendiri tanpa seorang pendamping yang dapat membantunya semakin dekat kepada Allah Swt. Sendiri mengarungi samudera hari yang sepi sunyi. Tersiksa membendung gelombang syahwat biologis yang belum tersalurkan dalam ridha Ilahi Rabbi.
Orang yang masih sendiri (lajang), ia merasakan sepi dalam kesendiriannya. Dan sunyi dalam keramaian. Kepahitan memantul dari senyumnya. Berduka di balik canda tawanya.
Saat pulang kerja, tiada yang dilihatnya melainkan dinding dan tembok rumah yang mulai retak. Di sana sini terlihat pakaian kotor berserakan. Yang ada di langit-langit pikirannya hanyalah khayalan-khayalan semu belaka. Tidur pun bertemankan bantal guling dan lamunan. Terasa sulit mata untuk dipejamkan. Bertandang ke rumah teman dengan tujuan menghilangkan kepenatan. Bisikan-bisikan setan membangkitkan nafsu kemaksiatan. Kondisi semacam ini terus berulang tanpa ada kepastian dan perubahan. Terkecuali bila telah mengakhiri masa lajang dengan ikatan pernikahan. Yang akan menghantarkannya pada kehidupan yang penuh dengan keberkahan.
Saudaraku..
Apa yang menjadi alasan bagi seseorang yang bertahan hidup membujang? Sebagian orang terinspirasi lagu Koes Plus tempo dulu, “Memang enak jadi bujangan. Kesana kemari tiada yang melarang..”. Faktanya, malah banyak lajang yang kelimpungan menanggung beban. Beban mental dan beban yang di bawah pusar.
Ada yang beralasan belum mapan secara ekonomi. Padahal setelah nikah, seorang suami berkewajiban memberi nafkah bagi pasangannya; sandang, pangan, papan dan yang seirama dengan itu. Jika ini pemicunya, berarti ia belum membenarkan janji Allah Swt, “Jika mereka miskin, maka Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya.” An Nur: 32.
Dan ada pula yang berargument, belum mendapatkan gadis pilihan yang cocok dan sreg di hati. Bisa jadi kriteria calon pendamping hidup yang diminta terlalu tinggi, sehingga sulit ditemukan di alam realita. Misalnya, mendambakan seorang dokter yang hafal Qur’an dan berusia 17 tahun dan seterusnya. Atau barangkali menargetkan pendamping hidup yang sempurna tanpa cela. Sempurna baik dari sisi zahir dan bathin. Hal ini jelas tak akan dia dapatkan, hingga ajal menjemputnya.
Menempuh pendidikan tinggi. Mendaki puncak prestasi dan yang senada dengan itu, juga menjadi alasan seseorang menikmati masa lajang.
Padahal jika kita belajar dari era generasi terbaik; zaman sahabat, kita temukan satu fakta bahwa menggapai prestasi terbaik, mencapai kematangan pribadi dan kedewasan berpikir serta kelayakan menerima amanah, dimulai pasca pernikahan.
Usamah bin Zaid ra, di usia 18 tahun ia memimpin sebuah pasukan yang di dalamnya ada beberapa sahabat senior dari kalangan Muhajirin, semisal; Abu Bakar dan Umar. Saat itu ia sudah menikah dengan Fatimah binti Qais ra.
Zaid bin Tsabit ra, diberi kepercayaan oleh Nabi saw untuk menulis wahyu di usia belum mencapai 20 tahun, ia juga bukan berstatus lajang lagi.
Jabir bin Abdullah ra, di usia sangat muda ia telah mempersunting seorang janda. Dengan pertimbangan, istrinya bisa mengayomi adik-adiknya yang semuanya adalah perempuan. Prestasi Jabir sangat luar biasa di medan perjuangan dan Islam. Ia banyak meriwayatkan hadits. Demikian pula ia menjamu Rasul saw dan para sahabatnya di perang Khandaq, yang kurang lebih selama 3 hari mereka tak menemukan makanan sepotongpun.
Begitulah para sahabat Nabi saw, dengan segudang prestasi di hadapan Allah Swt dan manusia. Prestasi mengagumkan untuk dunia dan akherat, mereka raih setelah menggenapkan separuh dien-nya, yakni pernikahan. Di usia yang terbilang muda, kurang dari 25 tahun.
Saudaraku..
Kehidupan lajang ibarat seseorang yang hidup tanpa pakaian yang menutupi tubuhnya. Di musim dingin, bibirnya membiru melawan cuaca dingin yang menusuk tulang sumsum. Di musim panas, tubuhnya terbakar hangus lantaran tiada pakaian yang melindungi tubuhnya dari sengatan matahari. Allah Swt menggambarkan dalam al Qur’an, ”Mereka itu adalah pakaian bagimu dan kamupun pakaian bagi mereka.” Al Baqarah: 187.
Dunia lajang seperti petani miskin yang tak memiliki lahan, sawah dan ladang. Hidupnya bergantung kepada orang lain. Menggantungkan nasib pada si pemilik sawah dan ladang. Sungguh indah Allah Swt menggambarkan, “Istri-istrimu adalah seperti tanah tempat kamu bercocok tanam.” Al Baqarah: 223.
Oleh karena itu, para lajang hidupnya akrab dengan negeri rantau. Tidak betah menikmati hidup di kampung halaman sendiri. Bahkan di rumah sendiri pun, tidak betah berlama-lama tinggal di sana. Hal itu wajar, karena memang belum ada yang membuatnya betah tinggal di rumah dan tiada sosok lemah lembut yang mengkhawatirkannya masuk angin jika banyak keluar rumah.
Saudaraku..
Renungkanlah sabda Nabi saw ini, “Seburuk-buruknya manusia di antara kamu adalah orang yang hidup melajang.” H.R; Ahmad.
Oleh karena itulah generasi terbaik ummat ini sangat berhati-hati dan mewaspadai permasalahan ini.
Ibnu Abbas ra pernah berkata, ”Menikahlah kalian, karena satu hari bersama seorang istri, lebih baik dari pada shalat yang dikerjakan (orang yang belum menikah) selama satu tahun.”
Ibnu Mas’ud ra pernah berkata pada saat ia tertusuk pedang ketika perang sedang berkecamuk, ”Nikahkanlah aku, sebab aku merasa malu jika menghadap Allah Swt dalam keadaan membujang.” Ia juga pernah bertutur, “Sekiranya aku tahu bahwa sisa usiaku tinggal sepuluh hari lagi, maka aku segera akan menikah, agar aku tidak menghadap Allah dalam keadaan membujang.”
Muadz bin Jabal ra ketika kedua istirinya meninggal dunia karena menjalarnya wabah kolera, sementara ia mulai terjangkiti, maka ia berkata, “Nikahkanlah aku, karena aku khawatir akan mati, dan menghadap Allah dalam keadaan tidak beristri.”
Saudaraku..
Alangkah indahnya jika kita yang masih hidup menyendiri, merenungi pesan Syekh Mustafa Siba’i rahimahullah:
“Jangan engkau tunda mengakhiri masa lajangmu karena beratnya beban yang ditanggung.
Karena satu hari yang dilalui orang yang melajang, lebih berat daripada memikul bongkahan gunung yang besar.
Jangan engkau menunda pernikahanmu, karena banyaknya nafkah yang harus dikeluarkan.
Ketahuilah bahwa nafkah yang dikeluarkan orang yang menikah ibarat orang yang membiayai taburan benih di pematang sawah.
Sedangkan nafkah yang dikeluarkan oleh orang yang hidup menyendiri laksana menebar benih di lautan biru.”
Saudaraku..
Bagi anda yang masih hidup menyendiri, jujurlah pada hati nurani. Jangan biarkan luka di hatimu semakin menganga lebar tanpa ada yang membantumu membalut luka itu. Jangan biarkan awan mendung menggelapkan wajahmu. Sudah waktunya keceriaan hidup anda kecap, dalam indahnya pelangi pernikahan.
Bagi kita yang telah memiliki pendamping hidup, mari kita rawat dan jaga pakaian milik kita. Kita tanam benih kebaikan di sawah ladang milik kita. Sehingga kita dapat meraih hasil panen yang berlimpah ruah. Di dunia kini dan akherat sana. Amien.
Riyadh, 25 Mei 2012 M
Sumber:Status Ustadz Abu Ja’far
(http://www.facebook.com/profile.php?id=100000992948094)

0 komentar:

Posting Komentar