عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّة” – رواه مسلم
Dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Dan barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan jalan ke surga baginya”. (HR. Muslim).
Hadits ini menunjukkan keutamaan menuntut ilmu. Karena itulah, Allah SWT mengajarkan agar kita banyak berdoa untuk ditambahkan ilmu. “Dan katakanlah: ‘Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.” (QS. Thaha: 114).
Selaras dengan keutamaan menuntut ilmu, Allah SWT memberikan keutamaan kepada orang-orang yang berilmu. Allah SWT berfirman: “Katakanlah: ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui (berilmu) dengan orang-orang yang tidak mengetahui (tidak berilmu)?’ Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran” (QS. Az-Zumar: 9).
Allah SWT akan meninggikan derajat orang-orang yang berilmu. “Hai orang-orang beriman, apabila dikatakan kepadamu: ‘Berlapang-lapanglah dalam majlis’, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: ‘Berdirilah kamu’, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Az-Zumar: 11).
Bahkan, Allah SWT menyatakan bahwa orang-orang yang berilmu sajalah yang takut kepada-Nya. “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun” (QS. Fathir: 28).
Dalam perspektif Islam, ilmu memiliki keutamaan yang sangat besar. Berikut ini beberapa diantara keutamaannnya.
Pertama, ilmu merupakan asas dan syarat amal perbuatan. Karena itulah, terdapat kaidah yang sangat populer: “Ilmu sebelum perkataan dan amal perbuatan.” Bahkan untuk urusan tauhid yang merupakan inti agama, Allah SWT pun mendahuluinya dengan perintah “berilmu”. “Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, Tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan.” (QS. Muhammad: 19). Ini menunjukkan pentingnya ilmu sebagai landasan amal perbuatan.
Dalam berdakwah, ilmu juga menjadi asas dan syarat. Allah SWT berfirman, “Katakanlah: ‘Inilah jalan (agama) ku: aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata (berdasarkan ilmu yang jelas). Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik” (QS. Yusuf: 108). Demikianlah, dakwah mesti dilakukan diatas hujjah yang nyata, yaitu ilmu yang jelas. Ilmu juga sangat penting dalam kedudukannya sebagai asas dan syarat dalam berdakwah, karena berdakwah tanpa ilmu lebih banyak merusak daripada memperbaiki dan lebih banyak menghancurkan daripada membangun, serta lebih banyak menyesatkan daripada memberi petunjuk. Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: “Barang siapa mengajak kepada kebaikan, maka ia akan mendapat pahala sebanyak pahala yang diperoleh orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Sebaliknya, barang siapa mengajak kepada kesesatan (antara lain karena tanpa ilmu), maka ia akan mendapat dosa sebanyak yang diperoleh orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.” (HR. Muslim). Dan yang patut dipahami, sesungguhnya para da’i itu berdakwah (mengajak) kepada Islam. Jika para da’i tersebut tidak memahami Islam itu sendiri dengan ilmu yang benar, lalu apa yang mereka dakwahkan?
Disamping itu, ilmu merupakan keniscayaan dalam fatwa dan dakwah. Rasulullah saw telah mengingatkan besarnya bahaya berfatwa dan berdakwah tanpa ilmu, baik bahaya atas masyarakat maupun atas diri si pemberi fatwa atau si pendakwah sendiri.
Dalam sebuah hadits, diceritakan tentang seorang rahib yang berfatwa tanpa ilmu dan seorang alim yang berfatwa berdasarkan ilmu. Dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: “Pada jaman dahulu ada seorang laki-laki yang telah membunuh sembilan puluh sembilan orang. Kemudian orang tersebut mencari orang alim yang paling banyak ilmunya di muka bumi. Namun ia ditunjukan kepada seorang rahib (ahli ibadah yang tidak berilmu), dan ia pun langsung mendatanginya. Kepada rahib tersebut ia berterus terang bahwasanya ia telah membunuh sembilan puluh sembilan orang dan apakah taubatnya itu akan diterima? Ternyata rahib itu malahan menjawab; ‘Tidak. Taubatmu tidak akan diterima.’ Akhirnya laki-laki itu langsung membunuh sang rahib hingga genaplah kini seratus orang yang telah dibunuhnya. Kemudian laki-laki itu mencari orang lain lagi yang paling banyak ilmunya di muka bumi. Dan kali ini benar-benar ditunjukan kepadanya seorang alim yang mempunyai ilmu yang banyak. Kepada orang alim tersebut, laki-laki itu berkata bahwa, ia telah membunuh seratus orang dan apakah taubatnya akan diterima? Orang alim itupun menjawab; ‘Ya. Apa penghalang antara dia dan taubat? (maksudnya tidak ada penghalang itu). Namun (jika ingin taubat) pergilah ke daerah ini dan itu, karena di sana banyak orang orang yang beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Beribadahlah kamu kepada Allah bersama mereka, dan janganlah kamu kembali ke daerahmu, karena daerahmu itu termasuk lingkungan yang buruk.’ Maka berangkatlah laki-laki menuju daerah yang telah ditunjukan tersebut. Di tengah perjalanan menuju ke sana laki-laki itu meninggal dunia. Lalu malaikat rahmat dan adzab saling berbantahan. Malaikat rahmat berkata; ‘Laki-laki ini telah berniat pergi ke suatu wilayah untuk bertaubat dan beribadah kepada Allah dengan sepenuh hati.’ Malaikat adzab membantah; ‘Tetapi, bukankah ia belum berbuat baik sama sekali.’ Akhirnya datanglah seorang malaikat yang berwujud manusia menemui kedua kelompok malaikat yang sedang berbantahan itu. Maka keduanya meminta keputusan kepada malaikat yang berwujud manusia itu.. Ia lalu berkata; ‘Ukurlah jarak yang terdekat dengan orang yang meninggal dunia ini dari tempat berangkatnya atau lebih dekat ke tempat tujuannya. Mana yang berjarak lebih dekat, maka itulah keputusannya. Ternyata dari hasil pengukuran mereka itu terbukti bahwa laki-laki tersebut meninggal dunia lebih dekat ke tempat tujuannya. Dengan demikian orang tersebut berada dalam genggaman malaikat rahmat.” (HR. Muttafaq ‘alaih).
Dalam hadits yang lain, diceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat marah dengan seseorang yang berfatwa tanpa ilmu. Dari Jabir dia berkata; Kami pernah keluar dalam sebuah perjalanan, lalu salah seorang di antara kami terkena batu pada kepalanya yang membuatnya terluka serius. Kemudian dia bermimpi junub, maka dia bertanya kepada para sahabatnya; Apakah ada keringanan untukku agar cukup bertayammum saja? Mereka menjawab; Kami tidak mendapatkan keringanan untukmu sementara kamu mampu untuk menggunakan air. Maka orang itupun lalu (terpaksa) mandi dan langsung meninggal. Ketika kami sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau diberitahukan tentang kejadian tersebut, maka beliaupun bersabda: “Mereka telah membunuhnya, “semoga” Allah membunuh mereka! Tidakkah mereka bertanya apabila mereka tidak mengetahui, karena obat dari kebodohan adalah bertanya! Sebenarnya cukuplah baginya untuk bertayammum dan memeras – atau membalut lukanya – Musa ragu-ragu – kemudian mengusapnya saja dan membasuh bagian tubuhnya yang lain.” (HR. Abu Dawud dengan sanad yang diperselisihkan).
Kedua, ilmu merupakan imunitas atau perisai terhadap serangan pemikiran (al-ghazwul fikri) dan berbagai syubhat pemikiran yang marak saat ini. Dimana tanpa ilmu yang benar dan pemahaman yang baik, seseorang akan dengan mudah terpengaruh oleh berbagai pemahaman yang menyimpang dan aliran pemikiran yang sesat serta menyesatkan. Disamping itu, ilmu juga merupakan senjata dalam ”berperang” melawan fenomena maraknya berbagai bid’ah dan kesesatan. Karena umumnya berbagai kebid’ahan dan kesesasatan itu, khususnya kebid’ahan akidah dan kesesatan pemikiran, dikemas dan dibungkus dengan syubhat-syubhat yang sangat kuat dan merancukan.
Ketiga, tidak adanya ilmu akan menyebabkan kemenangan/keberhasilan tertunda atau terhalang. Karena banyaknya kesalahan dan penyimpangan, sehingga yang selalu terjadi adalah kondisi tambal sulam, gali lobang tutup lobang, dan kondisi jatuh bangun, dimana bisa jadi jatuhnya lebih banyak dan lebih lama daripada bangunnya! Dan yang paling penting, adalah bahwa terjadinya banyak penyimpangan – karena faktor lemahnya ilmu – merupakan salah satu faktor penghalang utama bagi turunnya taufiq, tahmat dan pertolongan Allah Ta’ala.
Dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Dan barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan jalan ke surga baginya”. (HR. Muslim).
Hadits ini menunjukkan keutamaan menuntut ilmu. Karena itulah, Allah SWT mengajarkan agar kita banyak berdoa untuk ditambahkan ilmu. “Dan katakanlah: ‘Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.” (QS. Thaha: 114).
Selaras dengan keutamaan menuntut ilmu, Allah SWT memberikan keutamaan kepada orang-orang yang berilmu. Allah SWT berfirman: “Katakanlah: ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui (berilmu) dengan orang-orang yang tidak mengetahui (tidak berilmu)?’ Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran” (QS. Az-Zumar: 9).
Allah SWT akan meninggikan derajat orang-orang yang berilmu. “Hai orang-orang beriman, apabila dikatakan kepadamu: ‘Berlapang-lapanglah dalam majlis’, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: ‘Berdirilah kamu’, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Az-Zumar: 11).
Bahkan, Allah SWT menyatakan bahwa orang-orang yang berilmu sajalah yang takut kepada-Nya. “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun” (QS. Fathir: 28).
Dalam perspektif Islam, ilmu memiliki keutamaan yang sangat besar. Berikut ini beberapa diantara keutamaannnya.
Pertama, ilmu merupakan asas dan syarat amal perbuatan. Karena itulah, terdapat kaidah yang sangat populer: “Ilmu sebelum perkataan dan amal perbuatan.” Bahkan untuk urusan tauhid yang merupakan inti agama, Allah SWT pun mendahuluinya dengan perintah “berilmu”. “Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, Tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan.” (QS. Muhammad: 19). Ini menunjukkan pentingnya ilmu sebagai landasan amal perbuatan.
Dalam berdakwah, ilmu juga menjadi asas dan syarat. Allah SWT berfirman, “Katakanlah: ‘Inilah jalan (agama) ku: aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata (berdasarkan ilmu yang jelas). Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik” (QS. Yusuf: 108). Demikianlah, dakwah mesti dilakukan diatas hujjah yang nyata, yaitu ilmu yang jelas. Ilmu juga sangat penting dalam kedudukannya sebagai asas dan syarat dalam berdakwah, karena berdakwah tanpa ilmu lebih banyak merusak daripada memperbaiki dan lebih banyak menghancurkan daripada membangun, serta lebih banyak menyesatkan daripada memberi petunjuk. Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: “Barang siapa mengajak kepada kebaikan, maka ia akan mendapat pahala sebanyak pahala yang diperoleh orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Sebaliknya, barang siapa mengajak kepada kesesatan (antara lain karena tanpa ilmu), maka ia akan mendapat dosa sebanyak yang diperoleh orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.” (HR. Muslim). Dan yang patut dipahami, sesungguhnya para da’i itu berdakwah (mengajak) kepada Islam. Jika para da’i tersebut tidak memahami Islam itu sendiri dengan ilmu yang benar, lalu apa yang mereka dakwahkan?
Disamping itu, ilmu merupakan keniscayaan dalam fatwa dan dakwah. Rasulullah saw telah mengingatkan besarnya bahaya berfatwa dan berdakwah tanpa ilmu, baik bahaya atas masyarakat maupun atas diri si pemberi fatwa atau si pendakwah sendiri.
Dalam sebuah hadits, diceritakan tentang seorang rahib yang berfatwa tanpa ilmu dan seorang alim yang berfatwa berdasarkan ilmu. Dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: “Pada jaman dahulu ada seorang laki-laki yang telah membunuh sembilan puluh sembilan orang. Kemudian orang tersebut mencari orang alim yang paling banyak ilmunya di muka bumi. Namun ia ditunjukan kepada seorang rahib (ahli ibadah yang tidak berilmu), dan ia pun langsung mendatanginya. Kepada rahib tersebut ia berterus terang bahwasanya ia telah membunuh sembilan puluh sembilan orang dan apakah taubatnya itu akan diterima? Ternyata rahib itu malahan menjawab; ‘Tidak. Taubatmu tidak akan diterima.’ Akhirnya laki-laki itu langsung membunuh sang rahib hingga genaplah kini seratus orang yang telah dibunuhnya. Kemudian laki-laki itu mencari orang lain lagi yang paling banyak ilmunya di muka bumi. Dan kali ini benar-benar ditunjukan kepadanya seorang alim yang mempunyai ilmu yang banyak. Kepada orang alim tersebut, laki-laki itu berkata bahwa, ia telah membunuh seratus orang dan apakah taubatnya akan diterima? Orang alim itupun menjawab; ‘Ya. Apa penghalang antara dia dan taubat? (maksudnya tidak ada penghalang itu). Namun (jika ingin taubat) pergilah ke daerah ini dan itu, karena di sana banyak orang orang yang beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Beribadahlah kamu kepada Allah bersama mereka, dan janganlah kamu kembali ke daerahmu, karena daerahmu itu termasuk lingkungan yang buruk.’ Maka berangkatlah laki-laki menuju daerah yang telah ditunjukan tersebut. Di tengah perjalanan menuju ke sana laki-laki itu meninggal dunia. Lalu malaikat rahmat dan adzab saling berbantahan. Malaikat rahmat berkata; ‘Laki-laki ini telah berniat pergi ke suatu wilayah untuk bertaubat dan beribadah kepada Allah dengan sepenuh hati.’ Malaikat adzab membantah; ‘Tetapi, bukankah ia belum berbuat baik sama sekali.’ Akhirnya datanglah seorang malaikat yang berwujud manusia menemui kedua kelompok malaikat yang sedang berbantahan itu. Maka keduanya meminta keputusan kepada malaikat yang berwujud manusia itu.. Ia lalu berkata; ‘Ukurlah jarak yang terdekat dengan orang yang meninggal dunia ini dari tempat berangkatnya atau lebih dekat ke tempat tujuannya. Mana yang berjarak lebih dekat, maka itulah keputusannya. Ternyata dari hasil pengukuran mereka itu terbukti bahwa laki-laki tersebut meninggal dunia lebih dekat ke tempat tujuannya. Dengan demikian orang tersebut berada dalam genggaman malaikat rahmat.” (HR. Muttafaq ‘alaih).
Dalam hadits yang lain, diceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat marah dengan seseorang yang berfatwa tanpa ilmu. Dari Jabir dia berkata; Kami pernah keluar dalam sebuah perjalanan, lalu salah seorang di antara kami terkena batu pada kepalanya yang membuatnya terluka serius. Kemudian dia bermimpi junub, maka dia bertanya kepada para sahabatnya; Apakah ada keringanan untukku agar cukup bertayammum saja? Mereka menjawab; Kami tidak mendapatkan keringanan untukmu sementara kamu mampu untuk menggunakan air. Maka orang itupun lalu (terpaksa) mandi dan langsung meninggal. Ketika kami sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau diberitahukan tentang kejadian tersebut, maka beliaupun bersabda: “Mereka telah membunuhnya, “semoga” Allah membunuh mereka! Tidakkah mereka bertanya apabila mereka tidak mengetahui, karena obat dari kebodohan adalah bertanya! Sebenarnya cukuplah baginya untuk bertayammum dan memeras – atau membalut lukanya – Musa ragu-ragu – kemudian mengusapnya saja dan membasuh bagian tubuhnya yang lain.” (HR. Abu Dawud dengan sanad yang diperselisihkan).
Kedua, ilmu merupakan imunitas atau perisai terhadap serangan pemikiran (al-ghazwul fikri) dan berbagai syubhat pemikiran yang marak saat ini. Dimana tanpa ilmu yang benar dan pemahaman yang baik, seseorang akan dengan mudah terpengaruh oleh berbagai pemahaman yang menyimpang dan aliran pemikiran yang sesat serta menyesatkan. Disamping itu, ilmu juga merupakan senjata dalam ”berperang” melawan fenomena maraknya berbagai bid’ah dan kesesatan. Karena umumnya berbagai kebid’ahan dan kesesasatan itu, khususnya kebid’ahan akidah dan kesesatan pemikiran, dikemas dan dibungkus dengan syubhat-syubhat yang sangat kuat dan merancukan.
Ketiga, tidak adanya ilmu akan menyebabkan kemenangan/keberhasilan tertunda atau terhalang. Karena banyaknya kesalahan dan penyimpangan, sehingga yang selalu terjadi adalah kondisi tambal sulam, gali lobang tutup lobang, dan kondisi jatuh bangun, dimana bisa jadi jatuhnya lebih banyak dan lebih lama daripada bangunnya! Dan yang paling penting, adalah bahwa terjadinya banyak penyimpangan – karena faktor lemahnya ilmu – merupakan salah satu faktor penghalang utama bagi turunnya taufiq, tahmat dan pertolongan Allah Ta’ala.
0 komentar:
Posting Komentar