Assalamu
‘Alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh. Wb. Ust, Apa hukumnya bersetubuh
tapi belum mandi haid, namun sudah bersih dari haid? (dari 085252330xxx)
Jawaban:
Wa
‘alaikum Salam wa Rahmatullah wa Barakatuh. Bismillah wal Hamdulillah
wash Shalatu wa Salamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala Aalihi wa Ashhabihi wa
Man waalah, wa ba’d:
Semoga Allah merahmati sdr/i penanya dan kita semua ...
Hendaklah bersabar dan jangan terburu-buru. Walaupun secara jasadiyah sudah bersih dari haid, namun secara ma’nawiyah
(nilai) masih belum sempurna kesuciannya, sebelum disempurnakan dengan
mandi haid. Maka, sempurnakanlah kesucian Anda dengan mandi wajib.
Selain memang itu lebih bersih dan menyegarkan bagi Anda berdua.
Sebenarnya para ulama kita berbeda pendapat
dalam hal ini, perbedaan tersebut diterangkan oleh Imam Athb Thabari
dalam Tafsirnya. Namun kebanyakan mereka melarang jima’ dengan isteri
yang sudah selesai haid tetapi belum mandi haid. Allah Ta’ala berfirman:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ
الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا
تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ
أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh.
Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu
hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu
mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka telah Suci, Maka
campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang
mensucikan diri.” (QS. Al Baqarah (2): 222)
Dalam Tafsir Ath Thabari disebutkan
tentang makna “Suci” dalam ayat tersebut:
فقال بعضهم: هو الاغتسال بالماء، لا يحل لزوجها أن
يقربها حتى تغسل جميع بدنها.
وقال بعضهم: هو
الوضوء للصلاة.
وقال آخرون: بل هو
غسل الفرج، فإذا غسلت فرجها، فذلك تطهرها الذي يحلّ به لزوجها غشيانُها.
“Sebagian mereka berkata: maksudnya
adalah mandi dengan air, tidak halal bagi seorang suami mendekati isterinya
(maksudnya bersetubuh), sebelum dia memandikan seluruh badannya.
Sebagian mereka berkata: maksudnya adalah wudhu untuk shalat
Sedangkan yang lain mengatakan: maksudnya adalah mencuci kemaluan, jika
sudah mencuci kemaluannya, maka itu telah mensucikannya, yang dengannya maka
suaminya halal untuk bersetubuh dengannya.” [1]
Keterangan dari Imam ath Thabari ini membuktikan
bahwa memang telah terjadi perselisihan pendapat dalam masalah ini.
Imam Ath Thabari Rahimahullah[2]
melanjutkan:
فتأويل الآية إذًا: ويسألونك عن المحيض قل هو أذى، فاعتزلوا جماع نسائكم
في وقت حيضهنّ، ولا تقربوهن حتى يغتسلن فيتطهرن من حيضهن بعد انقطاعه.
“Maka, takwil ayat tersebut adalah: “Mereka
bertanya kepadamu (Muhammad) tentang haid, katakanlah dia adalah penyakit, maka
jauhilah bersetubuh dengan wanita kalian
pada waktu haid mereka, dan jangan dekati mereka (bersetubuh) sampai mereka
mandi, yang bisa mensucikan mereka dari haidnya setelah terhentinya darah.” [3]
Berkata Imam Hasan Al Bashri Radhiallah
‘Anhu[4]
:
لا يغشاها زوجُها حتى تغتسل وتحلَّ لها الصلاة.
“Suami tidak boleh bersetubuh dengan isterinya, sampai isterinya
mandi, yang dengan mandi itu
dibolehkan baginya shalat.” [5]
Demikian pula yang dikatakan oleh Ibnu Abbas,
Mujahid, Ikrimah, Utsman bin al Aswad, dan Ibrahim an Nakha’i Radhiallahu
‘Anhum.
Wa Shallallahu ‘Ala Nabiyyina Muhamamdin wa ‘Ala
Alihi wa Shahbihi ajma’in.
Wallahu A’lam.
Farid Nu'man Hasan
[1] Imam Abu Ja’far bin Jarir Ath
Thabari, Jami’ al Bayan fi Ta’wilil Qur’an, Juz. 4, Hal. 384. Mu’asasah
Risalah, cet.1, 2000M/1420H.
[2] Dia adalah Abu Ja’far bin Muhammad bin Jarir bin Yazid
bin Ghalib, biasa disebut Imam Ibnu Jarir Ath Thabari. Lahir di Thabaristan
pada 224H (839M). Dia dijuluki Imamul Mufassirin (Imamnya para ahli
tafsir). Kuat hafalannya, cerdas, tawadhu, wara’ (hati-hati terhadap
perkara syubhat), zuhud, dan suka bergurau. Karyanya Jami’ul Bayan fi
Ta’wilil Quran merupakan kitab tafsir besar tertua yang masih ada sampai
saat ini. Begitu pula dalam bidang sejarah, karyanya Tarikhul Umam wal Muluk
merupakan kitab sejarah lengkap dan belum ada yang mampu menyamainya. Sehingga
dia pun juga dijuluki Aba At Tarikh (Bapaknya ahli sejarah). Wafat di
Baghdad Ahad sore tahun 310H (923M). Banyak sekali manusia mengantarkan
jenazahnyadan hanya Allah Ta’ala yang mengetahui jumlahnya.
[3] Ibid, Juz. 4, Hal. 385.
[4] Dia adalah Al Hasan bin Abi Al Hasan, nama aslinya
adalah Yassar Al Bashri Abu Said. Imamnya generasi tabi’in, lahir dua tahun
sebelum wafatnya Khalifah Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu. Ketika
bayi pernuh disusui oleh Ummu Salamah, isteri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam. Orang shalih, salah satu wali Allah, hidupnya berkawan dengan
kesedihan dan kesusahan, ucapannya penuh hikmah, bahkan ada yang mengatakan bak
hikmah para nabi, tampan mempesona, ahli ibadah, zuhud, dan menjadi gurunya
para imam masa tabi’in, seperti Atha’,
Thawus, Amr bin Syu’aib dan Mujahid. Tak ada manusia yang
menyamainya dalam masalah keilmuan pada masanya, namun jika dia punya masalah
dia bertanya kepada kawannya pada masa tabi’in yakni Imam Said
bin Al Musayyib (mantu Abu Hurairah) sebagaimana diceritakan oleh Qatadah. Al
Hasan wafat pada hari Jumat bulan Rajab 110H.
sumber : islamedia.web.id
0 komentar:
Posting Komentar