أَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَالَهُ نُورًايَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ كَمَنْ مَثَلُهُ فِي الظُّلُمَاتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِنْهَا
“Dan apakah orang yang sudah mati (hatinya) kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya?” (QS. Al An’aam : 122 )
Terang dan gelapnya hidup manusia, serta lapang dan sempitnya jiwa dalam melaluinya, sangat bergantung dengan hati, karena hati adalah pusat kehendak, jika hati melambung tinggi ke langit karena merasakan kenikmatan beribadah, anggota tubuh mengikutinya. Jika hati terkotori sehingga ia tersungkur kedalam lumpur kehinaan, maka tak ada lagi kebahagiaan yang dirasakan oleh jiwa. Hati yang terikat kuat dengan Dzat yang Maha Kokoh, tidak akan pernah membuat jiwa jatuh ke dalam kehinaan.
"Jika hati hanya berpedoman kepada badan, maka ia hanya akan ketakutan oleh
batas usia, oleh mati, oleh kemelaratan, oleh ketidakpunyaan. Jika pikiran
hanya mengurusi badan, jika pikiran tak kenal ujung maka ia akan rakus
kepada alam, akan membusung dengan keangkuhan, kemudian kaget dan kecewa
oleh segala yang dihasilkan. "Begitulah ungkapan Emha Ainun Najib dalam salah satu puisinya dalam buku "Dari Pojok Sejarah".
Allah menginginkan agar kita sebagai umat-Nya mempunyai hati yang selalu terhubung kuat kepada-Nya. Dengan hati yang melekat kepada-Nya maka jiwa akan selalu pasrah dan redho dengan segala kehendak dan skenario-Nya, kemudian jiwa dapat mengikuti dan bertindak sesuai dengan kehendak-Nya. Namun tidak dapat dipungkiri dalam hidup kita, keterikatan hati kepada Allah, sering kali lemah, karena ikatan lain yang lebih kuat mencengkramnya. Diantara ikatan yang mengikat hati itu adalah:
Pertama, hati terikat kepada harta.
Kuatnya tarikan harta yang mengikat hati kadangkala mendominasi seluruh energi kita, sehingga gerakan dari setiap langkah dan pikiran kita dari bangun tidur sampai tidur lagi tidak lain kepada harta. Sehingga bagi sebagian orang, orientasi hidupnya adalah harta, sedangkan keterikatan hatinya pada Allah, hanya sekedar bakti untuk melepaskan kewajiban semata, atau bahkan yang lebih parah lagi, kewajiban itu dilupakan sama sekali, karena ikatan hatinya kepada Allah sudah tidak ada lagi. Maka jika harta seseorang diambil kembali oleh Allah maka ada dua hal yang mungkin terjadi, pertama: ia akan stres atau frustrasi, bahkan jika berlarut, tidak mustahil akan sampai pada tindakan bunuh diri. Kedua: ia akan menempuh jalan yang keliru untuk menghasilkan harta seperti korupsi, mencuri, merampok, menipu dan lain sebagainya.
Orang semacam ini tidak akan pernah puas dalam hidupnya. Jika hartanya sedikit, ia ingin yang banyak. Jika sudah banyak, ingin yang lebih banyak lagi, demikian seterusnya. Bahkan seperti kata Rasulullah, "Jika ia memiliki satu gunung emas seperti gunung Uhud, ia ingin memiliki satu gunung emas lagi."
Kedua, hati yang terikat kepada keluarga yang dikasihi.
Mencintai dan mengasihi orang tua, anak, istri, suami atau siapa saja, bukanlah suatu yang dilarang, namun yang tidak diperbolehkan adalah mencintai mereka melebihi cinta kepada Allah dan berjuang di jalan-Nya. Seperti yang disinggung oleh Allah dalam firmannya: "Katakanlah: "jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (QS. At-Taubah: 24)
Orang-orang yang hatinya terikat begitu kuat dengan yang mereka sayangi, kadangkala tidak dapat menolak saat dihadapkan kepada pilihan, apakah ia lebih memilih untuk menyenangkan hati mereka daripada menyenangkan Allah dengan menjalankan perintah-Nya. Nabi Ibrahim telah memberikan teladan yang baik kepada kita, walaupun Ia begitu mengasihi anaknya Ismail, namun hatinya tetap terikat kuat kepada Allah. Sehingga ia penuhi perintah Allah tanpa ragu saat diminta menyembelinya. Begitu pula saat ia tinggalkan istrinya Siti Hajar, di tanah tandus Makkah, tanpa makanan dan minuman guna untuk melaksanakan perintah Allah. Namun di sanalah hikmah yang agung, Allah memberikan karunia yang luar biasa kepada Istri Hajar dan anaknya Ismail dengan buah-buahan dan air Zam-zam yang mengalir tiada henti sampai saat ini.
Ketiga, hati yang terikat pada kebiasaan tertentu.
Selain kepada harta dan orang-orang yang disayangi, hati juga dapat terikat kepada kebiasaan-kebiasaan tertentu. Kita begitu mencintai kebiasaan-kebiasaan itu sehingga tanpa kita sadari kebiasaan itu menjauhkan hati kita dari Allah. Kebiasaan semacam ini terbagi ke dalam dua kategori:
Pertama: Kebiasaan yang mengarah kepada dosa dan maksiat. Hati yang sudah melekat dengan dosa, akan sangat susah meninggalkannya, apalagi jika hati sudah menghitam, maka akan sangat sulit dibersihkan.
Kedua: Kebiasaan umum, yaitu kebiasaan yang berhubungan dengan hobi atau kegemaran, seperti menonton TV, sepak bola, dan hal lain yang sejenis. Jika hati telah terikat kuat dengannya maka kebiasaan ini dapat membawa kita kepada dosa, bahkan perintah Allah dinomor sekiankan.
Shohibul Zhilal mengatakan: "Sesunguhnya jiwa yang tunduk kepada hawa nafsu, meremehkan dan mempermainkan perkara-perkara suci adalah jiwa yang sakit. Sikap yang tunduk kepada hawa nafsu tidak akan mampu menanggung beban tanggung jawab. Jiwa yang bertanggung jawab adalah jiwa yang kuat, sungguh-sungguh dan penuh kesadaran. Sedangkan, jiwa yang tunduk kepada hawa nafsu, tidak memiliki kesadaran dan meremehkan segala hal. Setiap jiwa yang kosong dari kesungguhan, semangat dan kesucian, maka ia akan berubah kepada gambaran yang sakit dan tercelah seperti yang dilukiskan Al-Quran. Jiwa yang sakit telah mengubah haluan kehidupan kepada senda gurau dan kekosongan yang tidak memiliki tujuan dan juga penopang."
Sedangkan bagi orang beriman yang hatinya selalu terhubung dengan Allah, di saat hatinya bersentuhan dengan Al-Quran maka hati mereka serta merasakan ketenangan, lalu tumbuhlah perhatian yang membuat hati mereka tidak terlalu peduli dari dunia dan segala kenikmatannya.
Dalam keterangan Al Amidi terdapat biografi singkat dari Amir bin Rabiah, bahwa seorang arab mampir ke rumahnya, dan dia memuliakannya, kemudian orang arab itu datang lagi kepadanya setelah dia mendapat jatah tanah dan berkata kepadanya, "Sesungguhnya aku telah mendapatkan jatah suatu lembah tanah arab dari Rosulullah dan aku ingin membagikan kepadamu suatu bagian darinya untukmu dan keluargamu sesudah sepeninggalmu." Amir menjawab, "aku tidak membutuhkan bagian dari tanahmu, karena hari ini turun surah dari Al-Quran yang membuat kami kami melupakan segala urusan dunia, yaitu firman Allah: "Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling.Tidak datang kepada mereka suatu ayat Al Quran pun yang baru (di-turunkan) dari Tuhan mereka, melainkan mereka mendengarnya, sedang mereka bermain-main, (lagi) hati mereka dalam keadaan lalai."(QS. Al-Anbiyaa: 1-3)
Inilah perbedaan antara hati yang hidup, responsif dan terpengaruh dengan peringatan Allah dengan hati yang mati, lalai, dan keras. Hati mati yang mengkafani mayatnya dengan main-main, memakaikan pakaian kekerasan dengan hawa nafsu, dan tidak terpengaruh sedikitpun dengan peringatan karena ia tidak memiliki tiang-tiang kehidupan.
Hati yang hidup adalah hati yang ketika ditawarkan berbagai macam perbuatan keji, maka dengan kesadarannya dia akan menjauh darinya dan membenci perbuatan-perbuatan tersebut, bahkan tidak condong sedikitpun kepadanya.
Berbeda halnya dengan kondisi hati yang mati. Sesungguhnya hati yang mati tidak akan bisa membedakan antara kebaikan dan keburukan. Sebagaimana ungkapan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu :
هلك من لم يكن له قلب يعرف به المعروف والمنكر
“Celakalah bagi mereka yang tidak memiliki hati, yaitu hati yang bisa mengenal manakah kebaikan dan manakah keburukan”.
Hati yang sakit adalah hati yang terserang penyakit syahwat. Sesungguhnya hati yang demikian akan condong kepada keburukan yang ditawarkan kepada dirinya, dikarenakan lemahnya hati tersebut. Kecondongannya terhadap kebatilan akan berbanding lurus dengan parah dan tidaknya penyakit yang bersarang di dalam hatinya.
Terkadang penyakit hati yang bersarang di dalam hati seseorang semakin bertambah parah, dan sang pemilik hati tidak menyadarinya, dikarenakan dirinya berpaling dari mengenal hati yang sehat dan sebab-sebab yang bisa menghantarkan kepada sehatnya hati. Namun ada yang lebih parah dari keadaan ini, yaitu orang yang hatinya mati, namun dirinya tidak merasakan kematian hatinya. . (Lihat pnjelasan Ibnu Abil ‘Izz Al Hanafi dalam Syarah Aqidah Ath Thahawiyah, Darul ‘Aqidah, halaman 253-254)
Sungguh hal yang demikian, yaitu mati dan kerasnya hati ini merupakan bahaya yang sangat besar, sebagaimana dikatakan oleh Malik ibnu Dinar rahimahullahu: “Sesungguhnya Allah memiliki berbagai macam hukuman yang menimpa hati dan badan, yaitu sempitnya penghidupan dan lemah dalam beribadah, dan tidaklah ada sesuatu yang lebih bahaya menimpa seorang hamba melainkan kerasnya hati.” (Hilyatul Auliya’, Abu Nu’aim Al Ashbahany, Maktabah Syamilah)
Sebuah perumpamaan yang sederhana, kita mungkin pernah melihat ikan yang dikeluarkan dari air, kita dapati ikan tersebut menggelapar-gelepar di atas tanah, bila keadaan itu berlangsung dalam waktu yang lama, bisa dipastikan ikan itu akan mati.
Sesungguhnya Allah swt menciptakan hati dan menjadikan sumber kehidupan dan ketenangannya adalah dengan mengenal Allah, mencintai-Nya dan selalu ingat pada-Nya, berenang mengarungi samudra-Nya berupa Al-Quran. Dengan melakukan hal itu, hati akan hidup dan selalu bisa merasakan nikmat-nikmat Allah. Dengan hidupnya hati, ia akan memberi cahaya pada jalan-jalan kehidupan yang dilalui.
Namun bila hati diletakkan pada dunia, cinta padanya dan dunia mendapat tempat di dalam hati, maka dipastikan hati tersebut tidak akan pernah bisa tenang dan tentram dalam arti yang sesungguhnya. Walaupun secara zahir nampak ketenangan dan kebahagiaan, tapi ia hanya bersifat sementara bahkan kesenangan yang menipu.
Allah swt berfirman : Ketahuilah, bahwa dengan berzikir kepada Allah, hati menjadi tenang (Qs. Ar-Ra`du : 28)
Ketika hati lalai dari mengingat Allah, ia akan selalu resah, gelisah, dan tidak pernah merasa tentram, iapun akan menggelepar-gelepar, kemudian hati akan sakit dan pada akhirnya akan mati seperti matinya ikan di daratan.
"Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati."(QS. Qaaf: 37 )
Salah satu ciri hati yang hidup adalah lapang hatinya dalam menerima ajaran Islam. Allah berfirman: "Maka apakah orang-orang yang dibukakan hatinya oleh Allah untuk menerima agama Islam niscaya dia berada di atas cahaya Tuhannya" (QS. Az-Zumar: 22).
Suatu ketika Rasulullah ditanya tentang bagaimana hati bisa lapang? Beliau menjawab: "Apabilah cahaya itu masuk ke dalam hati maka hati tersebut akan lapang dan terbuka". Kemudian beliau ditanya lagi, apa tanda-tandanya wahai Rasulullah? Beliau menjawab: "Mempersiapkan diri menuju tempat keabadian (akhirat), dan 'mengasingkan' diri dari tempat yang menipu (dunia), serta mempersiapkan diri sebelum datangnya kematian." (HR. Hakim, dan Baihaqi dalam Kitab Az-zuhd).
Maka memperbaiki hati dan menghidupkannya dengan terus mempelajari Islam adalah suatu kewajiban bagi setiap hamba beriman, karena dengan baiknya hati maka akan baiklah seluruh kehidupan kita. Rasulullah saw bersabda: "Di dalam jasad itu ada segumpal darah, bila rusak, maka rusaklah seluruh tubuh dan bila sehat maka sehatlah seluruh tubuh, segumpal darah itu adalah hati."
Wallahu a'lam bishowaab.
Oleh H. Zulhamdi M. Saad, Lc