“Inilah jalanku: aku dan orang-orang yang mengikutiku berdakwah kepada Allah dengan hujah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik” (Yusuf:108).

Minggu, 25 Desember 2011

ILMU DULU BARU AMAL

“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal. (Muhammad [47]: 19). Mukaddimah
Ayat ini terdapat dalam surat al-Qital (perang) atau lebih terkenal dengan sebutan surat Muhammad. Disebut al-Qital, sebab di dalamnya banyak mengisahkan tentang syariat perang. Surat ini termasuk Madaniyah (surat yang turun setelah peristiwa hijrah ke Madinah).
Dalam riwayat lain, perintah fa’lam dimaknai sebagai perintah untuk tetap istiqamah dalam berislam. Hal ini terkait ketika Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) mendapat kabar tentang keadaan kaum kuffar dan mukminin, ia lalu memerintahkan para sahabat untuk tetap tsabat (kokoh) di atas jalan keimanan, senantiasa merawat keikhlasan dan terus beristighfar dalam meniti perjuangan keimanan ini. (Tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Imam al-Qurthubi).
Makna Ayat
Meski ayat ini berisi perintah kepada Nabi SAW, tapi sesungguhnya ibrah (pelajaran) yang terkandung tetap berlaku bagi seluruh orang beriman.
Ayat ini memerintahkan Nabi SAW akan dua hal utama dalam berislam: menuntut ilmu dan istighfar (memohon ampun) kepada Allah. Dalam perspektif Islam, iman dan ilmu adalah hal yang tak terpisahkan. Keduanya saling terkait dan menguatkan satu sama lain. Seseorang tak bisa mencapai derajat iman (yakin) dalam hidupnya jika ia tidak memiliki ilmu yang memadai. Tetapi ilmu yang dipunyai bisa berubah menjadi bumerang dan fatal, jika pengetahuan dan kepintaran itu tidak didasari dengan keimanan yang kuat. Alih-alih menjadi ilmu yang bermanfaat bagi orang lain, tapi ilmu itu malah bisa menghancurkan dirinya dan merusak orang lain.
Realitas di tengah masyarakat menjadi cermin utuh ketika dua pilar tersebut tidak bersinergi dalam diri seorang Muslim. Dengan mudahnya seorang Muslim yang awam rela menukar keyakinannya hanya dengan segelintir tawaran murahan saja. Di sisi lain, tak sedikit perbuatan tak bermoral justru lahir dari mereka yang selama ini sangat paham tentang ilmu itu sendiri. Mereka yang melakukan perbuatan menyimpang hukum adalah kumpulan orang-orang yang sangat mengerti teori hukum tersebut. Inilah ironi ketika ilmu tersebut tak bermodal keimanan. Ilmu itu akan tumbuh liar tak terkendali tanpa bisa dikekang oleh pemiliknya.
Ilmu dan Tauhid
Sufyan bin Uyainah, seorang ulama salaf yang kesohor dengan keluasan ilmunya menjelaskan, pada ayat ini Allah mengisyaratkan adanya sinergi ilmu dan iman itu. Kata fa’lam (perintah berilmu) tidak lain diiringi kata setelahnya wastaghfir (perintah beramal). Hal itu juga terlihat dalam banyak ayat ketika Allah menggandeng perintah berilmu dan beramal. Sebut saja misalnya, dalam surah al-Hadid [57] ayat 20 dan 21. “I’lamu” (perintah berilmu) dan “sabiqu” (perintah beramal) dan surah al-Anfal [8] ayat 41. “Wa’lamu” (perintah berilmu) dan “fa anna lillahi khumusahu” (perintah beramal). (Tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Imam al-Qurthubi).
Dengan paradigma di atas, maka tak heran jika Nabi SAW menegaskan kalau setiap Muslim tak bisa lepas dari menuntut ilmu. Ia hukumnya wajib tanpa bisa ditawar lagi. Sedang ilmu yang paling pokok dipelajari tidak lain adalah ilmu tauhid. Hal ini tidak mengherankan, sebab kalimat inilah yang memisahkan seseorang dari garis keimanan dengan kekufuruan. Ilmu tauhid ini pula yang menjadi pondasi bagi setiap amalan seseorang hingga nantinya perbuatan yang ia kerjakan tidak sia-sia dan bernilai positif di mata Allah Subhanahu wa Ta’ala kelak.
Perbanyak Istighfar
Dalam ajaran Islam, istighfar tidak sekadar perintah dan kewajiban. Tapi ia sekaligus kebutuhan mutlak bagi seorang Muslim. Sebab, manusia yang terlahir dengan segala kelemahan dan keterbatasan tersebut, justru mendapat amanah yang paling berat dari Sang Khaliq Allah Ta’ala. Sebagai hamba, manusia punya kewajiban mengabdikan dirinya kepada Allah, sekaligus ia menjadi wakil (khalifah) dalam mengurus dunia dan kehidupan ini.
Dalam hal ini, Rasulullah SAW memberikan panutan yang sangat mulia, meski seluruh perbuatannya telah mendapat garansi ampunan selamanya, tapi hal itu tak menghalangi Rasulullah SAW untuk membasahi lidahnya dengan zikir istighfar. Sahabat Abu Hurairah meriwayatkan, jika Rasulullah SAW beristighfar hingga sebanyak tujuh puluh kali dalam sehari semalam. (Riwayat al-Bukhari).
Imam al-Qurthubi menjelaskan, setidaknya ada dua faidah dibalik perintah istighfar tersebut. Pertama, perbanyaklah istighfar atas segala kekhilafan yang kamu lakukan, baik disengaja maupun tidak disengaja. Kedua, perbanyaklah istighfar, sebab dengannya Allah berkenan menghindarkan seorang hamba dari perbuatan dosa dan maksiat.
Tak cuma itu, ucapan istighfar bahkan bisa menjadi amunisi utama seorang Muslim dalam menghancurkan tipu daya iblis selama ini. Abu Bakar as-Shiddiq menanggapi ayat ini dengan berkata: “Hendaklah kalian bertauhid dengan sungguh-sungguh dan beristighfar. Perbanyaklah keduanya, sebab iblis pernah mengakui keampuhan ucapan mulia itu. Ia berkata: ‘Saya membinasakan manusia dengan dosa-dosa, tetapi sesungguhnya mereka juga sanggup membinasakanku. Tak lain dengan ucapan la ilaha illallah (tauhid) dan istighfar. Ketika saya mengetahui hal tersebut, saya lalu menggelincirkannya dengan hawa nafsu. Alhasil manusia menyangka mereka telah mendapatkan hidayah sedang mereka tertipu.”
Tak Cukup Buat Diri Sendiri
Syariat Islam sebagai agama yang memperhatikan aspek sosial mengajarkan kepada umatnya untuk tidak bersikap ego dan hanya memikirkan diri sendiri. Karenanya, selain perintah untuk memohon ampun buat diri sendiri, Islam juga menyuruh untuk senantiasa mendoakan kebaikan bagi saudara yang lain.
Ayat ini juga menegaskan kemurahan Allah kepada umat Islam, tidak kepada umat sebelumnya. Dimana Allah memerintahkan kepada Nabi-Nya untuk mendoakan kebaikan bagi seluruh kaum Muslimin. Sedang Rasulullah SAW sendiri sudah mendapat jaminan langsung sebagai as-Syafi’ (pemberi syafaat) pada Hari Kiamat nanti. Rasulullah SAW adalah orang yang dijamin doanya dikabulkan oleh Allah.
Imam as-Sa’di menambahkan, sekiranya seorang Muslim diperintahkan memohonkan ampun bagi dosa-dosa saudaranya, maka tentunya perkara yang lebih utama adalah menasihati dan menolong mereka dalam kebaikan. Mencintai sesama Muslim layaknya ia cinta kepada dirinya sendiri. Seorang Muslim juga wajib membenci keburukan jika itu terjadi pada saudaranya, seperti ia tidak menginginkan keburukan itu terjadi pada dirinya sendiri.
Ketika syariat-syariat di atas terjalin dengan baik, maka dengan sendirinya ia menjadikan kekuatan kaum Muslimin semakin kokoh dan solid. Tak ada lagi pertentangan yang justru hanya memecah keutuhan dan kekuatan umat Islam. Sebab, orang yang sanggup mendoakan orang lain adalah orang yang sudah berhasil mengalahkan thagha (rasa sombong) dan ego yang ia miliki. Ia tak bisa mendoakan jika tidak berangkat dari hati yang bersih. *Masykur/Suara Hidayatullah

0 komentar:

Posting Komentar