“Inilah jalanku: aku dan orang-orang yang mengikutiku berdakwah kepada Allah dengan hujah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik” (Yusuf:108).

Rabu, 14 Desember 2011

MELURUSKAN KESALAHPAHAMAN

Bagi kalangan feminis (penganut paham kesetaraan gender), Islam sama saja dengan Kristen, dan budaya-budaya patriarkhi (yang terlalu mengunggulkan lelaki) lainnya di dunia yang memandang rendah perempuan. Buktinya, banyak sekali hadits-hadits yang merendahkan martabat perempuan (misoginis). Tulisan di bawah ini akan mencoba menjawabnya dengan sebuah pengkajian ulang yang komprehensif.

Setidaknya ada tiga hadits yang sering disoroti oleh kalangan feminis sebagai hadits yang misoginis, yaitu: (1) hadits tentang mayoritas penghuni neraka adalah perempuan, (2) hadits tentang wanita diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, dan (3) hadits yang menyatakan bahwa wanita kurang akal dan agama. Hadits-hadits tersebut menurut para pemuja kesetaraan gender harus dinyatakan tidak berlaku lagi sebab bertentangan dengan nilai-nilai kesetaraan gender.
Hal pertama yang mutlak diperhatikan dalam memahami hadits, sebagaimana dijelaskan oleh Yusuf al-Qaradlawi dalam kitabnya, Kaifa Nata’amal ma’as-Sunnah an-Nabawiyyah, adalah memahami hadits dalam bingkai pemahaman al-Qur`an. Sangat jelas bahwa al-Qur`an tidak memiliki pandangan yang misoginis terhadap perempuan. Maka dari itu sangat mustahil jika Nabi saw menentang prinsip ajaran al-Qur`an tersebut.
Hal kedua yang harus diperhatikan adalah memahami hadits secara keseluruhan, mencakup juga latar belakang kronologisnya, persinggungannya, dan tujuan utamanya. Dalam hal ini sangat tidak benar kalau kemudian hadits dipahami secara sepotong-sepotong tanpa ditopang oleh pemahaman hadits-hadits lain yang mendukungnya. Kesalahan kaum feminis dalam memahami hadits terletak pada pengabaian dua prinsip tersebut, sebagaimana akan diuraikan di bawah ini.

Wanita Lebih Rentan ke Neraka
Hadits yang dimaksud adalah sabda Nabi saw sebagai berikut:

أُرِيتُ النَّارَ فَإِذَا أَكْثَرُ أَهْلِهَا النِّسَاءُ يَكْفُرْنَ قِيلَ أَيَكْفُرْنَ بِاللَّهِ قَالَ يَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ وَيَكْفُرْنَ الْإِحْسَانَ لَوْ أَحْسَنْتَ إِلَى إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ

Aku diperlihatkan neraka, ternyata kebanyakan penghuninya adalah wanita, disebabkan mereka kufur“. Ditanyakan: “Apakah mereka kufur kepada Allah?” Beliau bersabda: “Mereka kufur kepada suami, kufur terhadap kebaikan. Seandainya kamu berbuat baik terhadap seseorang dari mereka sepanjang masa, lalu dia melihat satu saja kejelekan darimu maka dia akan berkata: ‘Aku belum pernah melihat kebaikan sedikitpun darimu“. (Shahih al-Bukhari kitab al-iman bab kufranil-’asyir no. 29; kitab abwabil-kusuf bab shalatil-kusuf jama’atan no. 1052; kitab an-nikah bab kufranil-’asyir wa huwaz-zauj no. 5197)
Terkait hadits ini, Ibn Hajar dalam kitabnya, Fathul-Bari, mengutip penjelasan al-Qadli Abu Bakar ibn al-’Arabi sebagai berikut: Hadits ini mengisyaratkan adanya jenis kekufuran lain yang berbeda dari kufur kepada Allah swt yang dikategorikan non-muslim. Kufur kepada suami, dikhususkan dalam hadits ini dibanding jenis-jenis dosa lainnya disebabkan adanya rahasia yang tersembunyi, sesuai dengan hadits Nabi saw:

لَوْ أَمَرْت أَحَدًا أَنْ يَسْجُد لِأَحَدٍ لَأَمَرْت الْمَرْأَة أَنْ تَسْجُد لِزَوْجِهَا

Seandainya aku hendak memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain, pasti aku akan perintahkan seorang wanita untuk sujud kepada suaminya. (Hadits shahih diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dalam kitab ar-radla’ bab haqqiz-zauj ‘alal-mar`ah no. 1159)
Hadits di atas menegaskan bahwa suami dari segi hak yang harus dipenuhi oleh seorang istri berada pada level kedua di bawah Allah swt. Kalau seorang istri mengabaikan hak seorang suami, padahal suaminya sudah memenuhi hak istri tersebut, berarti ini merupakan pertanda bahwa istri mengabaikan hak Allah. Oleh karena itu diungkapkan oleh Nabi saw dengan pernyataan “kufur”, meskipun kufurnya tidak sampai keluar dari Islam (Fathul-Bari kitab al-iman bab kufranil-’asyir).
Perlu diingat kembali, dalam konteks rumah tangga, Islam telah mengatur bahwa suami harus menjadi pemimpin bagi istrinya. Kepemimpinan dalam Islam tidak berarti subordinasi dan dominasi seperti sering dipahami kaum feminis. Kepemimpinan dalam Islam identik dengan keadilan. Tanpa keadilan, kepatuhan kepada pemimpin tidak berlaku. Tetapi jika pemimpin memang adil adanya, siapapun wajib untuk mematuhinya. Seperti inilah juga berlakunya ketaatan istri kepada suami. Tidak jauh beda dengan kepatuhan anak kepada orangtuanya, selama orangtua tidak menyuruh musyrik ataupun kemaksiatan lainnya. Demikian juga, tidak jauh beda dengan kepatuhan rakyat kepada pemerintahnya, selama pemerintah tidak memerintahkan maksiat. Dalam konteks rumah tangga, suami berada satu level di bawah Allah swt. Dalam konteks keluarga, orangtua berada satu level di bawah Allah swt. Dan dalam konteks pemerintahan/kenegaraan, pemerintah berada satu level di bawah Allah swt/Rasul-Nya. Oleh karena itu banyak hadits yang menyatakan sabda Rasul saw: Siapa yang menaati amir-ku, berarti ia sudah menaatiku.
Hadits di atas yang menyatakan bahwa perempuan menjadi penghuni neraka yang paling banyak sama sekali tidak boleh dipahami sebagai hadits yang misoginis. Alasannya, pertama, prasangka misoginis serupa pernah muncul pada zaman shahabat (pasca Nabi saw wafat) dan memancing perdebatan di antara kaum lelaki dan perempuan saat itu, yakni apakah kebanyakan penghuni neraka itu memang perempuan atau laki-laki? Muhammad ibn Sirin sampai menyatakan bahwa sebagian laki-laki ada yang sampai berbangga diri dan sombong karena merasa diri lebih unggul dari wanita dalam hal masuk surga. Permasalahan ini kemudian dibawa kepada Abu Hurairah, dan beliau malah membenarkan bahwa wanita lebih banyak yang menjadi penghuni surga daripada lelaki, berdasarkan hadits yang diriwayatkan Imam al-Bukhari dan Muslim berikut ini:

إِنَّ أَوَّلَ زُمْرَةٍ تَدْخُلُ الْجَنَّةَ عَلَى صُورَةِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ وَالَّتِى تَلِيهَا عَلَى أَضْوَإِ كَوْكَبٍ دُرِّىٍّ فِى السَّمَاءِ لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ زَوْجَتَانِ اثْنَتَانِ يُرَى مُخُّ سُوقِهِمَا مِنْ وَرَاءِ اللَّحْمِ وَمَا فِى الْجَنَّةِ أَعْزَبُ

Sesungguhnya golongan pertama yang masuk surga wujudnya seperti bulan di malam purnama, golongan selanjutnya wujudnya seperti bintang paling terang di langit dan setiap lelaki di antara mereka memiliki dua istri, tulang betis keduanya terlihat dari balik daging, dan di surga tidak ada orang bujang. (Shahih Muslim kitab al-jannah wa shifati na’imiha bab awwal zamrah tadkhulun-nar no. 7325-7326. Hadits semakna diriwayatkan juga dalam Shahih al-Bukhari kitab bad`il-khalq bab ma ja`a fi shifatil-jannah wa annaha makhluqah no. 3245-3254)
Berkaitan dengan dua hadits yang tampaknya bertentangan di atas, Ibn Hajar menyatakan, tidak mesti ketika disebutkan bahwa wanita penghuni neraka paling banyak, menjadi paling sedikit di surga. Sebab mungkin kedua-duanya, yakni wanita paling banyak di neraka, juga paling banyak di surga. Atau mungkin yang dimaksud hadits pertama wanita menjadi penghuni neraka paling banyak, itu terjadi sebelum syafa’at. Sesudah syafa’at, dan mereka yang sebatas kufur kepada suami (maksiat yang tidak sampai kufur pindah agama) dipindahkan ke dalam surga, maka jadilah penghuni surga pun kebanyakannya menjadi wanita (Fath al-Bari kitab bad`il-khalq bab ma ja`a fi shifatil-jannah wa annaha makhluqah).
Kedua, penegasan kebanyakan penghuni neraka wanita hanya sebatas peringatan dini saja untuk kaum wanita agar lebih berhati-hati. Sebab pada riwayat lain, Nabi saw juga menyatakan bahwa kebanyakan penghuni surga adalah orang-orang miskin. Tentu ini tidak berarti bahwa Nabi saw merendahkan orang-orang kaya yang banyak ke neraka, melainkan sebatas peringatan dini kepada orang kaya agar mereka tidak terlena dengan kekayaannya.

اطَّلَعْتُ فِي الْجَنَّةِ فَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا الْفُقَرَاءَ وَاطَّلَعْتُ فِي النَّارِ فَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا النِّسَاءَ

Aku melihat sejenak surga, ternyata aku lihat kebanyakan penghuninya orang-orang miskin. Dan aku lihat sejenak neraka, ternyata aku lihat kebanyakan penghuninya wanita. (Shahih al-Bukhari kitab bad`il-khalq bab ma ja`a fi shifatil-jannah wa annaha makhluqah no. 3241; Shahih Muslim kitab ar-riqaq bab aktsar ahlil-jannah al-fuqara no. 7114)
Menurut Imam al-Qurthubi, Nabi saw menyatakan bahwa kebanyakan penghuni neraka wanita merupakan peringatan dini yang sesuai dengan fakta yang ada. Yakni bahwa kaum wanita secara umum mudah terlena dengan dunia dan sangat emosional sehingga mudah sekali tersinggung dalam urusan dunia dan harta (at-Tadzkirah 1 : 369). Artinya, tidak jauh beda dengan orang kaya yang rentan dengan sikap angkuh, sombong, dan pelit untuk shadaqah. Walau tentunya bukan berarti kedua-duanya; wanita dan orang kaya, direndahkan oleh Islam, dipandang sebelah mata oleh Allah swt. Tidak sama sekali.
Ketiga, hadits di atas menyebutkan sifat yang menjadi penyebab masuk neraka. Sebagaimana halnya ayat dan hadits lainnya yang sering menyinggung tentang sifat dan sikap yang akan memasukkan ke neraka, berarti yang harus diperhatikan sifatnya itu sendiri, bukan gender (jenis kelamin)-nya. Ini diperkuat oleh riwayat lain yang menitikberatkan pada sifat wanita yang menjadi penyebab masuk nerakanya, bukan gendernya.

وَأَكْثَر مَنْ رَأَيْت فِيهَا مِنْ النِّسَاء اللَّاتِي إِنْ اِؤْتَمِنَّ أَفْشَيْنَ وَإِنْ سُئِلْنَ بَخِلْنَ وَإِنْ سَأَلْنَ أَلْحَفْنَ وَإِنْ أُعْطِينَ لَمْ يَشْكُرْنَ

Kebanyakan wanita yang aku lihat di neraka adalah wanita yang jika diberi amanah untuk dijaga, mereka membocorkannya; jika diminta, mereka bakhil; jika mereka minta, mereka memaksa; dan jika mereka diberi, tidak pandai bersyukur. (Fathul-Bari abwabil-kusuf bab shalatil-kusuf jama’atan)
Dalam hal ini, maka berlaku juga kebalikannya. Seorang lelaki, jika ia memang mempunyai sifat yang akan menjadi penyebab ia masuk neraka, maka ia akan masuk neraka. Walau disebut lelakinya, bukan berarti merendahkan gendernya, karena hadits hanya menyatakan sifatnya:

مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ

Siapa yang memiliki dua istri, tetapi ia lebih cenderung kepada salah satunya, maka pada hari kiamat nanti ia akan datang dengan sebelah badan yang condong (Sunan Abi Dawud kitab an-nikah bab fil-qism bainan-nisa` no. 2135; Sunan an-Nasa`i kitab ‘isyratin-nisa` bab mailer-rajul ila ba’dli nisa`ihi duna ba’dlin no. 3942; Sunan Ibn Majah kitab an-nikah bab al-qismah bainan-nisa` no. 1969. Hadits shahih)

Wanita Bengkok
Hadits kedua yang selalu disoroti sebagai hadits yang misoginis adalah hadits tentang wanita diciptakan dari tulang yang bengkok dan tidak mungkin dapat diluruskan. Hadits-hadits yang dimaksud adalah sebagai berikut:

وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّهُنَّ خُلِقْنَ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلَاهُ فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا

Berwasiatlah (makna istaushu: tuntutlah wasiat dari diri kamu untuk memenuhi hak wanita) kepada wanita dengan baik, sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang rusuk. Dan sesuatu yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah bagian paling atas. Jika kamu meluruskannya dengan seketika, niscaya kamu akan mematahkannya, namun jika kamu membiarkannya maka ia pun akan selalu dalam keadaan bengkok. Karena itu berwasiatlah kepada wanita dengan baik. (Shahih al-Bukhari kitab an-nikah bab al-wushat bin-nisa` no. 5186; kitab ahaditsil-anbiya` bab khalqi Adam wa dzurriyyatihi no. 3331)
Dalam riwayat Muslim, redaksi dari Nabi saw ada sedikit perbedaan:

إِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ لَنْ تَسْتَقِيمَ لَكَ عَلَى طَرِيقَةٍ فَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اسْتَمْتَعْتَ بِهَا وَبِهَا عِوَجٌ وَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهَا كَسَرْتَهَا وَكَسْرُهَا طَلاَقُهَا

Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk, dan tidak dapat kamu luruskan dengan cara bagaimanapun. Jika kamu hendak bersenang-senang dengannya, kamu dapat bersenang-senang dengannya dan dia tetap saja bengkok. Namun jika kamu berusaha meluruskannya, niscaya dia akan patah, dan mematahkannya adalah menceraikannya. (Shahih Muslim kitab ar-radla’ bab al-washiyyah bin-nisa` no. 3719)

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَإِذَا شَهِدَ أَمْرًا فَلْيَتَكَلَّمْ بِخَيْرٍ أَوْ لِيَسْكُتْ وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَىْءٍ فِى الضِّلَعِ أَعْلاَهُ إِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا

Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, kemudian dia menyaksikan suatu peristiwa, hendaklah dia berbicara dengan baik atau diam, dan berwasiatlah kepada wanita dengan kebaikan, karena sesungguhnya dia diciptakan dari tulang rusuk, dan bagian yang paling bengkok adalah tulang rusuk yang paling atas, jika kamu berusaha untuk meluruskannya, niscaya akan patah, jika kamu membiarkannya, dia akan senantiasa bengkok, maka berwasiatlah terhadap wanita dengan kebaikan. (Shahih Muslim kitab ar-radla’ bab al-washiyyah bin-nisa` no. 3720)
Menurut Ibn Hajar, hadits di atas mengisyaratkan bahwa Hawwa (istri Adam as) diciptakan dari tulang rusuk Adam. Maksud dari khuliqat (dicpitakan) itu sendiri adalan ukhrijat (dikeluarkan), seperti keluarnya buah kurma dari bijinya. Akan tetapi, Ibn Hajar juga mengutip pendapat al-Qurthubi yang menyatakan bahwa maksud hadits di atas adalah perumpamaan, yakni wanita seperti tulang rusuk yang tidak mampu lurus/istiqamah dalam suatu jalan (Fathul-Bari kitab ahaditsil-anbiya` bab khalqi Adam wa dzurriyyatihi).
Terkait penciptaan wanita itu sendiri, secara umum al-Qur`an menjelaskan dua tahap penciptaan terkait manusia, yaitu penciptaan awal yang sifatnya ghaib karena hanya bisa diketahui oleh wahyu dan sulit dicerna oleh akal dan indera, dan penciptaan tahap kedua yang bisa dicerna oleh akal dan indera. Pada tahap pertama, al-Qur`an menjelaskan bahwa manusia diciptakan dari tiada, dari substansi organik yang rendah dengan sebutan tanah liat gelap (shalshal/hama`), debu dan lumpur (turab/tin lazib), lalu ditiupkan padanya ruh dari Allah swt (Di antaranya QS. Al-Hijr [15] : 28-29). Sementara pada tahap kedua, manusia diciptakan dalam proses yang dapat dicerna oleh ilmu pengetahuan: sperma disimpan dalam rahim yang kokoh, kemudian diubah menjadi segumpal darah, yang kemudian dibungkus dengan tulang dan daging (QS. Al-Mu`minun [23] : 12-14). Penciptaan wanita dari tulang rusuk lelaki tentu berlaku pada penciptaan tahap awal, dan oleh karenanya tidak perlu dicarikan alasan logis dan bukti empirisnya. Untuk penciptaan wanita setelah Hawwa, maka seperti yang diterangkan Allah swt dalam QS. Al-Mu`minun, sebab memang pada faktanya tidak ada perbedaan antara proses kejadian lelaki dan wanita dari generasi Adam dan Hawwa.
Dalam hal ini maka tidak bisa dipandang bahwa hadits ini bermuatan misoginis. Sebab al-Qur`an juga menyebutkan bahwa bahan material penciptaan Adam juga dari bahan yang “hina”; tanah liat gelap, debu dan lumpur, sampai kemudian dihinakan oleh Iblis karena ia diciptakan dari material yang lebih bagus; api. Bahkan keturunan selanjutnya pun; baik lelaki ataupun perempuan, sama-sama dari bahan yang hina: air mani. Anehnya, banyak di antara mereka yang tidak syukur dan jadi pembangkang yang keterlaluan.
Dan Dia memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh) nya roh (ciptaan) -Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur. (QS. As-Sajdah [32] : 7-9)
Dan apakah manusia tidak memperhatikan bahwa Kami menciptakannya dari setitik air (mani), maka tiba-tiba ia menjadi penantang yang nyata! (QS. Yasin [36] : 77)
Ayat dan hadits semisal ini justru harus menggugah semua orang; baik lelaki ataupun perempuan akan asal mula dirinya sehingga tidak menjadi pembangkang yang tidak mampu bersyukur. Khusus untuk perempuan, lebih memperhatikan “material bengkok” yang dimilikinya sehingga tidak terlalu susah untuk menerima nasihat dari orang lain, khususnya suami.
Itupun dengan asumsi bahwa Hawwa memang diciptakan secara zhahirnya pada “tahap awal” dari tulang rusuk Adam. Sebab, sebagian ulama lainnya—seperti Syaikh al-’Utsaimin dalam kitab al-Qaulul-Mufid, juga gurunya, As-Sa’di dalam kitab tafsirnya—berpendapat bahwa baik penciptaan lelaki ataupun wanita, keduanya sama dari jenis yang sama. Maksud firman Allah swt dalam QS. An-Nisa` [4] : 1: min nafsin wahidatin adalah dari jenis yang sama, bukan dari satu orang: Adam. Sehingga firman-Nya: wa khalaqa minha zaujaha, berarti menciptakan pasangannya dari jenis yang sama itu, bukan menciptakan istrinya (Hawwa) darinya (Adam). Konsekuensinya, hadits yang menjelaskan bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, dimaknai sebagai perumpamaan, sebagaimana dikemukakan al-Qurthubi di atas.
Manapun dari kedua pendapat di atas yang akan kita ambil, pesan inti dari hadits di atas ditujukan kepada kaum lelaki untuk menyadari tabi’at istrinya yang berbeda dari dirinya, sehingga mutlak: (1) istaushu bin-nisa` khairan; menasihati istri seperti halnya berwasiat, dan itu harus dengan menuntut wasiat dari diri sendiri agar mampu memenuhi hak istri, itupun dengan cara yang sangat baik, (2) jangan bersikap acuh tak acuh dengan membiarkannya ketika pada faktanya “bengkok”, sebab jika seperti itu maka akan tetap “bengkok”, (3) jangan memaksa meluruskannya dengan keras, sebab nanti akan mematahkannya dan itu artinya terjadi perceraian, (4) berkatalah yang baik, dan kalau tidak bisa, malah akan mengeluarkan kotor, cacian, hinaan atas fakta yang terlihat di istri, sudah seharusnya diam saja. Empat pesan ini justru menggambarkan penghormatan yang sangat tinggi dari Islam terhadap kaum wanita yang harus diperhatikan oleh kaum lelaki.
Terlebih ayat al-Qur`an dan hadits lain juga sudah menginformasikan bahwa tidak mungkin pada diri seorang wanita itu semuanya jelek:
Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (QS. An-Nisa` [4] : 19)

لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِىَ مِنْهَا آخَرَ

Janganlah seorang lelaki mu`min membenci seorang wanita mu`min. Jika ia membenci satu akhlaq darinya, pasti ia akan ridla dengan akhlaq lain darinya. (Shahih Muslim kitab ar-radla’ bab al-washiyyah bin-nisa` no. 3721)
Hal kebalikannya berlaku pada lelaki, sehingga harus juga diperhatikan oleh wanita. Sebagaimana disinggung pada hadits di atas tentang wanita penghuni neraka, seyogianya ketika ada kejelekan pada suami, wanita tidak mudah mengeneralisirnya secara membabi buta.

Wanita Kurang Akal dan Agama
Hadits selanjutnya yang sering dituduh misoginis adalah pernyataan Nabi saw bahwa wanita kurang akal dan agamanya.

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ r فِي أَضْحَى أَوْ فِطْرٍ إِلَى الْمُصَلَّى فَمَرَّ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ فَإِنِّي أُرِيتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ فَقُلْنَ وَبِمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ الْحَازِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ قُلْنَ وَمَا نُقْصَانُ دِينِنَا وَعَقْلِنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَلَيْسَ شَهَادَةُ الْمَرْأَةِ مِثْلَ نِصْفِ شَهَادَةِ الرَّجُلِ قُلْنَ بَلَى قَالَ فَذَلِكِ مِنْ نُقْصَانِ عَقْلِهَا أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ قُلْنَ بَلَى قَالَ فَذَلِكِ مِنْ نُقْصَانِ دِينِهَا

Dari Abu Sa’id al-Khudri ia berkata, Rasulullah saw pada hari raya ‘Iedul Adlha atau Fithri keluar menuju tempat shalat, beliau melewati para wanita seraya bersabda: “Wahai para wanita, hendaklah kalian bersedekah, sebab diperlihatkan kepadaku bahwa kalian adalah yang paling banyak menghuni neraka.” Kami bertanya, “Apa sebabnya wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Kalian banyak melaknat dan banyak mengingkari pemberian suami. Dan aku tidak pernah melihat orang-orang yang kurang akal dan agama mampu melumpuhkan hati seorang laki-laki yang tegas melebihi salah seorang dari kalian.” Kami bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, apa maksud dari kurang agama dan akal kami?” Beliau menjawab: “Bukankah persaksian seorang wanita setengah dari persaksian laki-laki?” Kami jawab, “Benar.” Beliau berkata lagi: “Itulah kekurangan akalnya. Dan bukankah seorang wanita bila dia sedang haid dia tidak shalat dan puasa?” Kami jawab, “Benar.” Beliau berkata: “Itulah kekurangan agamanya.” (Shahih al-Bukhari kitab al-haidl bab tarkil-ha`idl as-shaum no. 304; kitab az-zakat bab az-zakat ‘alal-aqarib no. 1462; Shahih Muslim kitab al-iman bab bayan nuqshanil-iman bi naqshit-tha’at no. 250
Jika diperhatikan dengan seksama, Nabi saw menjelaskan alasan dari pernyataan “kurang akal dan agama” tersebut, yaitu:
Pertama, kurang akal, disebabkan kesaksian seorang wanita itu setengahnya dari kesaksian seorang pria. Kalau mau dihitung satu kesaksian, maka wanita yang bersaksi harus dua orang. Ini didasarkan pada firman Allah swt:
Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. (QS. Al-Baqarah [2] : 282)
Imam al-Qurthubi, dalam kitab tafsirnya menjelaskan, saksi dari perempuan dalam ayat ini statusnya sebagai penguat. Sebab dalam urusan harta Allah telah menentukan beberapa tawatstsuq (penguat), seperti keharusan dicatat, ada saksi, ada barang jaminan, dan adanya kesanggupan menjamin itu sendiri. Semua itu bertujuan agar urusan harta senantiasa didasarkan pada asas yang kuat. Bukan berarti kesaksian dari seorang wanita sendirian tidak dapat diterima. Dalam kasus darurat yang tidak ada lagi kesaksian selain wanita tersebut, maka kesaksiannya harus diperhitungkan.
Secara mafhum bisa dipahami bahwa ayat di atas berbicara dalam konteks perdagangan yang merupakan dunianya laki-laki. Maka sangat bisa dipahami kalau hendak menghadirkan saksi dari perempuan, harus dua orang, sebab itu bukan duniannya perempuan. Makanya tidak heran kalau ada alasan dari firman Allah swt: “supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya”. Walaupun begitu bukan bearti kesaksian seorang wanita tidak bisa diperhitungkan. Dalam kasus shahabat yang ternyaata menikahi saudara sepersusuannya, dan itu berdasarkan kesaksian seorang wanita yang menyusuinya, Nabi saw menyatakan bahwa hukum ‘haram nikah’ harus diberlakukan sebab memang haram menikahi saudara sepersusuan (Shahih al-Bukhari kitab al-’ilm bab ar-rihlah fil-mas`alah an-nazilah no. 88. Tentang wanita yang haram dinikahi QS. An-Nisa` [4] : 23)
Penjelasan dari Nabi saw tentang alasan “wanita kurang akal” ini tidak untuk ditarik secara keseluruhan bahwa wanita kurang akal. Pada faktanya banyak para wanita yang menjadi ulama dari sejak zaman shahabat sampai hari ini. Jadi, “kurang akal”-nya itu dalam konteks persaksian saja, tidak dalam hal yang lainnya. Meskipun tanpa menutup mata, ada ulama lain yang menilai bahwa hadits ini berlaku pada kaum wanita secara umum, bukan perorangan. Dan fakta membenarkan hal itu, menurut ulama yang berpendapat seperti ini. Kalau hendak, dihitung pasti lebih banyak ulama/ilmuwan lelaki dibanding wanita. Jika ini hendak dijadikan ukuran, menurut hemat kami, itu disebabkan Islam sudah mengatur dunia wanita, yang pokoknya, di rumah, berbeda dengan pria. Sehingga wajar saja dalam dunianya lelaki, wanita masih kalah berperan dibandingkan lelaki itu sendiri. Coba kalau ukurannya, pintar memasak, mengasuh anak, membuat pakaian, pasti yang lebih banyak pintarnya adalah wanita dibanding lelaki. Dalam hal ini wanita lebih unggul akalnya dibanding lelaki.
Kedua, wanita kurang agama. Itupun penjelasannya sudah dibatasi oleh Nabi saw dengan sabdanya: Bukankah apabila wanita haidl, ia tidak shalat dan shaum? Ini berarti—sama dengan penjelasan di atas—pernyataan Nabi saw wanita kurang agama tersebut tidak untuk digeneralisir dalam semua konteks keagamaan. Sebab Allah swt juga sudah menyebutkan kesederajatan antara wanita dan pria dalam hal beragama di hadapan Allah swt:
Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar (QS. Al-Ahzab [33] : 35).
Pernyataan Nabi saw: “wanita kurang agama” tidak berarti merendahkan martabat wanita, melainkan mengingatkan kembali taqdir penciptaan Allah swt atas wanita yang harus diterima dengan ikhlash. Bukan berarti, dengan sabda Nabi saw tersebut, semua wanita kemudian diharuskan shalat dan shaum ketika ia haidl agar agamanya tidak kurang. Istri Nabi saw, ‘Aisyah, juga diajari oleh Nabi saw untuk bisa menerima ketentuan penciptaan ini tanpa harus melanggar syari’atnya:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ خَرَجْنَا مَعَ النَّبِىِّ r وَلاَ نُرَى إِلاَّ الْحَجَّ حَتَّى إِذَا كُنَّا بِسَرِفَ أَوْ قَرِيبًا مِنْهَا حِضْتُ فَدَخَلَ عَلَىَّ النَّبِىُّ r وَأَنَا أَبْكِى فَقَالَ: أَنَفِسْت؟. يَعْنِى الْحَيْضَةَ. – قَالَتْ – قُلْتُ نَعَمْ. قَالَ: إِنَّ هَذَا شَىْءٌ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَى بَنَاتِ آدَمَ فَاقْضِى مَا يَقْضِى الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوفِى بِالْبَيْتِ حَتَّى تَغْتَسِلِي

Dari Aisyah ra, ia berkata, kami pergi bersama-sama Nabi saw, tiada lain niat kami selain haji. Setelah kami sampai dekat Sarif atau daerah sekitar itu, tiba-tiba aku haid. Ketika Nabi saw masuk ke dalam kemahku, didapatinya aku sedang menangis. Lalu beliau bertanya: “Apakah kamu haid?” jawabku, “Benar.” Beliau bersabda: “Ini adalah sesuatu yang telah ditetapkan Allah atas puteri-puteri Adam. Karena itu, kerjakanlah apa yang seharusnya dikerjakan oleh orang haji, kecuali thawaf di Baitullah sehingga kamu mandi terlebih dahulu.” (Shahih Muslim kitab al-hajj bab wujuhil-ihram no. 2976)
Haidl bagi para penentang taqdir Allah swt (baca: kaum feminis) memang dianggap sebagai sebuah penindasan dari Tuhan kepada wanita. Tetapi bagi para wanita yang beriman itu justru merupakan sebuah anugerah, sebab dengan taqdir-Nya itulah wanita tiga kali lebih tinggi derajatnya daripada pria/kaum bapak. Kaum ibu mendapatkan hak penghormatan tiga tingkat lebih tinggi di atas kaum bapak (Shahih al-Bukhari kitab al-adab bab man ahaqqun-nas bi husnis-shuhbah no. 5971; Shahih Muslim kitab al-birr was-shilah wal-adab bab birril-walidain wa annahuma ahaqqu bihi no. 6664). Menurut para ulama, itu disebabkan ibu yang mengandung, melahirkan, dan menyusui anak; tiga hal yang tidak dilakukan oleh kaum bapak (Fath al-Bari kitab al-adab bab man ahaqqun-nas bi husnis-shuhbah). Berbagai ayat al-Qur`an yang menyinggung keharusan berbakti kepada orang tua sering menyebut jasa ibu dalam ketiga hal tersebut (Lihat misalnya QS. Al-Ahqaf [46] : 15 dan Luqman [31] : 14)
Wal-’Llah a’lam bis-shawab
nashruddin syarief

0 komentar:

Posting Komentar