Oleh: Abdullah Khaidir,Lc Adakahyang menghubungkan antara hari Asyuro (10 Muharram) dan peristiwa Hijrah?Statemen yang tegas memang tidak ada.Namun jika ditelisik lebih dalam, kedua hal tersebut ternyata dihubungkan oleh latar belakanghistoris yang sangat heroik dengan kaitan yang sangat erat. Karena sama-samamenyajikan sebuah manhaj (pedoman) perjuangan yang bersumber dari Dzat yang samauntuk sebuah tujuan yang sama. Walaupun tempat, waktu dan pelakunya berbeda.
Sebagaimanadisebutkan oleh Bukhari dan Muslim dalam Shahihnya, bahwa hari Asyuro –yangkita disunnahkan untuk berpuasa pada hari tersebut ditambah sehari sebelum atausesudahnya- adalah hari diselamatkannya Nabi Musa alaihissalam dan parapengikutinya dari kejaran Fir’aun dan balatentaranya.
Namun,apakah Nabi Musa diselamatkan begitu saja dari kejaran Fir’aun tanpa perjuangansama sekali? Justru pertolongan itu datang pada titik dimana perjuangan danusaha telah sampai pada puncaknya, seakan-akan tiada lagi daya yang dapatmereka lakukan sehingga kaumnya berkata: “Sungguh kita pasti akan terkejar.”(Asy-Syu’ara: 61)
Sesungguhnyajika diamati secara mendalam, semangat hijrahlah yang menjadi inspirasiperjuangan berat tersebut. Yaitu keinginan kuat membaja untuk meninggalkansegala bentuk kekufuran dan kemusyrikan dan berpindah kepada keimanan danpetunjuk Allah Ta’ala.
Halini dalam kontek perjuangan Islam bukan hanya langkah taktis apalagi pragmatis,tapi lebih dari itu, dia merupakan manhaj dan pedoman baku bagi setiap muslimyang ingin menegakkan Islam dalam kehidupannya, terlepas apa dan bagaimanapendekatan yang dilakukan.
Pedoman inilah yang telah Allah gariskan kepada Nabi Musa alaihissalam dalamperjuangannya melawan tirani Fir’aun:
“Dansesungguhnya Kami telah mengutus Musa dengan membawa ayat-ayat Kami, (dan Kamiperintahkan kepadanya): “Keluarkanlah kaummu dari gelap gulita kepada cahayaterang benderang dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah.” (Ibrahim: 5)
Pedomanini pula yang Allah Ta’ala gariskan kepada Rasulullah saw dalam perjuangannya;
“Alif,laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamumengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang…”(Ibrahim: 1)
Karenanyakita dapatkan alur kisah perjuangan Rasulullah dan para shahabatnya memilikikemiripan dengan apa yang dialami oleh Musa alaihissalam dan kaumnya; Awalnyasangat lemah, tertindas, terintimadasi, namun keteguhan dan tekad meninggalkansegala bentuk kekufuran dan berpindah kepada hidayah Allah tidak lagi dapatterbendung walaupun harus mengakibatkan mereka angkat kaki meninggalkan negerisendiri, hijrah untuk menyelamatkan keimanannya, dan kemudian berakhir dengankejayaan dan kemenangan kaum muslimin serta terjungkalnya sang penguasa tiranbeserta kebesaran yang selama ini diagungkannya.
Sebuahkondisi yang tampaknya telah menjadi skenario paten dalam hal pertarunganantara hak dan batil ketika prinsip dan pedomannya dipegang teguh oleh merekayang berada di pihak yang haq.
Kesamaanmanhaj dan tujuan perjuangan inilah yang mendorong Rasulullah saw mematahkan prinsipprimordial (kesukuan) kaum Yahudi pada masanya yang beriman kepada Nabi Musaberdasarkan ras dan suku. Ketika Rasulullah SAW mengetahui bahwa mereka jugaberpuasa pada hari Asyuro karena mengikuti Nabi Musa yang berpuasa pada hariitu sebagai rasa syukur kepada Allah Ta’ala atas diselamatkannya dia dankaumnya dari kejaran Fir’aun, dengan tegas beliau saw menyatakan: “Aku lebihberhak mengikuti Musa dibanding kalian!” Lalu beliau berpuasa dan memerintahkankaum muslimin untuk berpuasa. (Bukhari Muslim)
Maka,sejatinya semangat hijrah untuk meninggalkan kekufuran, kemusyrikan,kemaksiatan dan berbagai prilaku yang bertentangan dengan ketentuan AllahTa’ala dan kemudian kembali kepada ajaran-ajaran-Nya yang penuh hikmah dankemuliaan harus menjadi muara dari setiap langkah perjuangan kaum muslimin,kapan dan dimana pun mereka berada dan apapun bentuk perjuangannya. Baik yangberjuang lewat jalur pendidikan, ekonomi, sosial maupun politik. Karena, tanpasemangat ini maka setiap perjuangan yang telah diupayakan –cepat atau lambat-akan mengalami penyusutan nilai, kalau tidak malah terseret oleh arus yangdilawannya sendiri. Tidak jarang kita dapatkan sejumlah kalangan yang berjuanglewat jalurnya masing-masing, namun di tengah perjalanan ternyata apa yang merekaperbuat tak jauh berbeda dari apa yang dahulu dia tentang, kecuali label danbeberapa atribut yang masih membedakannya.
Darisini, kita dapat memahami, mengapa Umar bin Khattab ra -dengan disetujui olehpara shahabat yang masih hidup pada masa kekhalifahannya- menjadikan peristiwaHijrah Rasulullah sebagai patokan untuk mengawali penanggalan Islam yangkarenanya dikenal sebagai penanggalan Hijriyah. Beliau tidak memilih harikelahiran Rasulullah SAW sebagaimana orang-orang Nashrani memilih hari kelahiranIsa Al-Masih sebagai momen untuk menetapkan awal penanggalan Masehi. Haltersebut jelas menunjukkan bahwa hijrah dengan pemahaman luas merupakan prinsipperjuangan yang sangat vital dalam menentukan keutuhan sebuah perjuangan.
Maka,sekaligus menghidupkan puasa Asyuro, hendaklah kita kenang kembaliperistiwa-peristiwa heroik perjuangan umat Islam berdasarkan manhaj dan prinsipyang telah digariskan sembari berupaya meneladaninya, sehingga kita dapatberharap agar ‘ending' dari skenario pertarungan antara yang haq dan batildapat segera terwujud di hadapan kita seberapa pun besarnya kekuatan kebatilanyang ada. Karena apa yang selama ini disebut sebagai ‘kekuatan besar’ atau‘kekuatan adidaya’, tak lebih merupakan image yang ingin dipaksakan untukditelan oleh kaum muslimin agar mereka tidak banyak berbuat dan berupayamaksimal untuk meruntuhkannya.
“Daningatkanlah mereka pada hari-hari Allah.” (QS. Ibrahim: 5).
(sumber: www.islamedia.web.id)
0 komentar:
Posting Komentar